9. Lukisan Sejarah

147 34 42
                                    

Malam semakin gelap, jalanan pun mulai lengang, dan semua orang sudah hampir terlelap.
Tapi sebuah drama, baru saja akan dimulai. Di sini. Di dalam rumah megah bercat putih.

Suara pintu rumah didorong dengan keras. Seorang pria muda baru saja masuk dengan keadaan tak terkendali. Wajah memerah, rambut berantakan, tatapan mata tak stabil, dan apa yang dibicarakannya amat tidak jelas. Seketika itu juga ruangan dipenuhi dengan bau alkohol yang amat menyengat.

Di samping pria itu, seorang wanita mengenakan gaun merah tanpa lengan. Rambutnya sama berantakan, begitu pula dengan warna merah di bibirnya. Hanya saja ia terlihat lebih sadar daripada pria yang saat ini ada di sampingnya.

"Mbak Sari, tolong bantuin," pinta wanita bernama Sarah kepada seorang wanita yang berdiri di depannya. Wanita itu yang pertama kali menyambut kedatangan mereka sejak pintu dibuka.

Tanpa pikir panjang, Sari membantu Sarah membopong tuan muda ke dalam kamar. Sebenarnya banyak hal berkecamuk dalam benak Sari.

"Apa-apaan ini?!" baru beberapa langkah, mereka dikejutkan oleh suara serak dari arah belakang mereka. Saat menoleh, didapatinya Pak Hadi dan sang istri berdiri menatap mereka. Sari dengan secepat kilat melepaskan lengan kanan si tuan muda dari bahunya kemudian menjauh satu hingga dua meter. Membuat tuan muda bernama Doni terhuyung-huyung hampir jatuh. Beruntung Sarah yang ada di sebelah kiri Doni cukup kuat menahannya.

Pak Hadi berang dengan apa yang dilihatnya, sementara sang istri lebih terlihat cemas. Ia khawatir jika suaminya akan bertindak di luar batas. Sudah lama Pak Hadi menentang hubungan mereka. Sarah dianggap sebagai pengaruh buruk untuk Doni. Walaupun sebenarnya Pak Hadi cukup paham, putranya itu punya kebiasaan dan perangai buruk jauh sebelum mengenal Sarah. Tapi bagi Pak Hadi, Sarah yang terlihat memiliki kesamaan dengan Doni, hanya akan membuat Doni bertambah parah. Ia tak ingin putra tunggalnya itu jatuh lebih dalam lagi. Dua kegelapan tentu saja tak boleh bersatu.

"Ma..lam..pa," ucap Doni yang kesadarannya dipengaruhi oleh alkohol.

"Eeh ... om," ucap Sarah gugup. Wajahnya sedikit ketakutan. Karena sebelumnya Doni mengatakan kalau orang tuanya sedang ada di luar negeri, seperti biasa. Tapi sekarang, apa yang dia lihat jauh dari kenyataan.

"Lepasin Doni!" bentak Pak Hadi lantas melangkah menghampiri dua muda-mudi itu. Menarik Sarah menjauh dari Doni. Membuat Doni terjatuh di ubin marmer. Mamanya yang sedari tadi hanya berdiri, langsung menghampiri putranya.

Tepat setelah itu, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sarah. Membuat Sarah meringis kesakitan. Semua orang terkejut, begitu pula dengan Mbok Darmi yang sedari tadi juga memperhatikan drama pendek itu dari kejauhan.

Dan entah bagaimana tamparan itu membuat Doni memiliki kesadaran lebih banyak dari sebelumnya.

Doni menghampiri Pak Hadi dan Sarah dengan terhuyung-huyung. Mendorong Papanya sendiri hingga jatuh ke ubin kemudian menarik lengan Sarah dan wanita itu pergi.

Pintu terbuka lebar. Seketika itu mobil sedan hitam terlihat keluar, menuju jalanan malam yang semakin gelap.

Pak Hadi dan istrinya yang sempat syok masih menunggu putranya di ruang tamu. Beberapa saat kemudian telepon di ujung ruangan berdering. Mengabarkan sebuah kecelakaan tunggal yang dikemudikan oleh putranya.

***

Tanah merah terlihat masih basah. Bunga-bunga yang ditaburkan di atasnya menyeruakkan bau yang amat wangi. Sebuah nisan bertulisan 'Indah Purnama binti Soeharjo' tertancap di ujungnya.

Beberapa orang baru saja meninggalkan lokasi, menyisakan dua orang di samping kanan dan kiri pekuburan. Duka amat dalam membuat mereka tak mampu berkata-kata. 

"Maafin Doni, Pa," ucap seorang pria muda yang kini duduk di atas kursi roda. Di belakangnya, Sari memegang pegangan kursi roda itu. Mereka baru saja tiba saat pemakaman selesai. Hanya Mbok Darmi yang menyadari kedatangan mereka, sementara Pak Hadi terlalu fokus dengan tanah basah yang ditatapnya.

Tiba-tiba Pak Hadi bangkit berdiri. Ia meninggalkan suasana yang kelam itu tanpa berkata-kata. Juga tak menghiraukan Doni yang memelas di atas kursi roda, memohon pemaafan.

Mbok Darmi mengikuti Pak Hadi dari belakang, meninggalkan cucunya bersama sang tuan muda yang kini meratapi kepergian ibu kandungnya.

Semilir angin berembus tak tentu arah. Sepi. Menyisakan ranting bunga kamboja yang saling bergesakan satu sama lain karena tiupan angin. Menyisakan tangis tertahan seorang putra tunggal yang kehilangan separuh dunia.

***

Sejak hari itu, Pak Hadi sering sakit-sakitan. Doni, yang tak ingin kehilangan keluarga untuk kedua kali, berusaha sekuat tenaga membuatnya bangkit. Bahkan ia mengucapkan banyak janji di antara sela-sela mereka berbicara.

Mengucapkan banyak janji yang membuat sebuah janji yang lain menguap tak berasap.

"Maafin aku, Sarah."

Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Doni pada Sarah. Tanpa mendengarkan pemaafan dari Sarah, tanpa mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Sarah, ia pergi begitu saja. Meninggalkan dua gelas minuman yang masih utuh tak tersentuh. Meninggalkan sepasang mata yang mengharapkan dirinya berbalik arah. Meninggalkan sebuah luka yang hingga kini masih berdarah.

***

Sarah bukannya berasal dari keluarga yang tak mampu. Ia memiliki keluarga yang lebih dari berkecukupan. Almarhum ayahnya adalah seorang haji dan pengusaha yang cukup terpandang. Ibunya pemilik butik muslim yang ramai didatangi pengunjung. Ia juga memiliki dua orang kakak, laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah menikah. Bahkan salah satunya sudah memiliki dua orang anak.

Ketika mendengar pengakuan Sarah, kedua kakaknya amat marah. Ia dianggap mencoreng nama baik keluarga. Ibunya yang selalu membela anak bungsunya itu kini tak dapat berkata-kata. Apa yang dikatakan kedua kakaknya memang benar, sekalipun itu perih.

Ya. Sarah hamil di luar nikah.

"Ini karena Ibu terlalu memanjakan dia," ucap Ridwan emosi, diikuti anggukan oleh Fatimah.

Sejak hal itu diketahui, mereka mengusir Sarah dari rumah. Berharap tak muncul lagi di hadapan mereka. Sebulan usai Sarah meninggalkan rumah, Ibunya meninggal dunia.

Sarah yang saat itu hanya mengenakan pakaian tidur terpaksa luntang-lantung di jalanan selama beberapa hari, hingga seorang nenek yang sehari-hari mencari nafkah dengan mengemis bersedia menampung Sarah.

Sejak saat itulah kehidapan Sarah yang miris dimulai.

Berkali-kali ia mencoba menggugurkan kandungan. Berusaha sekuat tenaga. Cara apapun ia lakukan. Namun sayang, usaha itu tak sesukses wanita lain ketika mencoba menggugurkan kandungan.

Janin itu tetap hidup sekalipun berbagai macam zat menyerangnya. Seolah Tuhan memberinya benteng yang amat kuat. Membuat hal itu terlihat seperti sebuah hukuman yang kekal untuk Sarah.

***





Revisi 1
9 Feb '19

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now