12. Segelas Teh

131 32 31
                                    

"Permisi," ucap seorang remaja mengagetkan lamunan Pak Doni. Asma turut menoleh.

"Seseorang meminta saya memberikan ini pada Tante," lanjut remaja itu. Gadis remaja berkulit coklat dengan seragam sekolah warna abu-abu.

Asma menerima KTP yang memang miliknya itu. Tapi kemudian mengernyitkan dahi.

"Makasih," ucap Asma yang dibalas dengan anggukan. Sepertinya ia adalah anak atau cucu pemilik kafe ini. Setelah memberikan KTP pada Asma, ia pergi ke dalam sebuah ruangan di sebelah kasir.

"Apa maksudnya ya, Pa?" tanya Asma yang masih keheranan. Sementara gadis tadi juga tak bisa menjawab siapa orang yang menyuruhnya.

Pak Doni hanya mengangkat bahu, tak mengerti. Walau sebenarnya ia tau siapa wanita itu dan apa alasannya tak memberikan langsung.

***

Sarah baru saja sampai di restoran tempatnya bekerja. Wajahnya tertunduk lesu, kecewa.

"Loh, urusannya udah selesai, Mbak? Kok cepet amat?" tanya Heni yang baru saja keluar, kedua tangannya memegang dua kresek hitam berisi sampah yang akan dibuang di tong sampah sebrang jalan.

Sarah hanya mengangguk pelan lalu masuk ke dalam restoran lewat pintu belakang.

Sarah tak punya pilihan lain. Ia sangat terkejut ketika mendapati bahwa perkiraannya soal Doni memang benar. Dan itu juga yang membuatnya tak bisa berkutik.
Lantas bagaimana bisa dirinya dengan percaya diri menemui Doni?
Bagaimana kalau justru Doni pura-pura tak mengenalnya?
Kalaupun dengan jujur mengenalinya, apa yang akan dipikirkan istrinya?

"Udah selesai urusanmu?" ucap Bu Inah menanyakan hal yang sama. Sarah hanya mengangguk pelan kemudian menyibukkan diri dengan pekerjaan. Beberapa waktu lalu Sarah minta ijin untuk keluar dan menyelesaikan urusan yang membutuhkan waktu beberapa jam. Tapi ini belum ada sejam, Sarah sudah kembali.

"Dia kenapa?" tanya Bu Inah pada Heni yang baru saja masuk usai membuang sampah.

"Nggak tau Bu," jawab Heni seraya mengangkat bahu. Ia kemudian bergabung dengan Lesti yang sedang mencuci piring.

***

"Ibu udah pulang?" tanya Farhan yang baru saja melihat ibunya memasuki ruang tamu. Ia penasaran, baru kali ini ibunya itu pulang sore. Biasanya selalu pulang malam.

Sarah tak menjawab, hanya mengehala napas dalam lalu duduk di sofa. Beberapa waktu lalu Bu Inah menyuruhnya pulang karena melihat anak buahnya tak fokus bekerja. Keberadaannya hanya akan membuat pelanggan menghilang satu per satu.

Sarah masih termenung, sekilas kemudian melihat ke arah Farhan.

"Apa kuberikan saja anak ini padanya? Toh, ini anaknya. Lagipula dia akan percaya begitu melakukan tes DNA," gumam Sarah dalam hati.

Keinginannya selama ini masih belum berubah. Ia ingin Farhan pergi dari hidupnya. Melihat anak laki-laki itu hanya membuat ingatan masa kelam itu selalu muncul.

Beberapa saat kemudian Farhan muncul dengan membawa teh hangat buatannya. Ia merasa ibunya perlu energi.

Farhan meletakkan teh hangat itu di meja, di depan ibunya. Sementara Sarah tak mengucapkan apapun. Ia masih terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Bu," ucap Farhan lirih lalu duduk di sofa beberapa jarak dari ibunya. Sebenarnya ia tak ingin menganggu, tapi ia juga ingin tau, apa yang membuat ibunya akhir-akhir ini berubah.

Sarah masih tak menjawab.

"Bu—"

"Apa sih, Han? Kamu itu ganggu aja tau nggak? Udah sana belajar di kamarmu, jangan gangguin ibu!" bentak Sarah dengan emosi meluap-luap.
"Apa lagi ini? Buang aja sana!" lanjut Sarah lantas mendorong gelas berisi teh itu dengan tangan kanannya hingga membentur dinding yang hanya beberapa jarak dari meja.

Seketika itu gelas pecah. Tumpahan teh membuat ubin semen itu basah. Farhan syok dibuatnya. Ia kaget namun kemudian tersadar dan langsung pergi ke belakang mengambil beberapa peralatan untuk membersihkan pecahan gelas dan air teh.

Sementara Sarah masuk ke kamar tanpa merasa bersalah. Berniat melanjutkan semedi di dalam kamar tanpa gangguan.

Darah segar keluar dari ujung jari telunjuk Farhan. Pecahan kaca itu membuatnya terluka.

"Aarrgh," gumam Farhan menahan perih di jarinya.

Usai membersihkan kekacauan di ruang tamu, Farhan mengobati lukanya. Ia mengambil kotak P3K di ruang tengah. Kotak P3K yang teramat tinggi membuatnya mengambil sebuah kursi plastik. Ia harus memanjat sesuatu untuk meraihnya.

Dan berhasil!

Dengan susah payah Farhan menutup lukanya dengan sebuah plester coklat. Yah, walaupun sedikit berantakan, setidaknya itu cukup menutup lukanya.

Merasa belum puas, Farhan coba membuat segelas teh lagi. Mungkin kali ini Ibunya itu akan meminumnya.

Tak membutuhkan banyak waktu. Farhan dengan hati-hati membuka kamar ibunya, hanya sedikit. Cukup untuk memasukkan segelas teh itu lewat bawah. Mendorongnya perlahan di atas lantai semen.

Tanpa diduga, Sarah membuka pintu lebar-lebar. Membuat Farhan kaget dan jatuh ke belakang yang sesaat tadi dirinya sedang jongkok. Sibuk memasukkan segelas teh itu dengan hati-hati.

Segelas teh yang lagi-lagi ditolak.

Sarah menendang gelas itu dengan kakinya. Pelan memang, tapi cukup pasti membuatnya tumpah. Memberikan Farhan satu pekerjaan yang sama. Lagi.

***

Pak Doni menghempaskan dirinya di tempat tidur. Di sampingnya, Asma sudah terlelap sejak dua jam yang lalu.

Perasaan kacau menghinggapinya. Ia berpikir keras tentang apa yang terjadi tadi sore. Tentang Sarah. Tentang penyesalah di masa lalu.

Ya. Dia memang pernah mencintainya. Perasaan itu pun masih ada hingga sekarang. Merindukannya? Jelas. Tapi apa yang bisa diperbuat?

Saat ini sudah ada Asma di sampingnya. Sudah ada Disya, malaikat kecilnya. Bagaimana dirinya akan menghianati kedua orang ini demi seseorang di masa lalunya? Sudah cukup hanya Sarah. Tak perlu ada orang lain lagi yang terluka.

"Belum tidur?" ucap Asma yang tiba-tiba terbangun.

"Emm, ini mau tidur," jawab Pak Doni singkat lalu memutar tubuh membelakangi istrinya.

"Ada masalah?" tanya Asma lagi, kali ini ia peluk suaminya dari belakang.

"Sedikit masalah di kantor," jawab Pak Doni singkat lantas mencoba memejamkan kedua matanya.

Malam semakin dingin. Beberapa potong kenangan itu muncul secara bergantian. Beberapa potong bayangan masa depan muncul tak beraturan. Akankah segalanya berakhir tanpa membuat kesalahan yang sama?

***



Revisi 1
3 April 2019

The Last Memory [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang