15 | Pembatalan Nikah?

1.8K 156 4
                                    

Hadiah malam minggu di tengan ujian.

Selamat membaca...

***

Aku menghembuskan napas pelan sebelum mengetuk pintu bercat coklat dihadapanku.

Tadi sebelum aku memutuskan untuk menemui adikku, aku di beri wejangan oleh Bagaskara kalau aku tidak boleh memarahinya ataupun menyalahkannya. Aku sendiri sih tidak berniat memarahinya, tapi tak tau nanti akan berakhir bagaimana.

Kudengar sahutan Kaleela begitu aku mengetuk pintu, memersilakanku untuk masuk.

"Dek?" Panggilku mengalihkan perhatian Kaleela yang sedang sibuk dengan beberapa kertas hasil print out.

"Eh, Mbak. Masuk sini." Aku masuk dengan sedikit rasa canggung. Bagaimana tidak? Kalian sedang bertemu dengan saudara sekandung yang notabene saudara kalian itu pernah jadi calon istri dari suamimu.

"Ngapain, dek?" Tanyaku begitu aku masuk ke kamarnya.

"Nih kak, nyiapin berkas buat daftar ulang. Mbak Lin kesini sendir?"

"Enggak kok. Bagaskara lagi istirahat."

Kulihat Kaleela tersenyum mendengar ucapanku.

"Udah pasti ditemenin, ya, mbak. Kak Bagas, kan, sayang sama kakak." Aku mengernyit mendengar ucapan Kaleela tapi tak berkata apa-apa.
"Ehm.. mbak, aku mau minta maaf karena kabur waktu itu." Kaleela memusatkan perhatiannya padaku yang sudah duduk di pinggir kasurnya. "Aku nggak tau harus ngomong gimana, tapi waktu itu aku beneran nggak bisa nikah."

"Kenapa nggak bilang ayah atau Ibun dari awal?" Tanyaku.

"Mana tega aku liat bunda sedih, mbak. Meskipun aku urakan aku nggak bisa bikin bunda sedih." Aku masih diam menunggu kelanjutan omongannya. "Waktu pertama kali aku ketemu Kak Bagas aku udah nggak suka, ditambah aku udah punya pacar. Aku tetep nggak bisa nerima kak Bagas, padahal dia mau belajar nerima aku." Kaleela menghela napas, "Sampai waktu itu aku nggak sengaja denger bunda telpon mbak Lin, nyuruh mbak balik cepet dan aku jadi mikir untuk ninggalin acara ini. Aku minta maaf."

Aku menghela napas pelan mendengar penjelasan Kaleela. Sebagai manusia kita pasti tidak mau kalau dipaksa. Dan itu yang Kaleela rasakan. Aku tidak menyalahkannya tapi juga tidak membenarkan perbuatannya. Menurutku semuanya tak akan jadi seperti ini kalau Kaleela menjelaskan pada keluarga kami.

"Mbak nggak marah, dek. Percuma Mbak mau marah. Semua udah kejadian."

"Aku yakin kak Bagas akan membahagiakan Mbak."

Mbak berharap juga dek.

Aku hanya tersenyum lalu pamit setelah Kaleela bercerita kemana waktu itu dia pergi. Dia bilang dia pergi ke Jogja, ketempat sepupu kami tinggal. Dia bilang menginap di rumah Pakde kami dan dia dimarahi oleh Bang Rahman sepupu tertua kami. Aku cukup kasihan tapi beruntung bude dan pakde tak memberi tahu ayah dan ibun sehingga ayah tidak menyeret Kaleela dengan paksa karena ayah adalah orang yang keras kalau ada anak-anaknya yang melakukan kesalahan. Aku yakin, saat Kaleela pulang pertama kali pasti ayah marah besar.

"Udah?" Tanya Bagaskara begitu aku masuk ke kamarku. Dia sedang duduk bersandar di kepala kasur dengan ponsel ditangannya.

"Udah. Kamu udah tau dari lama ya? Kalau Leela udah pulang." Tanyaku.

"Udahlah, aku kan sering main catur sama ayah waktu kamu nggak ada, ayah sempet cerita."

"Kenapa nggak bilang?" Aku menatapnya dengan geram.

"Biar kamu nggak usah repot repot cari penjelasan. Toh kita juga udah nikah."

"Tapi kita bisa bikin pembatalan nikah kalo kamu bilang."

Bagaskara menegakkan tubuhnya begitu mendengar ucapanku yang terucap tanpa kupikir lebih dulu.

"Alin, kamu seriusan mau begitu?" Aku tak menjawab. Kenapa bisa salah bicara sih?
"Jawab!" Bagas berujar lagi dengan dingin tapi juga tegas, tapi aku tetap tak menjawab. Nyaliku menciut melihat rahangya yang mengeras.

Aku hanya tak tahu harus menjawab apa. Aku ingin berpisah karena aku merasa dibohongi. Tapi juga tak bisa karena aku sudah terlanjur terbiasa dengan adanya Bagaskara.

Tak mendapatkan jawaban setelah bermenit-menit berlalu, Bagaskara bangkit dan meninggalkanku yang duduk di tepi ranjang dengan menunduk.

Sampai makan malam tiba, Bagaskara tetap dalam mode diam padaku. Hanya sesekali ia berkata, agar ibun dan ayah tidak curiga, mungkin. Ia bahkan lebih sering menanggapi pertanyaan dengan tersenyum kecil. Hingga kami kembali ke apartemen pun, Bagaskara tetap mendiamkanku. Padahal biasanya dia sering mengajakku mengobrol ngalor ngidul saat perjalanan.

"Kamu marah." Ujarku spontan padanya saat kami baru memasuki apartemen.

"Kamu pikir?" Bahkan menengok ke arahku saja tidak.

"Aku nggak suka."

"Kenapa? Bukannya kamu mau pembatalan pernikahan?" Dia berbicara dengan sarkas padaku. Aku tahu ini murni salahku karena membawa topik yang cukup riskan dalam rumahtangga kami.

"Aku tau aku salah. Tapi kamu jangan cuma diam. Bikin aku nggak nyaman."

"Malah lebih bagus, kan? Kamu bisa nambah alasan untuk pisah."

Cukup. Aku tak suka dengan percakapan ini. Masa bodoh dengan gengsi yang ku junjung tinggi. Aku meraih lengannya agar behadapan denganku.

"Aku nggak suka kamu yang perhatian jadi dingin."

"Kamu yang minta aku begini, Alin."

"I'm not. Aku cuma berpikir kalau dulu kamu bilang, kita nggak akan terjebak dalam hubungan tanpa perasaan begini. Kita bisa berpisah sebelum kita sama-sama terbiasa dengan satu sama lain." Aku tak mendengar jawaban hingga cukup lama.

"Kamu nggak pernah dengar aku? Aku jatuh cinta sama kamu sejak lama Alin. Bahkan sebelum aku tau nama kamu." Bagaskara menghela napasnya lelah. Aku ingin menjawab Bagaskara dengan argumenku. Tapi kata-kata dalam pikiranku berputar-putar tak bisa menjadi kalimat yang pas.

"Kamu pikirin baik-baik dulu, Al. I love you, i do. But i don't wanna enforce you. Aku akan hargai pilihan kamu." Bagaskara mengambil jaketnya yang tadi disampirkan di lengan sofa saat masuk tadi. "Aku pergi."

Aku menatap punggung Bagaskara yang menjauh dan menghilang dibalik pintu, meninggalkan sesak di dadaku.

***

Tbc

Anomali (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang