13. Empat Mata

134 35 29
                                    

Sekitar jam enam pagi tadi, Kakek ditemukan tergeletak di samping tempat tidurnya. Serangan jantung kini membuatnya berbaring di sebuah ruangan VIP. Kejadian yang tiba-tiba itu membuat cemas semua orang.

"Pa, pulang dulu aja. Antar Disya ke sekolah. Biar aku yang jagain Papa," ucap Asma pada suaminya.

Tanpa mengelak, Pak Doni pergi menuju tempat mobil diparkir. Istrinya benar. Disya harus pergi ke sekolah. Mereka tak memiliki sopir, siapa lagi yang akan mengantar Disya?

Setengah jam kemudian Pak Doni sampai. Disya sudah bersiap di depan, sementara Bi Sari menemani di samping Disya. Sesaat yang lalu Pak Doni menelpon ke rumah, meminta agar mereka menunggu di depan. Takut kalau-kalau Disya akan terlambat.

"Gimana Kakek, Pa?" 

"Kakek akan segera sembuh. Disya sudah siap?"

Disya hanya mengangguk sambil tersenyum.

Pak Doni membetulkan sabuk pengaman Disya yang belum terpasang kemudian tancap gas dengan kecepatan maksimal.

Suasana jalan semakin ramai. Banyak orang berangkat bekerja, mengantar sekolah, atau mungkin juga memiliki keperluan yang lain.

Mobil sedan itu berhenti tepat saat lampu lalu lintas menyala merah.

"Arrgh, lampu merah segala!" gerutu Pak Doni. Sejenak kemudian ia menghela napas. Disya yang di sampingnya mengikuti gaya Papanya. Ikut menghela napas panjang. Membuat Pak Doni yang melihatnya jadi tertawa. Seketika Disya memperlihatkan senyumnya yang menggemaskan. Suara tawa memenuhi mobil.

Tiin tiin ...
Beberapa mobil di belakang membuat Pak Doni tersadar, membuat gurauan dua insan itu harus berhenti sejenak. Segera Pak Doni menjalankan mobilnya.

Brakk!
Pak Doni menabrak seorang pengendara motor yang melaju dengan kencang dari arah kanan. Tak membutuhkan waktu lama hingga kemacetan terjadi.

Bukan kesalahan Pak Doni, tapi pengendara wanita itu yang tak berhenti meski tau lampu merah sudah menyala.

RUMAH SAKIT MEDIKA

"Loh, Papa kok udah balik? Ini juga, kenapa Disya dibawa kemari?" tanya Asma begitu melihat Pak Doni dan Disya ada di depannya.

"Papa nabrak seseorang, sekarang dia butuh bantuan Mama," terang Pak Doni yang masih menggandeng tangan Disya. Sesekali melirik pada Kakek yang masih juga belum sadar.

"Apa maksudnya, Pa?" tanya Asma tak mengerti.

"Dia kehilangan banyak darah, tapi rumah sakit nggak punya stok. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Mama, resusnya juga sama. Mama bisa kan donorin darah buat dia?" tanya Pak Doni.

"Ya pasti, Pa. Apalagi ini salah Papa," jawab Asma singkat.

"Bukan Papa yang salah," tegas Pak Doni.

"Ya siapa aja yang salah kan tetep Papa terlibat," jawab Asma lalu keluar ruangan. Diikuti Pak Doni yang sebelumnya berpesan pada Disya, "Disya tunggu sini aja, ya. Jagain Kakek."

"Mama mau kemana?" tanya Pak Doni pada Asma yang tengah berjalan santai melewati koridor rumah sakit.

"Katanya Mama harus donorin darah? Dimana?" tanya Asma.

***

"Makasih Ma," ucap Pak Doni pada Asma yang saat ini berdiri di sampingnya. Di balik jendela kecil itu, matanya memandang ke arah pasien yang saat ini telah melewati masa kritisnya. Pandangan mata itu ... tanpa sadar membuat sepasang mata yang lain menjadi jengah.

Asma menghela napas panjang kemudian pergi tanpa mengucap sepatah kata pun. Membiarkan suaminya ada dalam bayang-bayang masa lalunya dengan wanita yang pernah ditemuinya di depan sekolah. Jika diingat kembali, seharusnya ia sadar bahwa sejak saat itu takdir membawa Sarah masuk ke dalam keluarganya. Meski waktu itu mereka belum sempat bertemu di kafe,  Sarah tetap ditakdirkan bertemu dengan suaminya. Apapun caranya.

Sejujurnya ia tau bahwa wanita itu adalah mantan kekasih suaminya. Suatu hari tanpa sengaja Asma mendapati foto Pak Doni bersama Sarah saat sedang bersih-bersih. Ia menemukannya di laci ruangan Pak Doni. Tersimpan dengan baik di sana. Asma tak pernah bertanya apapun mengenai hal itu. Dan apa alasan suaminya masih menyimpan kenangan itu. Ketika pertemuannya dengan Sarah terjadi dengan buruk di depan sekolah, ia sempat syok. Tapi dengan segera menganggapnya sebagai angin lalu. Berharap wanita itu adalah wanita yang berbeda dengan yang ada di foto masa lalu milik suaminya. Tapi, keraguan mulai merasuki hatinya ketika Sarah memutuskan tak jadi menemui dirinya bersama suaminya kala itu, tiba-tiba ia takut jika ada kemungkinan itu wanita yang sama.

Pak Doni sendiri tak pernah menceritakan soal Sarah pada istrinya. Bagi Pak Doni itu bukanlah sesuatu yang penting yang perlu diceritakan. Ia hanya menyimpan rapat perasaan, kenangan, dan segalanya yang berkaitan dengan Sarah. Hingga kini. Hingga ia tak menyadari bahwa istrinya sudah tau segalanya.

***

Sehari berlalu.
Kakek sudah bangun, sungguh melegakan. Tapi ada satu hal yang masih membuat hati Pak Doni tak merasa tenang. Ya, wanita itu.

Di ruangan yang berbeda, Sarah masih juga belum bangun.

"Ma, Papa ke sana dulu, ya?" ucap Pak Doni memecah suasana tawa bersama Kakek. Yang dimaksud adalah ruangan tempat Sarah dirawat.

Asma hanya mengangguk meski merasa berat. Sementara Kakek memasang wajah penasaran. Begitu suaminya pergi, Asma menjelaskan segalanya pada Kakek. 

Pak Doni akan masuk ke dalam ruang rawat Sarah ketika seseorang memanggilnya dari arah belakang. Seorang polisi yang tengah menggandeng tangan seorang anak laki-laki.

"Ya, Pak?" jawab Pak Doni dengan raut wajah penuh tanya.

"Tadi pagi anak ini datang ke kantor polisi, bilang kalau Ibunya tidak pulang semalaman. Setelah saya cek, ternyata dia adalah anak Ibu Sarah," ucap petugas polisi itu menjelaskan dengan mimik serius. Tak sia-sia selama ini Farhan menghafal data diri Ibunya. Ia dengan lancar menjelaskan semua rincian soal Ibunya pada petugas polisi tanpa tertinggal sedikit pun. Ia bahkan harus bolos sekolah hari ini demi menemukan Ibunya.

Seketika itu Pak Doni terbelalak. Dia tak menyangka kalau Sarah memiliki seorang anak.

"Benar. Waktu sudah berlalu, nggak mungkin Sarah nggak menikah. Dia pasti punya keluarga. Apa yang kupikirkan selama ini?" gumam Pak Doni merutuk pikirannya.

"Pak?" ucap Polisi itu membuyarkan lamunan Pak Doni.

"Oh, iya Pak. Saya akan mengantarnya menemui ibunya," ucap Pak Doni.

Farhan tak tau kalau Ibunya kecelakaan. Ia pikir Ibunya itu meninggalkan dirinya dan pergi entah kemana. Pemikiran Farhan salah. Ia tak seharusnya berpikir yang tidak-tidak. Kini dengan kedua matanya sendiri ia menatap Ibunya yang tengah berbaring tak sadarkan diri.

Sementara itu Pak Doni menatap anak laki-laki yang ada di depannya sambil mengingat kejadian saat Sarah mengiriminya pesan arsip berpassword. Ia lalu berbicara dalam hati, "Dia sudah punya suami dan anak, kenapa harus melakukan hal sampai sejauh itu?"

Benar.
Suami.
Pak Doni baru sadar, seharusnya suami Sarah juga datang bersama anak ini. Kenapa anak ini hanya datang sendiri?

"Papa kamu lagi sibuk kerja, ya?" suara Pak Doni memecah keheningan. Pertanyaan samar yang diharapkan dapat menjawab rasa penasaran Pak Doni akan keberadaan suami Sarah.

"Saya nggak punya Ayah," jawab Farhan singkat.

***


Revisi 1
3 April 2019

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now