14. Mimpi Buruk

134 35 18
                                    

"Udah meninggal?" tanya Pak Doni. Wajahnya terlihat menanti jawaban dengan saksama.

"Iya."

Deg.
Pak Doni sedikit terkejut dengan jawaban Farhan, ditambah tatapan mata anak laki-laki itu yang kini mengarah padanya, membuat serba salah dan terpaksa mengalihkan pandangan. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi ia urungkan ketika melihat wajah Farhan yang begitu lesu tak bersemangat. Ia bisa menanyakan banyak hal lain pada Sarah ketika wanita itu sudah bangun.

"Om siapa? Kenapa ada di sini?" kini giliran Farhan yang bertanya.

"Oh, saya Doni. Yang nggak sengaja nabrak Mama kamu," sesaat Pak Doni merasa lebih santai menjawab pertanyaan Farhan. "Nama kamu siapa?" lanjutnya.

"Farhan."

Pak Doni hanyak menganggukkan kepalanya.

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya terdengar hembusan nafas kedua laki-laki yang saling menatap Sarah atau suara-suara kecil dari gerakan tubuh mereka. Bahkan tak terdengar suara apapun dari luar ruangan VIP itu. Hanya senyap.

***

Pemandangan apa ini?
Apa ini mimpi?
Kenapa mereka ada di sini?
Kenapa?!

Sarah baru saja membuka kedua matanya ketika yang pertama kali dilihatnya adalah Pak Doni. Di sebelahnya Asma juga berdiri memandanginya. Entah, pandangan macam apa itu. Sarah tak mengerti.

"Kamu udah sadar?" tanya Pak Doni. Wajahnya menyiratkan kegembiraan.

"Aku panggil dokter dulu, Pa," ucap Asma lalu melangkah keluar ruangan. Pak Doni hanya mengangguk, matanya masih melihat ke arah Sarah yang tampak kebingungan.

Tak berapa lama dokter sudah datang. Ia menyatakan kondisi Sarah yang kian membaik. Jika memungkinkan, ia bisa pulang dua hari lagi.

Keadaan ini membuat Sarah ingin mati. Sungguh takdir yang amat buruk. Kenapa harus Doni? Kenapa juga ia harus terjebak di tengah-tengah mereka?

"Kamu jagain dia dulu nggak apa-apa kan? aku mau jemput Disya sama Farhan di sekolah," pinta Pak Doni pada Asma. Ia hanya mengangguk pelan. Hatinya berat. Yang benar saja? Suaminya meminta agar ia menjaga mantan kekasihnya. Ia bahkan tak tau, pada hati Pak Doni, apakah perasaan untuk Sarah itu masih ada atau tidak.

Kini kedua wanita itu hanya berjibaku dengan pikiran masing-masing. Saat tanpa sengaja kedua mata mereka saling bertemu, dengan segera mereka saling membuang pandangan ke arah lain.

"Kamu tau siapa aku?" tanya Sarah memecah keheningan di antara mereka berdua. Pertanyaan ini muncul atas dasar perasaan Sarah yang merasakan gelagat Asma sangat aneh. Sangat aneh untuk ukuran orang yang baru saling mengenal.
Tunggu! Mereka bahkan belum sempat berkenalan.

Asma tak menjawab pertanyaan Sarah. Tiba-tiba menyibukkan diri dengan memainkan ponsel. Sungguh, keadaan yang amat canggung.

"Kamu tau siapa aku?" Sarah masih menanyakan hal yang sama.

"Apa Doni cerita ten ... " tanpa sengaja Sarah menyebut nama itu. Ucapannya menggantung. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Dia bahkan baru sadar dari koma, tapi sudah tau nama pria yang baru saja pergi meninggalkan mereka berdua. Kacau sudah! 

Mendengar nama suaminya disebut, seketika itu Asma berhenti memainkan ponselnya. Memandang kosong ke arah dinding bercat putih di depannya, tak lama kemudian menoleh pada Sarah yang terbaring sambil memandang ke arahnya. Kedua pasang mata itu kini saling bertatapan.

"Aku nggak tau mbak ini siapa. Aku cuma inget kita pernah terlibat kecelakaan kecil di depan sekolah," jelas Asma. Selesai melontarkan kalimat singkat itu, ia berdiri dan beranjak keluar ruangan.  

Sarah hanya diam mendengar jawaban Asma. Ia merasa Asma sudah mengetahui tentangnya. Menyebut nama Doni, sepertinya sangat melukai hati wanita itu.

***

Farhan baru saja sampai di ruangan Ibunya. Wajah anak laki-laki itu terlihat sangat senang melihat Sarah sudah bangun. Di sampingnya, Disya terlihat menggandeng tangan Pak Doni. Sementara Asma berjalan di belakang Pak Doni dengan perasaan kacau. Beberapa saat lalu, Asma pergi meninggalkan ruangan untuk sekedar menghirup udara segar. Dan tentunya juga menghindar dari situasi canggung antara dirinya dengan Sarah.

Pak Doni sendiri terlihat sumringah melihat Sarah. Rasanya seperti beban telah terangkat dari pundaknya. 

"Tante sudah bangun?" tanya Disya dengan suara riangnya. Membuat suasana canggung antara ketiga orang dewasa dalam ruangan itu menjadi sedikit lebih memudar.

"Ibu mau sesuatu?" kini Farhan yang bertanya dengan antusias. Kedua tangan kecilnya sibuk memijit lengan kiri Sarah. Ibunya itu hanya menggelengkan kepala.

"Emm ... Farhan mau makan siang bareng om, tante, dan Disya?" tanya Pak Doni tiba-tiba.

"Farhan di sini aja. Kalau kalian mau pulang silahkan pulang," belum sempat Farhan menjawab, ibunya sudah bicara lebih dulu.

"Tapi tadi dia belum makan siang," sanggah Pak Doni.

"Nanti dia bisa beli sendiri," jawab Sarah singkat.

"Ya udah, Pa. Lain kali aja. Sekarang kita pulang dulu, biar mereka punya waktu buat berdua," Asma tiba-tiba bersuara, menengahi perdebatan antara Pak Doni dan Sarah.

"Hmm ... ya udah kalau gitu kita pulang dulu. Sekali lagi maafkan saya karena sudah menyebabkan kecelakaan waktu itu," ucap Pak Doni sambil sedikit menundukkan kepalanya.

"Waktu itu Papa bilang bukan Papa yang salah?" tanya Disya tiba-tiba. Dengan sigap, tangan besar Pak Doni menutup mulut Disya. Pembelaan dirinya di depan puteri sendiri waktu itu tak seharusnya terucap di depan pasien yang baru saja sadar. 

"Kami permisi dulu," ucap Pak Doni lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan. Asma hanya menundukkan kepala sedikit, tanda pamit.

"Da-dah ... Kak Farhan!" Disya melambaikan tangan kanannya sembari menoleh ke arah Farhan, yang kemudian diikuti hal yang sama.

"Sebelah sini," ucap Sarah tiba-tiba pada Farhan. Bermaksud menyuruh Farhan pindah posisi untuk memijit lengan kanannya. Farhan menuruti permintaan Ibunya dengan senang hati. Ia segera berjalan memutar menuju sebelah kanan ranjang.

***




Revisi 1
3 April 2019

The Last Memory [Proses Revisi]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora