19. Remember

129 32 12
                                    

"Mbak Asma bener-bener hebat," Sari mengawali pembicaraan ketika ia baru saja akan mencuci piring kotor. Di balik meja kecil tempat biasa Sari makan sendirian, Asma duduk mengupas jeruk.

"Apanya?"

"Ya mau menerima anaknya Mbak Sarah."

"Jangan sebut nama itu, Sar.."

"Eeh, iya. Maaf.. Mbak," terdengar penyesalan dari nada suara Sari.

"Selama itu bukan ibunya, aku rasa aku bisa terima. Apa masalahnya kalau dia anak dari mantan kekasih suamiku? Lagipula, toh dia juga masih tetap anaknya Mas Doni."

Sesungguhnya ia tau, suaminya itu menginginkan anak laki-laki. Tapi kondisi dirinya saat ini benar-benar tak bisa memenuhi keinginan suaminya. Ia mendapat operasi histerektomi tepat saat usia Disya akan menginjak dua tahun.

"Matanya selalu bercahaya ketika mendengar atau menyebut nama anak itu," gumam Asma.

***

Sarah baru saja akan berangkat kerja. Ia mengeluarkan motor matic itu dari dalam rumah. Nampak lumpur tipis mengering bekas ban motornya yang semalam kehujanan dan langsung ia masukkan tanpa membersihkannya terlebih dahulu.

Ia mengambil kain pel. Tak butuh waktu lama, lantai semen itu kembali bersih. Meski tak sempurna.

Semalam, ia pulang dari bersenang-senang. Makan di restoran terkenal, masuk bar karaoke dan tak lupa singgah di mall sebelum pulang.

"Kayaknya aku udahan deh. Aku harus cepet pulang," Kerin terlihat buru-buru pamit setelah melihat jam tangannya menunjukkan pukul sembilan. Harinya sebagai 'gadis lajang' yang bersenang-senang habis sudah. Waktunya untuk kembali ke rumah. Kembali menjadi ibu dan istri dari keluarga yang sudah menunggu cukup lama.

"Lah itu pesenannya gimana?" Sarah terlihat kecewa meski ia tau situasi Kerin memang tak memungkinkan untuk berlama-lama di luar. Ia sudah berkeluarga.

"Kalian aja yang makan. Ini juga Ayahnya Adit udah nelpon bolak-balik dari tadi. Tapi nggak aku angkat," ucap Kerin sedikit terkekeh.

Tak lama kemudian tradisi cipika-cipiki berlangsung dalam beberapa detik.

"Ati-ati, Rin." Ayu berteriak dari tempatnya duduk sembari melambaikan tangan pada Kerin yang sudah mulai menjauh.

"Kamu nggak juga, kan?" Sarah memastikan. Berharap wanita yang masih melajang karena lebih mencintai karirnya itu akan berkata 'tidak'.

"Ya aku sih tergantung kamu. Kalo udahan ya oke, kalo masih mau lanjut, thats not problem."

Jawaban Ayu membuat Sarah lega.

Seorang pelayan baru saja mengantarkan pesanan. Ayu dengan cepat menyambar pesanan miliknya dan milik Kerin. "Punya Kerin biar aku yang makan."

"Tapi ngomong-ngomong Farhan pasti sendirian kan di rumah?" Tak ada angin tak ada hujan, Ayu tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak diharapkan Sarah.

"Kamu mau sampai kapan melajang? Nggak pengen tuh punya keluarga bahagia kayak Kerin? Anaknya lucu-lucu lagi. Mending sekali-kali kamu mampir tuh ke rumahnya, biar ketularan pengen punya anak. Atau seenggaknya jadi pengen nikah."

"Yaelah.. malah ngalihin topik nih bocah."

"Masih belum bisa berdamai sama masa lalu?" Lanjut Ayu sembari sibuk mengunyah makanannya.

Sarah melotot tajam. Kalimat barusan benar-benar mengubah moodnya. Ia lepas sendok tart itu sekenanya. Ia bersenang-senang hari ini karena baru saja terbebas dari kesesakan yang sejak lama ia rasakan. Tapi, sahabatnya itu justru membicarakan hal yang ia benci tanpa mempertimbangkan perasaannya. Padahal dulu Sarah sering memperingatkan Ayu atau Kerin, agar tak membicarakan storyline kehidupannya.

"Udah waktunya kamu lupain Doni. Fokus aja ke Farhan. Dia cerdas. Dia bisa jadi investasi terbaik masa depanmu kelak. Entah kenapa, aku lihat dia sedikit beda kalau dibandingin sama anak-anak seusianya. Semacam cahaya di tengah kegelapan. Kayak punya magnet gitu. Apa karena Doni ayahnya ya?"

"Aku pulang dulu. Seperti yang kamu bilang, dia sekarang sendirian di rumah."

Sarah mendorong kursinya ke belakang dan hendak pergi tanpa menunggu respon Ayu.

"Wooiii..! Ini siapa yang bayar?!" Dan teriakan Ayu hanya terdengar samar-samar oleh telinga Sarah yang mulai menjauh.

"Ah, sial!"

***

"Sepeda sialan!" Umpat Sarah setelah baru saja meletakkan kain pel dan kembali ke dalam kamar untuk mengambil tasnya. Ketika berjalan melewati ruang tamu, ia melihat sepeda yang pernah dipakai Farhan itu berdiri tegak. Dan entah kenapa, pemandangan itu menganggu matanya. Seharusnya ia sudah membuangnya kemarin.

"Kenapa barang segede ini, aku bisa lupa?!" gumam Sarah pelan.

Rencananya, ia akan membawa sepeda itu ke tempat rongsokan dan menjualnya.

Brak!

Sepeda kecil itu roboh karena tendangan kaki Sarah.

Wanita itu berjalan keluar tanpa mempedulikannya. Baru saja akan mengunci pintu rumah, tiba-tiba perasaannya jadi tak enak. Ia membuka sedikit pintu kusam itu, melirik sepeda kecil yang ia tendang dengan kakinya, tergeletak tak berdaya. Sarah menghela napas panjang.

Ia putuskan kembali masuk ke ruang tamu. Ia dengan hatinya yang tak karuan berusaha membetulkan posisi sepeda itu agar berdiri tegak seperti semula.

"Gitu doang kok bisa patah? Kenapa sepeda kayak gini harus dipake Farhan? Padahal dia anak yang kuat..." Sarah menggumam tak jelas sembari memegang pedal sepeda yang patah. Seketika itu air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Ia tau, hatinya tak bisa dibohongi. Ia membenci semua kenangan masa kelamnya. Tapi tidak dengan anak laki-laki itu.

Bukan hanya sepeda. Tadi pagi ini ia bahkan membuat dua porsi nasi goreng serta menyiapkan dua piring, seperti biasa. Sementara Farhan tak lagi duduk di balik meja makannya...

***

Notes:
Histeroktomi = Operasi pengangkatan rahim karena suatu penyakit.

Revisi 1
Agustus, 2019

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now