2. Kuda Milik Nadira

293 45 33
                                    

Minggu pagi yang cerah, suasana di dalam rumah Pak Doni begitu hangat. Kakek yang sibuk membaca koran di depan rumah ditemani secangkir teh hangat buatan menantunya. Mata Kakek sudah tidak begitu normal, jadi ia membaca koran dengan kacamata super tebal.

Asma Ningrum, istri Pak Doni yang kini sibuk membuat kue nastar untuk camilan keluarga. Bersama Bibi Sari yang sudah membantu keluarga Pak Doni selama belasan tahun terakhir.

Pak Doni sendiri sedang sibuk bermain dengan Nadira di teras rumah, di depan Kakek yang sibuk membaca koran.

Nadira menjadi satu-satunya putri kesayangan Pak Doni. Pria itu kini memainkan boneka barbie. Memakaikan baju kemudian menyisir rambut barbie kecil milik Nadira.

"Ayo, Pa. Jadi kudanya Disya," ucap gadis kecil itu. Rambutnya yang hitam dan panjang dibiarkan terurai. Ia menarik-narik lengan Pak Doni. Berharap keinginannya akan terkabul.

"Disya kan udah kelas satu. Masa masih main kuda-kudaan sih?" tanya Pak Doni yang sebenarnya enggan menuruti keinginan Nadira. Ia sudah cukup lelah karena bekerja, lagipula bermain petak umpet atau boneka barbie seperti biasanya sudah cukup mengasyikkan.

"Ayolah, Pa ... sekaliii aja," rengek Disya yang tak kunjung menyerah.

"Humm ...?" Seolah sedang berpikir, Pak Doni tetap memainkan boneka barbie milik putrinya.

"Nanti Disya peluk deh ... pelukan paling erat sedunia!" ucap Disya yang mulai membuat kesepakatan dengan penuh semangat.

"Humm ...?" Pak Doni masih belum merubah keputusan. Sesekali ia melirik wajah sang putri kecil yang amat menggemaskan. Apalagi di saat-saat seperti ini. Raut wajah imut yang merengek agar satu keinginan dapat terkabul.

"Tambah ciuman dari Disya!" ucap Disya spontan.

Seolah itu hadiah terbesar dalam hidupnya, Pak Doni langsung merunduk. Mengambil posisi bak kuda berkaki empat. Lalu tanpa ba-bi-bu, Dira atau yang biasa dipanggil Disya oleh keluarga dan kerabat dekatnya itu langsung meloncat ke punggung Pak Doni. Kaki mungilnya diletakkan di depan dan kedua tangan berpegangan pada kerah baju belakang papanya.

Kuda jadi-jadian itu pun segera berjalan sesuai keinginan sang putri. Kakek yang sesekali memerhatikan dua makhluk itu hanya tersenyum kecil lalu menenggelamkan diri kembali dalam korannya. Entah berita apa yang mencuri perhatian Kakek lebih dari tingkah anak dan cucunya.

Bosan berjalan di teras, kuda dan penunggang kecil itu berjalan masuk menyusuri rumah.

"Nastar Mama udah jadii.." ucap Asma yang tiba-tiba datang dengan membawa sepiring kecil kue nastar. Masih hangat dan harum khas kue nastar pada umumnya. Beberapa kue yang sudah dingin ia simpan dalam toples-toples kecil. Sedangkan yang hangat disajikan langsung. Harumnya sungguh menggugah selera.

Melihat itu, Disya dan 'kudanya', yang tadi sudah hampir sampai di ruang tengah, secepat kilat kembali mengikuti Asma ke teras depan. Tempat Kakek asyik membaca koran.

Asma meletakkan sepiring kue itu di samping cangkir teh Kakek.

Kakek yang sedari tadi sibuk membaca berita kini meletakkan koran dan mengambil satu kue lantas menikmatinya.

Begitu sampai di teras, Disya tiba-tiba meloncat dari punggung Papanya kemudian duduk di pangkuan Kakek. Pria dengan uban memenuhi kepala itu tersenyum lantas menyambut Disya dengan pelukan hangat.

"Mana peluk ciumnya, Disya? Kok malah duduk sama Kakek?" ujar Pak Doni setelah berdiri dari posisinya sebagai kuda. Wajah tampan Pak Doni dibuat semanyun mungkin, bermaksud menggoda putrinya. Ia mengambil satu kue kemudian duduk di kursi yang bersebelah dengan Asma.

Bukannya menjawab, Disya justru menjulurkan lidah, mengejek. Membuat Kakek dan Asma tertawa.

"Aa-aa," ucap Kakek menyuapkan nastar ke mulut Disya yang kemudian direspon dengan cepat oleh mulut mungilnya.

"Kue Mama selalu yang terenak!" ucap Disya sambil mengunyah nastar. Ucapannya hampir menjadi tidak jelas karena ia bicara sambil makan.

"Kalau makan dikunyah dulu, bicaranya nanti," ucap kakek meletakkan jari telunjuk di depan bibir Disya.

"Emm," Disya mengangguk sambil mulutnya tetap mengunyah.

***

Revisi #1
29 September 2018

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now