4. Lollipop

212 41 97
                                    

Sarah duduk di ruang tamu sambil menghitung beberapa lembar uang kertas, gajinya di bulan itu. Ia mendapat lebih banyak uang karena sering lembur dan pulang malam.

Sebelumnya, gaji Sarah sebagai pelayan restoran hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Farhan. Tapi sejak Farhan mendapat beasiswa dari sekolahnya, Sarah jadi sedikit lebih terbantu. Yang dahulu dalam sebulan hanya bisa menyisihkan beberapa rupiah, kini ia bisa menabung lebih banyak. Bahkan bisa membeli rumah kecil-kecilan untuk mereka tempati berdua.

Perihal menabung akan tetap ia lakukan seperti biasa, tapi dengan renggang waktu yang lebih santai.

"Kayaknya nggak masalah kalo sesekali belanja ke supermarket," gumam Sarah pelan. Ia kemudian memisahkan beberapa lembar uang untuk disimpan, untuk kebutuhan sehari-hari, dan khusus untuk belanja hari ini. Tak lama kemudian ia membuka dompet untuk menyimpan uang belanja.

"Asshh ... polisi sialan," ucap Sarah seketika melihat kertas tilang di dompetnya. Membuatnya sedikit kesal. Waktu sidang tinggal beberapa hari lagi. Mau tak mau, ia mengambil uang yang ia niatkan ditabung untuk membayar tilang.

"Nggak apalah, nabungnya bulan depan aja," gumam Sarah.

"Farhan, cepetan nyapunya. Lelet banget sih," teriak Sarah di ambang pintu.

"Iya, Bu," sahut Farhan yang masih sibuk menyapu beberapa sampah daun dan plastik yang diterpa angin. Caranya menyapu masih belum lebih baik. Banyak debu berterbangan karena ia menggerakkan sapunya dengan keras.

Tak berapa lama kemudian, Farhan selesai menyapu halaman. Ia meletakkan sapu lidi di gudang.

Farhan lantas menuju dapur yang di sebelahnya terdapat tempat cuci piring. Gelas dan piring kotor bekas digunakan oleh dia dan ibunya tergeletak begitu saja.
Kaki Farhan sedikit menjinjit, karena permukaaan tempat cuci piring itu lebih tinggi daripada tubuhnya.

"Loh, kamu ngapain?" tanya Sarah yang tiba-tiba muncul di belakang Farhan. Berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di depan, layaknya bos.

"Ini lagi nyuci piring, Bu. Kayak biasanya," ucap Farhan sambil terus sibuk mengusapkan sabun ke piring kotor.

Karena tak sabaran, Sarah menghampiri Farhan. Merebut piring yang masih basah oleh sabun lantas meletakkan sekenanya. Beruntung piring itu tak pecah. Dentuman piring keramik dengan bak cuci piring tak membuat Sarah peduli. 

" Cuci piringnya nanti aja.  Kamu mandi sekarang," perintah Sarah lalu pergi meninggalkan Farhan.

"Memangnya kita mau kemana, bu?" tanya Farhan penasaran. Ia sadar ia akan diajak ke suatu tempat, melihat ibunya sudah berdandan dan berpakaian rapi.

"Nurut aja kenapa sih? Ngga usah banyak tanya!" ujar Sarah ketus sambil terus berjalan ke arah ruang tamu.

"Sepuluh menit termasuk sisir dan pake baju," lanjut Sarah memperingatkan. Ia tak mau Farhan menghabiskan banyak waktu untuk bersiap.

Sarah menunggu di ruang tamu sambil membaca majalah. Farhan sendiri dengan sigap menuruti kemauan ibunya. Masuk ke kamar mandi secepat kilat.

Di dalam kamar mandi, sambil melepas pakaiannya, bocah itu berpikir keras. Kemana wanita itu mau membawanya?

Sarah sebenarnya hampir tak pernah mengajak Farhan keluar. Ia selalu bersenang-senang sendiri dan meninggalkan Farhan menunggu di rumah sendirian. Bahkan sekadar jalan-jalan menghirup udara segar di alun-alun kota pun tak pernah. Sejauh Farhan pergi, tak lebih dari sekolah, warung sekitar rumah atau restoran tempat ibunya bekerja.

Semua alasan itu yang membuat Farhan teringat kejadian di masa lalu.

"Apakah dia anak ibu?" tanya seorang polisi yang berdiri tegap di depan pintu rumah, menggandeng tangan mungil seorang bocah laki-laki.

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now