16 | The Cold War

1.8K 157 9
                                    

Semuanya terasa aneh setelah pertengkaran kami beberapa hari yang lalu. Bagaskara masih mengantar dan menjemputku kerja, tapi dia tak pernah mengajakku mengobrol kalau tidak membicarakan sesuatu yang mendesak. Setelah mengantarku pulang dia selalu pergi ke cafe-nya yang tak aku ketahui dimana tempatnya. Setiap malam juga aku menunggunya pulang sampai aku ketiduran di sofa tapi dia selalu pulang lebih larut dan aku selalu mendapati diriku bangun di ranjang kami tiap paginya.

Beberapa hari ini juga aku rutin mengikuti konsultasi dengan dokter Bianca setiap dua atau tiga hari sekali, tanpa sepengetahuan Bagaskara.

Berhari-hari didiamkan oleh Bagaskara membuatku tak semangat. Seperti ada yang tak berjalan dengan benar tanpa celotehan Bagaskara. Beberapa kali aku ditegur rekan kerjaku beberapa hari ini.

"Lin, ada masalah?" Suara bang Adit menyadarkan lamunanku. Saat ini bang Adit, mbak Mona dan aku sedang makan siang di warung ayam penyet dekat kantor

"Hng? Nggak kok."

"Mona bilang lo beberapa hari ini nggak konsen."

"Cuma masalah kecil kok." Aku agak enggan menceritakan tentang masalahku.

"Laki lo?" Aku mengangguk kecil. Bang Adit sudah tau mengenai pernikahanku dan Bagaskara karena mbak Mona dengan kurang ajarnya berkoar di grup chat kami padahal sudah ku larang untuk memberitahu oranglain.

"Cerita deh, biar lega. Gue sama Mona bakal dengerin lo." Bang Adit dan Mbak Mona memang benar-benar seperti kakak bagiku. Mereka selalu mau mendengarkan ceritaku, masalahku, padahal belum tentu mereka luang.

Aku menatap Bang Adit lama, lalu menghela napas. Ada sedikit rasa ragu untuk bercerita karena bagiku ini masalah intim antara aku dan Bagaskara.

"Makanan belom dateng?" mbak Mona yang baru dari kamar mandi mengambil tempat duduk di samping bang Adit, depanku. Aku menggeleng menjawabnya.

Lalu aku menatap ponselku yang aku taruh di meja dengan posisi layar menghadap ke atas agar aku bisa tau siapa saja yang menghubungiku. Layar ponselku masih berwarna hitam, tanpa ada bunyi notifikasi, padahal biasanya Bagaskara selalu memborbardirku dengan chat mengingatkan untuk makan siang tiap istirahat.

"Salah nggak sih kalo gue minta pembatalan nikah?" Kataku yang masih menatap layar ponselku yang hitam.

Mendengar suara orang tersedak aku pun mengangkat pandangan. Dihadapanku Bang Adit sedang menatap tajam je arahku dan tak jauh berbeda Mbak Mona melakukan hal yang sama sambit mengelap bibirnya dengan tisu. Ternyata Mbak Mona yang tersedak.

"Coba bilang sekali lagi?" Mbak Mona bertanya dengan skeptis.

"Pembatalan nikah." Jawabku

"Gila!" Mbak Mona membuang wajah lalu sibuk mengelap setelannya yang mungkin terkena air minumnya karena tersedak tadi.

"Kenapa lo sampe mikir ke arah situ?" Aku mengangkat bahu, berniat menyudahi topik ini karena pelayan sudah membawakan pesanan kami, tapi Bang Adit tetap menatap tajam ke arahku menuntut jawaban.

"Gue nggak minta secara gamblang kok, bang." Kataku begitu pelayan meninggalkan meja kami. "Gue cuma mikir kalo seandainya dia bilang Kaleela pulang ke rumah sejak awal, yang mana udah sebulan lalu malah lebih mungkin. Gue sama dia bisa pisah baik-baik."

Anomali (ON HOLD)Where stories live. Discover now