16. Tabir

122 35 23
                                    

Sarah membanting pintu keras-keras. Ponsel Doni sama sekali tak bisa dihubungi. 

"Pengkhianat!" Satu kata yang entah bagaimana meluncur begitu saja dari mulutnya.

Farhan yang baru saja selesai mengerjakan tugas sekolah segera keluar dari kamar begitu mendengar kegaduhan di ruang tamu. Kegaduhan yang sebenarnya hanya berasal dari satu orang.

"Ada apa, Bu?" tanya Farhan penasaran. 

Melihat putra tunggalnya itu muncul, Sarah dengan sigap menghampiri lalu menarik lengan kecil Farhan dan menuju kamar. 

"Cepet beresin barang-barangmu!" perintah Sarah di ambang pintu kamar Farhan.

"Kita mau pindahan lagi?" 

"Udah, ga usah banyak tanya," jawab Sarah lantas dengan cepat mulai memasukkan pakaian Farhan dan buku-buku ke dalam tas. Teramat buru-buru untuk sekadar menunggu Farhan menuruti perintah.

Merasa tak cukup, Sarah segera mengambil sebuah kardus bekas mi instan untuk menata buku dan pakaian Farhan yang sebelumnya sudah tak muat untuk dimasukkan ke dalam ransel.

"Kita mau kemana, Bu?" tanya Farhan di tengah-tengah kesibukan Sarah menata barang-barang. Sesekali ia membantu memasukkan buku ke dalam kardus.

"Udah nggak ada yang ketinggalan, kan?" Pertanyaan Farhan dibalas dengan pertanyaan lain oleh Sarah. Anak laki-laki itu sejenak melihat sekeliling kamar kemudian menggelengkan kepala.

"Oke, kalo gitu kita berangkat," ucap Sarah singkat.

Keduanya berjalan menuju pintu keluar rumah.

Sarah membuka pintu rumah tepat ketika seorang pria baru saja akan mengetuk pintu kusam itu. Dengan sigap pria itu menurunkan tangan yang tak jadi mengetuk pintu lantas memberi salam pada Sarah. Sesaat ia juga menoleh dan tersenyum pada Farhan yang berdiri di samping ibunya.

"Mau kemana malam-malam gini?" tanya pria itu yang tak lain adalah Pak Doni.

"Emm ... kamu ke dalam dulu sana," perintah Sarah pada Farhan.

"Apa, Bu?" tanya Farhan sekali lagi.

"Masuk ke kamarmu dulu, taruh tasmu, setelah itu bikinin teh buat tamu," jawab Sarah sedikit lebih tenang. Ia lantas meletakkan kardus berisi buku dan sedikit pakaian Farhan itu di dekat sofa.

"Ga masuk?" Tanya Sarah pada Pak Doni yang lebih terdengar seperti perintah. Tak lama kemudian keduanya duduk di sofa.

"Ada apa ke sini?" 

"Oh, emm ... "

"Kebiasaannya persis sepertimu." 

"Hmm? Apa?"

"Gosok-gosok ibu jari kalau lagi bingung."

Dengan cepat Pak Doni menyadari apa yang dibicarakan Sarah.

"Tapi maksudmu tadi ... kebiasaannya?" Pak Doni mengernyitkan dahi.

"Farhan," jawab Sarah singkat.

"Kenapa sama Farhan?" Pak Doni masih saja belum mengerti dan butuh penjelasan akurat.

"Farhan anakmu. Darah dagingmu."

Deg.

Seketika suasana menjadi hening. Kalimat pendek itu teramat jelas untuk didengar. Pak Doni pun tak perlu membuat Sarah mengucapkan ulang kalimat itu.

"Jadi itu yang mau kamu omongin ke aku tadi siang?" 

"Apa maksudnya kamu nyuruh istrimu buat dateng?"

"Dia lihat sms yang kamu kirim, dia yang bales, dan dia juga yang blokir nomormu."

"Huh. Omong kosong!"

"Aku serius. Aku juga baru tau kalo dia udah tau semuanya. Selama ini aku nggak pernah cerita apapun soal masa lalu apalagi soal kamu."

"Farhan tau soal ini?" lanjut Pak Doni mengalihkan pembicaraan.

"Dia baru aja denger. Tapi entah dia paham atau nggak," sepasang mata Sarah melihat ke arah cermin rias yang cukup lebar. Terlihat Farhan sedang berdiri mematung di balik tembok dengan nampan di tangannya.

"Ayahmu sudah haus, cepet ke sini dan kasih minumannya," ucap Sarah lantang. Tentu saja ditujukan pada Farhan yang sedari tadi bersembunyi sembari mencuri dengar percakapan kedua orang dewasa itu.

Pak Doni hanya terdiam. Perasaannya cukup berkecamuk. Tak mampu memikirkan kalimat apa yang harus diucapkan.

"Kenapa ibu ... sebut Papanya Disya ... ayahku?" tanya Farhan usai meletakkan segelas teh di depan Pak Doni. Wajah Farhan tertunduk ke lantai.

"Liat aja tuh kebiasaannya. Bener-bener mirip kamu," kedua mata Sarah tertuju pada ibu jari Farhan yang digosok-gosok sendiri olehnya.

"Dia pasti lagi takut sekarang, atau mungkin ... bingung?" lanjut Sarah.

Melihat itu Pak Doni tak tahan. Ia segera menghampiri Farhan. Memegang kedua tangan kecilnya lantas mengusap lembut rambutnya.

"Farhan balikin dulu nampannya ke dapur, terus masuk kamar yaa.." ucap Pak Doni dengan lembut.

"Kamu apa-apaan, kayak gitu di depan anak kecil?"

"Kenapa? Apa seburuk itu sikapku? Kalo gitu bawa dia pulang ke rumahmu."

"Apa dia bener anakku?"

"Apa kamu bilang? Kamu pikir aku bakal tidur sama semua laki-laki?! Kamu kira aku serendah itu?! Kamu tau ... kamu barusan nyakitin perasaanku dengan pertanyaanmu. Kalau aku tau, kamu cuma bajingan ... aku nggak akan kebujuk rayuanmu. Omong kosong soal cinta!"

Pak Doni menghela napas panjang.

"Oke kalau gitu. Aku bakal tes DNA dia dulu setelah itu bakal aku bicarain sama istriku," ucap Pak Doni lalu berdiri dari sofa dan bersiap untuk pergi.

"Istri...?" Sarah tersenyum kecut. 
"Tentu. Kamu harus bicara sama istrimu. Jangan pernah lagi jadi pengecut," lanjut Sarah. Sepasang matanya menghadap lantai semen. Menahan air mata yang hampir tumpah. 

"Kita ... " ucap Pak Doni yang berhenti di ambang pintu.

"Nggak usah lagi bahas masa lalu."

Tes.

Pada akhirnya air mata itu menetes juga. 

Malam semakin gelap. Menyisakan setitik air mata di atas lantai semen yang mulai terasa dingin. Menyisakan segelas teh yang masih utuh tak tersentuh. Juga pikiran gundah seorang bocah yang baru akan menginjak usia sebelas tahun.

***



Revisi 1
4 Juni 2019

The Last Memory [Proses Revisi]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon