3 | Apartement

2.5K 146 5
                                    

D-112

Aku memarkir Jazzy dengan hati-hati, takut tergores, karena aku belum terbiasa memarkirkan di tempat yang ramai begini. Aku sedang jalan di mall membeli beberapa keperluan untuk mengisi kulkas maupun lemari.

Aku melipir ke bagian make up setelah yang kubutuhkan komplit. Ingin mencar lipstik yang baru karena sudah bosan dengan warna yang sering kupakai akhir-akhir ini.

Sebenarnya aku ingin membeli lipstik yang ada bunga di dalamnya itu. Yang kailijumei itu lho, dari Hongkong. Tapi karena udah abis cari di olshop, terpaksa harus cari pilihan lain.

Setelah mendapatkan lipstik yang cocok, aku pun segera bergegas pergi. Takut kalau aku ingin mencoba produk dan akhirnya membeli tanpa melihat harganya.

Sesampainya di rumah aku dikejutkan oleh Ibun--bundaku yang membuka pintu tepat saat aku akan membuka pintu itu. Aihh. Pasti aku bakal kena ceramah nih.

"Assalamualaikum, Ibun." salamku mencuim tangan Ibun.

"Wa'alaikumsalam," Ibun tersenyum padaku. Sedangkan aku meringis. "Dari mana, kak? Jangan mentang-mentang udah dapet mobil jadi kluyuran ya,(?)"

Always like that. Ibun selalu begini saat bersamaku. Bukan apa-apa, sih, kalau Ibun khawatir sama anak gadisnya. Tapi aku udah 25, lho, ini. Bahkan adikku yang baru 17 udah boleh bawa mobil dan pulang lebih lambat dariku--kecuali saat aku lembur. Ini kok Berasa aku yang anak ragil, ya?

"Abis belanja, Ib. Cemilan aku udah abis sama make up juga," jawabku.

"Bisa bilang dulu, kan, kak. Kamu itu harus jadi contoh yang baik buat adikmu, bukan malah pergi nggak bilang gini. Nanti adikmu ikut-ikutan."

Aku hanya bisa meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi ini lagi. Aku menghela napas setelah ibun berlalu dari hadapanku. Ini baru pukul enam kurang limabelas dan ibun sudah menceramahiku. Bahkan jam segini adikku belum pulang, tapi ibun tenang tenang aja, tuh.

Selepas mendengarkan ceramah ibun, aku segera masuk dan membersihkan diri. Tak membutuhkan waktu lama karena aku bukan gadis yang harus terlihat perfect setiap saat.

Setelah makan malam, kami sekeluarga selalu berkumpul di ruang tengah, seperti saat ini. Aku duduk di karpet dengan adikku, Riana, yang baru pulang tiga puluh menit setelah aku sampai dirumah. Dia sedang mengerjakan PR nya yang aku udah lupa materi itu. Sedangkan ibun dan ayah duduk disofa sambil menonton sinetron kesukaan ibun.

"Lina," panggil ayah, membuatku menengok kearahnya, "kamu ngga berniat pindah ke apartemenmu itu?" Tanya ayah.

Belum sempat aku menjawab ibun sudah mendahului, "Apartemen apa? Bunda nggak tau."

"Aku beli apartemen, Ib. Murah kok, itu juga bekas tempat temenku, Ib." Jelasku, "Sebenernya sih, aku mau pindah biar deket sama kantor." Akuku.

"Nggak usah. Kamu itu masih punya rumah, Lin. Ngga usah aneh-aneh." Ibun mah selalu aja bisa nolak.

"Ngga apa, dong, Bun. Biar Lina juga mandiri." Meskipun ku tenang, dalam hati sedang bergoyang lho ini. Ayah memang the best. Selalu mendukung keputusanku.

"Iya, Ib. Lagian aku kan makin banyak kerjaannya. Udah jadi pegawai tetap ini." Aku berbangga diri. Karena belum lama ini aku diangkat menjadi pegawai tetap karena kinerjaku yang dinilai baik.

Selain itu, aku juga pengin cepat out dari rumah ini. Aku udah lelah dengan ibu yang sering mengatur ini-itu. Dan memang dari rumah ke kantor cukup jauh. Aku harus menempuh waktu sekitar satu setengah jam untuk tiba di kantor dari rumah, untung saja jam masuk kantorku cukup bersahabat.

Anomali (ON HOLD)Where stories live. Discover now