17. Ice Cream

152 35 39
                                    

Skema takdir itu kini membentang lebih luas.

Seorang pria baru saja menutup bagasi mobil lantas berjalan ke dalam rumah diikuti seorang anak laki-laki dengan tas ransel di punggung. Sejenak ia berhenti dan memandang pintu rumah bercat putih yang ada di depannya.

"Ayo masuk!" ucap Pak Doni menggandeng tangan Farhan sementara tangan yang satunya lagi memegang koper. Anak laki-laki itu hanya menundukkan kepala sejak dalam perjalanan rumah lamanya menuju rumah Pak Doni. Sebelumnya ia sempat menciptakan kesan tak terlupakan di awal pertemuan dengan Pak Doni sebagai anak dan orang tua.

"Kak Farhan...!" teriak Disya dengan wajah berseri-seri. Segera ia berdiri dari sofa dan melemparkan boneka beruang yang sedari tadi dimainkannya. Beberapa waktu lalu, Pak Doni memberitahu Disya bahwa ia akan kedatangan Farhan sebagai kakaknya. Gadis kecil itu sempat bingung dengan penjelasan panjang lebar, di sisi lain justru tak mempermasalahkan situasi apa yang sedang terjadi, sebab orang baru itu adalah orang yang sudah ia kenal.

"Main yuk, Kak!" ajak Disya mencoba menggandeng tangan Farhan. Anak laki-laki itu hanya tersenyum kecil. Ia tak merespon gandengan tangan Disya, tapi juga tak menolak.

"Disya ... Kak Farhan biar taruh dulu barang-barangnya, lagian Kak Farhan juga masih capek," ucap Asma lantas meletakkan majalah yang ia baca di atas meja. Mendengar itu, wajah Disya merengut. Ia lepaskan gandengan tangannya dari Farhan dengan terpaksa.

"Sini sama Papa. Masa gara-gara ada Kak Farhan, Papa jadi dilupain," ucap Pak Doni menggoda. Tak butuh waktu lama, Disya segera menghampiri Papanya yang juga berdiri tak jauh dari Farhan.

"Ayo, biar Mama antar ke kamarmu," lanjut Asma. Dengan cepat ia mengambil koper milik Farhan yang sedari tadi dipegang oleh suaminya.

"Mama?" Batin Farhan. Dengan cepat ia pun mengerti bahwa wanita itu -Mama Disya- adalah Mamanya juga. Meski sebelumnya sudah sempat ia bayangkan, tapi bagi Farhan, semua perbubahan itu terlalu cepat untuk diterima.

"Farhan suka?" tanya Asma begitu sampai di kamar Farhan. Kamar bercat biru awan dengan motif bola basket lengkap dengan ringnya di satu sisi. Ruang yang cukup luas dengan tambahan jendela yang lumayan lebar menghadap taman samping rumah.

"Kurang suka ya..? Kalau kurang-"

"Saya suka," potong Farhan.

"Syukur kalau gitu," ucap Asma tersenyum kemudian berjalan menuju lemari dua pintu di pojok kamar. Tak lama kemudian ia membuka koper hendak memasukkan pakaian Farhan ke dalam lemari.

"Saya bisa menatanya sendiri." Dengan sigap Farhan menjauhkan kopernya dari tangan Asma.

"Bisa sendiri?" tanya Asma memastikan. Farhan hanya mengangguk pelan.

"Ngomong-ngomong Farhan nggak perlu terlalu formal. Bicara seperti Disya juga nggak apa-apa," ucap Asma.

"Farhan paham kan yang Mama bilang?" tanya Asma yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Farhan.

"Oh ya, itu rak bukunya di sana. Dan juga kamar mandi ada di sebelah sana," lanjut Asma menjelaskan sambil menunjuk ke arah dua tempat yang ia bicarakan. Sepasang mata Farhan mengarah ke tempat yang dimaksud Asma.

"Kalau gitu Mama keluar dulu, dua jam lagi Farhan keluar ya. Kita makan siang bareng sekalian ngucapin salam ke kakek," ucap Asma menepuk lembut bahu Farhan. Tak lama kemudian wanita itu berjalan keluar dan menutup pintu kamar Farhan.

Farhan menghelas napas panjang. Segera ia memasukkan pakaian ke dalam lemari serta merapikan barang-barang lain.

***

The Last Memory [Proses Revisi]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant