20. Mawar

127 32 18
                                    

Bagi Pak Doni, putra putrinya adalah yang paling berharga dalam hidupnya. Sebagai penyemangat hidup? Sudah pasti. Juga, tak perlu dipertanyakan lagi betapa Pak Doni menyayangi mereka berdua. Adil dan tanpa pilih kasih.

Sama halnya dengan Asma, ia sangat paham bahwa ia tak seharusnya memperlakukan Farhan dengan beda hanya karena ia tak lahir dari rahimnya sendiri. Memang benar, Asma tak menyukai Sarah. Tapi tidak dengan anak laki-laki itu. Mungkin beda kisah kalau Disya anak laki-laki?
Sekali waktu Asma ingin sekali memeluknya, tapi entah kapan ia akan mendapatkan kesempatan itu. Ia bahkan belum bisa menyempitkan jarak antara dirinya dengan Farhan.

Masalahnya, ini sudah berjalan tiga bulan sejak Farhan tinggal di rumah mereka. Dan ia masih juga belum mau membuka dinding pembatas antara dirinya dengan seluruh anggota keluarga. Rumah besar itu masih penuh dengan teriakan dan tawa Disya, tapi tidak dengan Farhan. Seolah anak laki-laki itu tak pernah tinggal di dalamnya.

Disya terlihat sibuk menyiapkan pakaian renang. Di saat yang bersamaan Farhan tengah sibuk memainkan ponsel baru. Pak Doni membelikannya seminggu yang lalu. Dan itu sukses membuat jarak antara Farhan dengan semua orang menjadi lebih jauh.

"Kakak ga ikutan renang?" Disya menutup ranselnya.

"Ini udah Mama siapin baju kakak," Asma menimpali.

Disya menghampiri Farhan yang masih belum usai memainkan game di ponselnya. "Udah level berapa, Kak?"

"Oh.. 17.." Disya menjawab sendiri pertanyaannya.

"Ayo berangkat, Papa sama Kakek udah nunggu di mobil," Asma berjalan cepat disusul Farhan dan Disya di belakang.

"Hati-hati," Sari terlihat melambaikan tangan. Mobil mulai menjauh menyusuri jalan raya yang sudah penuh sesak. Rencana berlibur di pantai ini sudah direncanakan sejak dua minggu lalu. Pak Doni harap-harap cemas, hari ini cuaca akan cerah.

***

"Sabar, Pa," Asma tampak mengerti perasaan suaminya. "Papa beruntung dia belum remaja, karena kalo udah remaja selain susah dikendaliin, kemungkinan Papa ngambil hatinya ga lebih dari lima persen," tambah Asma sembari mengiris bolu yang sempat ia beli dari sebuah toko dalam perjalanan ke pantai.

"Jadi sekarang Papa punya berapa persen?" 

Asma menghela napas panjang. Ia hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaan suaminya.

"Keliatannya dia ga bahagia," lanjut Pak Doni menatap Farhan yang tengah sibuk membuat 'istana' dari gumpalan pasir pantai. Di kejauhan tampak Disya berlarian bersama kakek, bermain-main dengan gelombang dan riaknya yang mengarah pada mereka.

Momen beberapa saat lalu masih teringat jelas dalam ingatan pria itu, ketika mereka semua sedang menaiki kapal nelayan untuk sekedar mengunjungi pulau kecil di seberang sana.

"Waah... Aku suka banget." Disya memandang takjub pemandangan laut yang terhampar seluas mata memandang. Di sampingnya, Asma mengawasi buah hatinya sambil menikmati pemandangan juga.

Sementara agak jauh, Pak Doni duduk di samping Farhan yang terus menerus menatap laut tanpa berbicara sepatah kata pun. Seperti biasa.

"Oh?" Pak Doni membuat raut wajahnya seolah sedikit terkejut. Tapi, sedikit banyak memang benar. Dia agak terkejut ketika Farhan mengeluarkan bunga mawar dari dalam sakunya. Tangkainya dipotong pendek, beberapa helai kelopaknya sudah rontok. "Kak Farhan dapet darimana bunganya?"

"Di taman samping rumah."

"Yes! Dia jawab," batin Pak Doni senang.

"Mau buat apa emangnya?"

The Last Memory [Proses Revisi]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant