12 | Maaf ya...

2K 153 5
                                    

Kebahagiaan memang tak dapat selalu kita rasakan, begitu juga kesedihan. Keduanya silih berganti mengisi kehidupan manusia. Seperti kehidupanku.

Setelah aku dan Bagaskara saling meluapkan emosi --dengan aku yang menangis keras karena kesalahpahaman, akhirnya kami berbaikan. Kami mulai menjalani hari seperti biasa. Bagaskara juga mulai mengantar-jemputku lagi karena urusan kafenya sudah dapat diatasi.

Jujur saja, aku tak tau kalau Bagaskara memiliki sebuah kafe. Dia bilang kafe itu dimilikinya sejak SMA dengan meminjam modal dari papa dan sebagian dari tabungannya. Aku cukup terpukau karena dia bisa memiliki kafe di usia yang masih muda.

"Duh, kalian kok repot-repot sih?" Mama menyambut kami dengan suka cita saat kami mencium tangannya. Weekend ini kami memang menginap di rumah orangtua Bagaskara. Aku hanya tersenyum saat mama menerima goodybag yang kubawakan.

Mama ini pecinta kue, baik kue kering maupun kue basah, jadi sebelum kemari aku menyempatkan membuat kue untuk mama dan papa.

"Gitu-gitu mama juga seneng, kan?" Bukan aku yang menjawab, tapi Bagaskara. Mama mendengus lalu menarikku keluar dari rangkulan Bagaskara.

"Biarin, wong mantu mama yang buatin kok." Mama menarikku masuk, meninggalkan Bagaskara. Aku menemukan papa sedang menonton berita diruang tamu. Aku mencium tangan papa begitu papa menyadari kehadiran kami.

"Apa kabar Alina?" Sapa papa.

"Baik, pa. Papa gimana kabar?"

"Nggak sebugar ini karena ketemu sama mantu." Aku dan papa tertawa kecil.

"Cuma Alin yang ditanya, aku enggak nih?" Bagaskara menggerutu kecil.

"Alah, kamu itu lebay. Kamu pasti sehat wong ada yang ngurusin." Ujar mama dari arah dapur.

"Bagas nggak nyusahin kamu kan,nak?" Tanya papa. Aku menggeleng.

"Enggak kok, pa. Malah Alina yang mungkin sering ngerepotin Bagas."

"Nanti kalo dia bandel kamu jewer aja kupingnya. Kadang kelakuan bandelnya waktu SMA suka kambuh soalnya." Kata mama.

"Ih ma, jangan buka aib dong. Itu kan masa lalu." Kulihat Bagaskara mulai kesal, apalagi dia tidak memiliki sekutu.

"Udah, udah. Papa mau ngomong sama kamu, Gas." Bagas mengangguk dan mengikuti papa keruang kerjanya. Sedangkan aku dan mama masih ngerumpi asik di ruang tamu.

"Bagas itu dulu nggak sepenurut ini lho, Lin." Ucapan mama membuatku tertarik.

"Emangnya dulu Bagas gimana ma?"

"Waktu SMA dia sempat salah gaul. Waktu itu mama dan papa lagi sibuk sibuknya buka kantor cabang di surabaya dan nggak bisa kontrol Bagas secara optimal. Dan akhirnya dia nemu temen yang kurang baik. Hampir aja dia masuk ke dunia gelap, tapi beruntung Allah ngasih firasat ke mama, jadi mama bisa cegah itu."

"Dia pernah pake ma?" Tanyaku hati-hati. Mama menggeleng.

"Hampir, sayang. Waktu itu entah kenapa mama pengin beresin kamar Bagas. Waktu mama beresin laci mama nemu suntikan sama cairan. Mama awalnya nggak curiga, tapi dia kan nggak sakit. Mama selalu kontrol kok sebulan sekali. Akhirnya mama bilang ke papa dan di cek, ternyata itu narkoba. Papa sempet ngamuk, apalagi waktu Bagas nyangkal. Dan ternyata Bagas bersih waktu papa maksa dia buat cek. Terus papa masukin dia ke pesantren selama setahun. Biar dia tobat katanya." Mama menghela napas, tatapannya sendu membuatku menggenggam tangannya erat.

"Ma, itu masa lalu ma. Mungkin dulu memang Bagas salah, tapi dia sekarang sudah jadi lebih baik, kan?" Mama tersenyum padaku.

"Kamu memang baik, sayang. Nggak salah kalau ayahmu sayang banget sama kamu." Aku tersenyum malu-malu. Kupikir ayah memang sangat menyayangi anak-anaknya dengan sama rata.

Anomali (ON HOLD)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant