21. Hujan - END

212 39 15
                                    

Sudah sejam lamanya hujan tak kunjung berhenti. Sesekali mereda, tapi tak lama kemudian deras kembali. Genangan air membanjiri lapangan beton tempat yang biasa digunakan untuk upacara setiap hari senin. Pun anak-anak yang bermain di sela-sela jam istirahat mereka.

Anak laki-laki itu masih berdiam di tempatnya berdiri. Menengadahkan tangan kanannya di tetesan air hujan yang terasa dingin. Sesekali ia jongkok, lantas berdiri lagi.

Sepatu hitamnya sedikit basah karena cipratan air. Seragamnya tetap rapi meski tanpa mengenakan dasi. Dasi yang selalu ia masukkan ke dalam tas ketika bel pulang sekolah berbunyi. Karena ia rasa dasi itu sedikit mengganjal lehernya ketika dipakai.

Rambut hitamnya yang lurus pun tak terhindar dari air. Sama basahnya dengan kedua sepatunya. Matanya menyiratkan kegelisahan. Menunggu seseorang datang menjemputnya.

"Loh, Farhan kok masih di sini?" tanya Bu Santi yang datang tiba-tiba dari arah belakang. Farhan yang sedang jongkok segera berdiri. Menundukkan kepala tanda penghormatan pada gurunya.

"Iya, Bu. Ibu belum datang," jawab Farhan sambil mendongakkan kepala menatap wajah gurunya. Jawabannya merupakan sebagian dari harapannya.

"Mau pulang bareng Ibu saja? Kebetulan Ibu bawa payung. Nanti kita naik angkot di depan," ucap Bu Santi menawarkan.

"Emm ... tidak usah bu," jawab Farhan yang terdengar ragu.

Melihat sikap Farhan, Bu Santi pun tak berpikir panjang lagi. Tawar-menawar selesai. Ia segera membuka payungnya.

"Sudah ayo," ajak Bu Santi sambil menggandeng tangan Farhan.

Farhan yang tak punya pilihan lain akhirnya menurut saja. Ia sebenarnya tau bahwa orang itu tak akan datang.

Ia sudah tau.

***

Satu setengah jam yang lalu, tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi.

"Ayo pulang, Kak!" Ucap Disya terengah-engah setelah berlari dari ruang kelasnya.

"Oh, emm .. Kak Farhan mau ngerjain tugas bareng temen. Tolong Disya bilangin ke Mama ya?" Pinta Farhan. "Kakak juga udah sms kok," lanjutnya.

"Oh gitu.. Kalo gitu Disya duluan ya."

Gadis itu segera berlari menuju gerbang sekolah. Sepertinya, kebiasaannya itu tak akan bisa hilang sekalipun dia sudah menginjak remaja.

"Tumben, Han?" Nando menghampiri Farhan. Maksud pertanyaannya, 'Kok ga pulang bareng Dira?'

"Hoh!" Timpal Farhan dengan raut muka menyebalkan lantas pergi meninggalkan Nando seorang diri, seolah memberi jawaban 'pengen tau aja!'.

***

"Saya ga ikut nyebrang."

Bu Santi mengernyitkan dahi. Bingung.

"Farhan bukannya ke arah sana?"

Semua orang di sekolah tau, wali Farhan sudah berubah. Ia tak lagi tinggal bersama ibunya.

"Saya mau pulang ke rumah sebentar."

Sebuah angkot berhenti tepat di depan mereka. Angkutan umum yang menuju rumah lama Farhan.

Anak laki-laki itu segera masuk ke dalamnya.

Bu Santi segera merogoh selembar uang dua ribuan dan memberikannya pada sopir.

"Oh? Uang saku saya masih ada."

Bu Santi tak menghiraukannya. Malah menyunggingkan senyum lebar.

"Hati-hati." Guru wanita itu melambaikan tangannya, sesaat kemudian angkutan umum itu melaju dengan kecepatan sedang.

"Makasih, Bu," ucap Farhan meski tau ia sudah telat.

Tak butuh waktu lama, Farhan sampai di depan rumahnya. Rumah lama dimana ia masih tinggal bersama Sarah empat bulan yang lalu.

Farhan berdiri mematung agak jauh dari halaman rumah. Kakinya ragu untuk melangkah. Sesekali ia maju, kemudian mundur. Maju lalu mundur lagi.

Tes.

Anak laki-laki itu menengadahkan wajahnya ke langit. Masih mendung. Hujan belum usai ternyata.

Farhan putuskan untuk masuk ke dalam rumah menebas keraguannya. Ia berlari melewati halaman rumah yang cukup luas. Tepat di depan pintu rumah, ia merogoh kunci yang ia simpan di dalam ransel. Kunci yang kala itu tak diminta oleh Sarah. Mungkin karena lupa.

Farhan membuka sedikit pintu yang sudah tak terkunci, mengintip keseluruhan ruangan dari balik pintu kusam itu. "Oh? Sepedaku masih ada?" Farhan segera membuka lebar pintu itu lantas menghampiri sepeda kecil yang berdiri tegak di ruang tamu.

"Warnanya berubah .. Pedalnya juga keliatan baru. Apa sepedanya masih Ibu pake?" Farhan meracau sendiri sembari melihat-lihat tiap bagian sepeda. "Ini pasti sepeda yang sama, tapi banyak juga yang berubah."

Sebuah motor, baru saja terparkir di halaman rumah. Farhan tak menyadarinya sebab terlalu fokus ditambah suara gerimis tadi yang tiba-tiba menjelma menjadi hujan lebat. Lagi.

Wanita pengendara motor itu tampak  syok melihat pintu rumahnya yang terbuka lebar. "Kebuka?"

Khawatir kalau-kalau ada perampok yang masuk rumahnya, ia bergegas turun dari motor dan mengambil sebuah batu cukup besar yang tergeletak di halaman. Berjaga-jaga seandainya perampok masih ada di dalam rumahnya.

Suara pintu dibuka. Seketika Farhan menoleh ke asal suara. Melihat ibunya berdiri di depan pintu dengan jas hujan yang basah kuyup, ia dengan segera berdiri dari posisinya jongkok.

"Oh? Ibu udah pulang?" Farhan sedikit heran, terhitung amat jarang ibunya itu pulang di siang hari.

"Kamu..." Sarah tampak terkejut. "Kamu kok bisa di sini?" Seketika Sarah membuang batu yang ia pegang tadi ke halaman. 

"Ayo, Ibu anter kamu pulang!" Lanjut Sarah yang berjalan cepat menghampiri Farhan yang hanya mematung di samping sepeda mini.

Sarah dengan cepat mencengkeram lengan Farhan, hendak menyeretnya keluar.

"Masih hujan. Di luar dingin." Suara Farhan terdengar cukup jelas di antara deraian hujan yang mengenai genting rumah. Seketika Sarah berhenti menyeret Farhan dan berbalik menghadap anak yang pernah lahir dari rahimnya itu.

"Farhan mau makan nasi goreng dulu."

Tanpa mengatakan apapun, wanita itu melonggarkan cengkramannya. Tak lama kemudian ia lepas sepenuhnya lengan Farhan. Berdiri mematung di hadapan anak laki-laki itu bukanlah kebiasaannya, bahkan itu sangat bertolak belakang dengan dirinya yang dulu. Tapi kini, hatinya luluh sudah. Kedua mata Farhan yang menatapnya seolah menjelaskan segalanya. 'Aku menyayangimu'.

Sejurus kemudian, di dalam rumah sederhana itu, suara berisik dapur beradu dengan riuhnya hujan. Di balik meja makan, seorang anak laki-laki sedang menunggu nasi goreng favoritnya yang akan segera dihidangkan.

TAMAT.

***

Jangan lupa voment kawan! 😉

Sampai jumpa di kisah yang lain.


Revisi 1
September, 2019


The Last Memory [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang