10. Apa Kabar?

131 31 26
                                    

Di ruang tamu, Sarah terlihat murung. Sejak melihat Sari di SPBU kala itu, ia jadi teringat banyak hal di masa kelamnya. Ia teringat pada ... Doni.

"Ibu kenapa?" tanya Farhan penasaran. Ia sedang menyapu lantai rumah ketika melihat ibunya tengah duduk termenung. Untuk sesaat ia menghentikan kegiatan.

Sarah yang ditanya hanya diam tak menjawab. Ia masih asyik dengan lamunannya.

Apakah Sari masih bekerja di sana?
Jika ya, apa kabarnya pria itu?
Apakah dia juga tinggal di sekitar sini?
Apakah dia sudah menikah?
Mungkinkah gadis kecil tadi adalah puterinya?

"Bu? Ibu baik-baik aja?" Lagi-lagi Farhan bertanya, kali ini ia jongkok di depan ibunya yang masih duduk dan sibuk melamun. Farhan melambai-lambaikan tangan kanan di depan wajah Sarah.

Seketika itu juga Sarah tersadar dan hempaskan tangan Farhan.

"Apaan sih kamu?!" bentak Sarah lalu pergi meninggalkan Farhan. Anaknya itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, bingung dengan sikap Sarah.

Jujur saja, sebenarnya ia sangat jarang melamun seperti tadi. Terakhir kali hanya saat Farhan diantar oleh polisi kembali ke rumah. Saat ibunya itu gagal membuang Farhan. Hanya saat itu.

Tak lama kemudian Sarah pergi dengan motor bututnya, entah kemana. Sedangkan Farhan kembali melanjutkan tugas rumah.

***

Jum'at siang.

Matahari menyengat, anak-anak saling berlarian keluar gerbang sekolah. Beberapa orang tua yang menunggu di depan gerbang merasa senang, akhirnya penantian mereka usai. Antara anak-anak itu dengan orang tuanya saling memandang, kemudian tersenyum. Beberapa saat kemudian sang anak bercerita tentang apa saja yang sudah mereka lalui di sekolah. Ada juga beberapa orang tua yang mengawali dengan pertanyaan, "Gimana sekolahnya?" atau "Gimana belajarnya tadi?"

Farhan berdiri di depan gerbang, menunggu Sarah datang. Karena hari ini ia sekolah di antar oleh ibunya.

Roda belakang sepedanya perlu ditambal, jadi ia titipkan di sebuah bengkel. Siang ini ia akan mampir untuk mengambilnya bersama Sarah.

Di sampingnya, Disya juga sedang menunggu Asma. Entah apa yang membuat mamanya telat menjemput.

Lima belas menit berlalu. Menyisakan Farhan, Disya, dan tiga anak lain yang menunggu seseorang menjemput mereka.

Tak berapa lama sebuah mobil MPV putih datang. Ketiga anak itu masuk ke dalam mobil. Di dalamnya juga ada beberapa anak lain dari sekolah lain. Setelah pintu ditutup dari dalam oleh seorang anak, mobil antar-jemput itu melaju dengan kecepatan sedang.

Kini hanya menyisakan dua anak yang sama-sama berdiri mematung. Sesekali mereka saling melirik.

"Sepertinya dia anak yang pernah kutabrak," gumam Farhan dalam hati. Hal ini bukan tanpa alasan. Disya hari ini mengenakan jepit kuning bermotif bunga. Sesuatu yang meninggalkan kesan dalam pikiran Farhan sebab bentuknya yang unik. Karena sebenarnya ia juga tak begitu ingat wajah anak yang pernah ditabraknya.

"Sepertinya dia kakak yang waktu itu," gumam Disya yang juga mengingat kejadian tempo hari. Bagaimana tidak? Ia menabrak seorang kakak kelas dengan banyak buku yang dibawanya. Sebenarnya Disya juga tidak terlalu ingat jelas wajah anak laki-laki itu. Tapi ia ingat kalau kakak kelas itu memiliki tahi lalat di ujung kanan matanya. Sesuatu yang tidak semua orang miliki.

Karena merasa tidak nyaman, Farhan menjauh dari Disya sekitar dua meter.

Sesaat kemudian sebuah motor butut datang dengan dikendarai oleh seorang wanita. Bersamaan dengan sebuah mobil MPV abu-abu di belakangnya. Dua kendaraan bagaikan langit dan bumi itu kini saling mendekat. Dan ...

Brakk!

Tanpa sengaja mobil MPV yang dikendarai Asma menyenggol motor Sarah, membuat Sarah tak sanggup mengendalikan motor dan akhirnya jatuh ke arah samping. Asma sedikit terkejut, ia tak tau kalau motor itu juga akan berhenti tepat di tempatnya berhenti.

Sedangkan Sarah yang berniat berhenti di depan Farhan, justru mendadak maju karena terdorong oleh mobil milik Asma.

Kejadian secepat kilat itu membuat Disya tak mampu menghindar dan terkena imbasnya. Ia terluka di samping Sarah yang juga merintih kesakitan.

Farhan yang sempat kaget segera menghampiri ibunya dan Disya yang hanya tiga langkah di depannya. Begitu juga dengan Asma, melihat anaknya terluka ia segera turun dari mobil.

"Ibu, Ibu nggak apa-apa?" tanya Farhan yang kini jongkok di dekat ibunya. "Kamu ... berdarah," lanjut Farhan, matanya terbelalak ketika melihat Disya terluka dengan darah di bagian pelipis dan kakinya. Kepala Disya terbentur saat terjatuh, sementara kaki Disya tergores oleh bagian motor Sarah.

"Disya!" pekik Asma begitu tau keadaan Disya cukup parah. Seketika itu ia langsung membopongnya dan berusaha memasukkan ke dalam mobil.

"Tunggu!" bentak Sarah lalu memegang lengan Asma dengan tangan kanannya ketika mengetahui wanita itu akan pergi. Ia merasa wanita di depannya akan lari dari tanggung jawab.

"Maaf, saya harus cepat membawa Disya ke rumah sakit," ucap Asma memohon. Berharap Sarah melepaskan cengkraman tangannya.

"Bu," ucap Farhan yang kini memegang lengan kiri Sarah. Meminta ibunya melepaskan Asma, karena tau bahwa Disya terluka dan butuh bantuan sesegera mungkin.

Sarah hanya menghempaskan tangan Farhan, tak mempedulikannya. Ia hanya fokus pada Asma agar bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Saya akan bertanggung jawab, jadi saya mohon lepaskan saya dulu," ucap Asma yang tak berhenti memohon. Matanya kini berkaca-kaca. 

"Kalau begitu berikan dulu kartu namamu atau apapun itu. Serahkan juga KTP milikmu," ucap Sarah bernegosiasi.

Asma segera membuka mobil dan meletakkan Disya di kursi penumpang bagian belakang. Beberapa saat kemudian mengambil dompetnya, memberikan apa yang Sarah minta.

Mobil MPV abu-abu itu kini tancap gas dengan kecepatan maksimum. Meninggalkan Sarah dan Farhan yang hanya berdiri mematung.

Sarah menyimpan kartu nama dan KTP milik wanita itu. Tapi apa yang dilihat kembali mengejutkannya. KTP itu memang menunjukkan nama dan wajah wanita yang menabraknya tadi, tapi kartu nama itu bukan. Kartu nama itu milik Doni Alamsyah. Pria yang membuatnya penasaran akan keadaannya sekarang.

***

RUMAH SAKIT MEDIKA

Disya terbaring lemah dengan jarum infus menancap di lengan. Lukanya sudah diperban. Beruntung hasil CT-Scan dan MRI tidak menunjukkan sesuatu yang serius. Semua hanya luka luar yang bisa segera sembuh dengan perawatan maksimal, setidaknya selama seminggu.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" tanya Pak Doni pada Asma yang kini duduk di hadapannya dengan sepasang mata yang masih sembab. Mereka duduk di samping kanan dan kiri Disya, menunggu putri semata wayang itu bangun.

Beberapa waktu lalu saat Asma ditanyai oleh suaminya, ia tak bisa menjawab karena terlalu mengkhawatirkan Disya. Kini keadaan sudah cukup membaik, setidaknya Asma harus memberi penjelasan.

"Aku nabrak seseorang sementara Disya ada di samping motor orang itu. Pengendara motor itu jatuh tepat mengenai Disya yang waktu itu lagi nunggu aku," jelas Sarah, mata sembabnya tak berhenti menatap Disya.

"Terus orang itu?" tanya Pak Doni penasaran.

"Lukanya kecil. Aku sudah kasih kartu namamu dan KTP milikku, cepat atau lambat dia akan hubungi kita," jelas Asma.

"Mama ... Papa," ucap Disya yang baru saja sadar. Suaranya yang lemah tetap terdengar oleh kedua orang tuanya.

Seketika itu Asma dan Pak Doni tersenyum menatap gadis kecil mereka yang sudah bangun.

***




Revisi 1
7 Maret '19

The Last Memory [Proses Revisi]Where stories live. Discover now