18. Kakek

117 34 9
                                    

Ini adalah senin pagi pertama bagi Farhan berangkat sekolah dari rumah Pak Doni. Raut wajahnya memang tak sesendu kemarin. Namun sayang, masih tetap tanpa ekspresi. Datar.

"Ehem," Kakek yang ada di ujung meja makan baru saja usai meneguk air minum. Entah kenapa tiba-tiba semua mata tertuju pada Kakek hanya karena suara deheman, pun dua daun telinga yang tiba-tiba menajam dari kejauhan.

Kecuali dua anak kecil berseragam sekolah yang masih sibuk menikmati sarapannya.

"Ada yang mau kalian katakan?" Kakek melap mulutnya dengan sebuah tisu.

Asma dan Pak Doni sedikit bingung.

Bukannya kakek yang mau bilang sesuatu?

Lah? Kirain..

Pak Doni sedikit lega, sementara Asma tak terlalu mengambil pusing tingkah mertuanya yang sudah mulai menua itu. Asma memang penasaran, kalau-kalau kakek ingin mengatakan sesuatu, tapi tentu saja rasa penasarannya tak sebesar rasa penasaran Pak Doni.

Kakek baru saja akan beranjak dari kursinya ketika Pak Doni tiba-tiba mengatakan sesuatu.

"Doni mau konsultasi sama kakek soal investasi yang baru-baru ini sedang Doni pertimbangkan," Pak Doni segera melap mulutnya dengan tisu, disusul Asma. Persis seperti yang dilakukan kakek barusan.

"Investasi yang mana? Yang ada di perusahaan atau di rumah?" Menekankan kata terakhir, Kakek mengalihkan pandangannya pada Farhan yang hampir menghabiskan makanannya.

"Dua-duanya."

Pembicaraan itu berakhir dengan pertemuan tertutup antara anak dan ayah di sebuah ruang kerja yang letaknya tak jauh dari kamar Pak Doni.

"Ayo, cepet Disya. Keburu telat," Asma sudah siap di belakang kemudi mobil.

Gadis berambut panjang itu dengan cepat masuk ke dalam mobil disusul Farhan. Keduanya duduk di jok tengah mobil dari jenis MPV itu.

"Sabuk pengamannya, Farhan."

Anak laki-laki itu belum terbiasa tentunya, ketika sebelumnya yang ia naiki paling tidak hanyalah mobil angkutan umum.

Beberapa waktu lalu, saat ibunya kecelakaan adalah kali pertama Farhan naik mobil yang saat ini ia tumpangi. Ketika itu Farhan kebingungan dengan apa yang diperintahkan Pak Doni, tapi dengan sigap Disya membantu lantas mengajarinya.

"Gampang, kan?" Ucap Disya kala itu dengan senyum mengembang.

Mobil itu melaju keluar gerbang. Menuju jalanan bergabung dengan lalu lintas yang mulai padat.

***

"Aku mohon supaya Papa perlakukan dia sama kayak Disya." Pak Doni menatap tajam ayahnya.

"Emang apa yang udah Papa lakuin? Papamu yang sudah tua ini kan ga ngapa-ngapain?" Kilahan semacam ini yang membuat Pak Doni geram.

Ia teringat oleh pertemuan ayah dengan putranya kali pertama kemarin siang.

"Oh.. jadi ini anak yang kamu bilang waktu itu?" ucap Kakek yang saat itu baru saja pulang dari menghirup udara segar sekaligus menjenguk istrinya di pemakaman karena merindukannya.

Tanpa perintah, Farhan mencium tangan Kakek lantas memperkenalkan diri. "Nama saya Farhan Putra."

"Hmm.. iya iya," Kakek melirik sebentar ke arah Doni dan Asma yang sedang berdiri di sampingnya. "Karena kamu sudah bergabung dengan keluarga ini, tambahkan 'Alamsyah' di belakang namamu."

"Doni udah ngurus itu, Kek."

"Oh ya?" Kakek berjalan menuju ruang makan. Serentak ketiga orang itu mengikutinya dari belakang.

Beberapa langkah kemudian ia berhenti. Pun dengan orang-orang yang mengikutinya barusan.

Tiba-tiba Kakek membalik badan lantas mengelus rambut hitam Farhan dengan tersenyum lebar. "Kakek nggak nyangka kalau ternyata punya cucu laki-laki." Kakek melepaskan usapan tangannya dari kepala Farhan lantas memandang ke arah Doni dengan tatapan tajam. "Sayang, dia terlahir sebagai anak haram."

Sontak saja Asma menutup telinga Farhan dengan kedua tangannya.

"Apa-apaan Kakek?!" Pak Doni terlihat marah. Tapi yang jadi penyebab kemarahannya, justru tak peduli. Ia melenggang masuk ke ruang makan.

"Oh, ada Disya. Pasti udah laper ya?"

Pak Doni keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan Pak Hadi di ruangan itu sendirian.

Pembicaraan yang sungguh sia-sia.

Kakek hanya akan bersikap sesuka hatinya.

***

"Farhan turun di depan aja."

Asma melihat anak laki-laki itu dari kaca spion sambil terus mengemudi. "Lah kenapa, Kak?"

"Kita turun bareng di depan sekolah aja," Disya menimpali.

"Nggak apa-apa," Farhan bersiap melepas sabuk pengamannya.

Obrolan singkat itu berakhir dengan pemenuhan keinginan Farhan.

Mobil berhenti sedikit lebih jauh dari gerbang sekolah.

"Kalo gitu Disya turun sini juga, Ma."

Gadis itu segera berlari mengejar Kakaknya yang sudah beberapa langkah lebih jauh darinya.

Sepanjang jalan hingga gerbang sekolah, hanya celotehan Disya yang memenuhi jarak dan ruang antara mereka berdua.

***


Revisi 1
Agustus 2019

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now