8. Kotak Pandora

145 36 40
                                    

Pagi yang cerah. Matahari dengan gagahnya menampakkan diri tanpa malu-malu. Burung-burung saling bersahutan di atas genting, di dahan pohon, ataupun di kabel-kabel listrik yang memanjang.

Rumah Disya terlihat sibuk lebih dari biasanya. Pak Doni sibuk menyiapkan mobil di garasi rumah. Sementara istrinya, Asma sedang sibuk memasukkan banyak makanan ke dalam beberapa wadah berwarna-warni, dibantu Bibi Sari. Sedangkan Disya hanya sibuk bercanda dengan Kakeknya di teras rumah sambil menunggu semua orang siap berangkat.

Ya. Hari ini mereka akan pergi berlibur selama sehari penuh. Mengunjungi dua tempat wisata untuk membuang rasa jenuh sekaligus mempererat hubungan antar keluarga.

Beberapa saat kemudian semua sudah siap. Papa sudah menunggu di belakang kemudi mobilnya. Disya dan Kakek pun baru saja memasuki mobil. Asma dan Bibi Sari segera menyusul usai mengunci pintu rumah.

Kakek duduk di kursi penumpang bagian depan, sedangkan Bibi Sari duduk di Kursi belakang bersama Disya yang duduk di tengah dan Asma di samping kanan Disya.

Mobil MPV abu-abu itu kini melaju dengan kecepatan sedang bersama beberapa kendaraan lain yang meramaikan jalan raya.

Sepanjang jalan Disya sibuk bermain dengan ponselnya. Sebenarnya mama dan papanya jarang memberi ijin bermain ponsel. Disya dibolehkan bermain ponsel hanya di saat-saat tertentu, ketika usai belajar atau di saat seperti ini. Itu pun dalam waktu yang singkat, tak boleh lama-lama.

Mama dan papa Disya tak ingin mengambil resiko putrinya kecanduan gadget lantas kehilangan nilai sosialnya dengan lingkungan.

"Disya serius amat sih main gamenya?" tanya Bibi Sari yang sedari tadi memperhatikannya dari samping. Disya masih terlalu fokus sehingga mengacuhkan pertanyaan Bibi Sari. Sementara mamanya di samping kanan tampak sibuk memperhatikan jalanan sekitar.

"Kita isi bensin dulu," ucap Pak Doni lantas membelokkan mobil, masuk ke area SPBU.

Seketika Pak Doni masuk ke antrean bbm jenis pertamax, hanya ada dua mobil di depannya. Lumayan sepi. Padahal ini hari libur.

"Nggak ada yang pengen ke toilet nih? Mumpung lagi di SPBU. Nanti perjalanannya lumayan lama loh," ucap Pak Doni sambil melihat ke arah spion belakang.

"Disya?" tanya Bibi Sari, menawari Disya ke toilet seperti yang dikatakan Pak Doni.

"Iya Disya. Mama nggak mau loh kamu nanti ngrengek-ngrengek minta berhenti karena kebelet," ucap mama Disya. Sementara mobil bergerak perlahan ke depan. Tinggal satu mobil di depan mobil Pak Doni.

"Iya deh," jawab Disya singkat. Bibi Sari pun membuka pintu mobil dan segera keluar diikuti Disya yang sedetik kemudian ia melempar ponsel yang sedari tadi digenggamnya ke dalam mobil. Mamanya yang melihat ponsel sedikit terpental di kursi penumpang itu hampir-hampir kaget dibuatnya.

"Ya ampun, anak itu...," mama Disya menghela napas karena kelakuan Disya barusan.

Tak membutuhkan banyak waktu, Disya segera keluar dari toilet. Di depan pintu, Bibi Sari sudah menunggu sambil merapikan rambutnya di depan cermin.

"Udah cantik kok," ucap Disya sambil tersenyum jahil. Bibi Sari tertawa gemas mendengar gurauan Disya.

"Udah yuk, Papa Disya udah nunggu," ucap Bibi Sari lantas menggandeng tangan Disya menuju pelataran SPBU.

Belum jauh melangkah, Bibi Sari dikejutkan oleh sesuatu. Seorang wanita dengan motor bututnya sedang berada dalam antrean bbm jenis premium. Kaca helmnya terbuka, sehingga terlihat jelas wajahnya. Apalagi jarak antara dirinya berdiri dengan wanita itu cukup dekat.

"Bibi kenapa?" tanya Disya penasaran, gelagat Bibi Sari membuatnya sedikit khawatir.

"Oh.. nggak apa-apa, Disya. Ayo jalan," jawab Bibi Sari. Tak lama kemudian mereka sudah ada di dalam mobil.

Selama perjalanan, Bibi Sari terlihat memikirkan sesuatu begitu keras. Sesekali ia melirik pada Pak Doni, kemudian Asma, dan berakhir pada Kakek. Sementara yang diperhatikan sama sekali tak menyadari.

Bibi Sari ingat jelas wajah wanita itu. Wanita yang sering dibawa Pak Doni pulang ke rumah sambil mabuk-mabukan. Saat itu dirinya berusia dua puluh tahun. Wanita itu pun seusia dengannya. Walaupun wajahnya sudah tak secantik dulu, ia tetap dapat dikenali.

Ya, wanita itu bernama Sarah.

***

Sarah tertegun melihat wanita yang pernah dikenalinya itu. Matanya memandang tak percaya. Sesaat kemudian ia menutup kaca helm, menyadari bahwa wanita itu juga memperhatikannya.

Sarah tak mau terburu-buru menyapanya, takut kalau wanita yang dikenalinya itu masih bekerja dengan tuan rumah yang sama.

"Mbak, buruan maju," ucap seorang pria berambut putih yang ada di belakangnya. Pria itu tak memakai helm dan hanya berpakaian seadanya. Kemungkinan dia adalah penduduk di sekitar sini.

Ucapan bapak tua itu mengagetkan lamunan Sarah. Ia kemudian mendorong motornya. Di depan, tinggal satu motor yang sedang mengisi bensin. Sarah kembali memandang ke arah wanita yang tadi ia lihat. Wanita itu kini masuk ke dalam mobil bersama seorang gadis kecil yang tadi juga sempat ia lihat.

"Apa dia sudah ganti majikan ya?" Sarah bertanya-tanya dalam hati.

"Selamat pagi. Mau diisi berapa, bu?" tanya seorang petugas SPBU pada Sarah. Kembali ia tersadar dari lamunannya.

"Eeh.. sepuluh ribu," ucap Sarah lalu memberikan selembar uang sepuluh ribu.

"Sepuluh ribu premium, mulai dari nol ya?" ucap petugas SPBU itu yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Sarah. Mobil yang diperhatikannya sejak tadi kini sudah pergi, menghilang dari pandangannya.

"Pas ya, bu. Terimakasih," ucap petugas SPBU itu dengan senyuman yang masih sama seperti sebelumnya. Sangat konsisten. Seragamnya pun lengkap dengan topi dan tas hitam untuk menyimpan uang penjualan. Di dadanya ada tag nama bertuliskan 'Indra F.'

Usai menyimpan nota pembelian dari pegawai SPBU, Sarah berniat mengejar mobil MPV abu-abu itu. Mengundurkan jadwal reparasi motornya yang sudah telat lima bulan lebih. Tapi apa daya, motornya pun tak mampu membantu. Mobil itu hilang tak berbekas.

***

Revisi 1
9 Feb '19

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now