10| Dia itu...

1.8K 145 1
                                    

Seperti hari biasanya, pagi ini aku memasak nasi goreng untukku dan Bagaskara. Bocah itu belum bangun padahal sudah pukul setengah tujuh dan aku sendiri juga enggan membangunkannya. Aku yakin, untuk ukuran mahasiswa semester tujuh sepertinya, pasti dia juga tidak memiliki banyak kelas, apalagi dia sudah tidak mengikuti organisasi kampus.

Setelah sarapan siap aku segera menyajikannya ke meja makan lalu segera mengganti bajuku dan bersiap-siap untuk ke kantor. Kulihat Bagaskara masih terlelap di ranjang. Sepertinya dia kelelahan karena akhir-akhir ini sering pulang lebih malam. Setelah selesai aku menghampiri ranjang untuk sekedar memastikan kalau kalau tidurnya nyaman, lalu aku mengecup keningnya untuk sekedar berpamitan. Aku pun keluar kamar untuk sarapan kemudian berangkat naik ojek online yang ku sudah ku pesan sebelumnya.

Semenjak kejadian malam itu, aku sedikit memberi jarak pada Bagaskara. Bukan apa-apa, hanya saja aku merasa ada yang menyentil egoku. Disaat aku sudah merasa nyaman dengan kehadirannya dan ingin mencoba membuka hati, dia malah melakukan hal seperti itu. Aku sendiri tidak mau mengungkitnya karena aku ingin dia menjelaskan sendiri padaku.

Malam itu saat saat aku pulang bersama Ken, aku melihatnya di lampu merah. Dia tidak tahu kalau kami berhenti di lampu merah yang sama. Disaat aku menunggu dia lebih dari satu jam, menelponnya tapi tidak diangkat, dia malah berboncengan dengan perempuan lain. Aku tidak masalah kalau dia tidak bisa menjemputku, setidaknya dia bisa memberi tahuku sebelumnya, bukannya malah tak menghubungiku sama sekali. Dan yang paling membuatku kesal adalah saat paginya dia meminta maaf dia malah berbohong padaku kalau dia sedang ada urusan dengan sahabat-sahabatnya.

Aku benar-benar tak habis pikir. Kenapa dia mau menikah dengan oranglain kalau ternyata dia sudah memiliki kekasih? Kenapa dia tidak menjelaskan saja pada orangtuanya kalau dia sudah mencintai perempuan lain? Setidaknya orangtuanya akan mengerti, kan?

"Lin, makanannya jangan diaduk terus." Aku mendongak saat mendengar suara Bang Adit, lalu mengangguk tak berniat menjawab.

"Lina kenapa? Ada masalah?" Mbak Mona ganti bertanya sedangkan aku menggeleng.

"Nggak apa kok mbak," dari balik bulu mataku mereka terlihat saling bertanya dengan berbisik-bisik. "Gue nggak apa kok, bang, mbak. Cuma nggak enak badan aja."

"Cerita aja kalo ada masalah, nggak usah ditutupin."

"Nggak apa kok. Emang semalem sempat deman dikit." Aku tidak bohong kok. Semalam memang aku sedikit demam karena sempat kehujanan saat naik gojek. Beruntung saat itu jarak apartemen sudah dekat.

Mereka tak bertanya lagi. Untuk saat ini aku hanya ingin menyimpan hal ini sendiri. Bahkan aku belum mengatakan pada mereka kalau aku sudah menikah. Mungkin aku akan mengatakan pada mereka, nanti.

Hari ini pekerjaanku tak begitu banyak sehingga aku dan kawanku bisa bersantai sejenak. Menjadi staf keuangan di perusahaan besar cukup membuatku kalang kabut, apalagi kalau akhir bulan dan akhir tahun, selalu terasa lebih berat. Kami harus memastikan pengeluaran dan pemasukan dengan benar. Di sinilah bagian beratnya, menghitung dan meneliti pengeluaran. Kami bahkan harus mencari nota pengeluaran yang hanya berupa nota bahan bakar atau nota makan dari beberapa kunjungan dan pertemuan luar perusahaan, beruntung kalau nota yang dibawa individu itu tidak hilang atau terselip, kalau sampai terjadi pasti semua orang di keuangan akan sangat ribut. Pernah suatu hari kami nyaris kehilangan salah satu nota bahan bakar. Kami kelimpungan menghubungun siapa saja yang berhubungan nota itu dan ternyata nota itu jatuh dan terselip di bawah meja.

"Woi! Ngelamunin apa sih?" Aku tersadar dari lamunanku karena suara Mbak Mona.

"Mikir. Kok gue bisa ya kerja disini? Padahal kerjaannya banyak."

"Jangan salah ih. Gajinya disini kan gede. Sesuai sama kerjaannya." Kata mbak Mona. Upah kerja disini memang cukup besar untuk ukuran perusahan yang belum go public.

"Iya sih ya. Kenapa nggak diurus biar segera go public sih? Kayaknya udah cukup memenuhi syarat deh." Ujarku.

"Nggak tau juga sih. Dari rumornya sih nunggu pewarisnya naik jabatan dulu." Tiba-tiba jantungku berdegub lebih cepat mendengar ucapan Mbak Mona. Asal lo tau mbak pewarisnya itu suami gue.

"Emang pewarisnya siapa?" Tanyaku.

"Nggak tau." Jawab mbak Mona lesu. "Tapi ya, katanya pewarisnya itu pernah magang disini. Gue sih nggak terlalu tau, cuma waktu itu banyak banget yang magang disini kan, hampir di semua bagian ada, ya walaupun cuma satu dua anak."

Amy mengernyit, "Anak magang waktu kapan?" Setahuku selama aku kerja disini anak magang setiap tahun itu cukup banyak.

"Tahun lalu. Yang rame banget karena banyak cogannya."

Aku mengangguk, mengingat-ingat saat ada anak.magang tahun lalu. Aku tak begitu memerhatikan keadaan saat itu karena ada beberapa masalah yang harus aku selesaikan. Bahkan aku yang biassnya santai selalu mudah marah dan lebih sering mengerjakan sesuatu dengan serius.

Kalau mbak Mona bilang pewaris itu pernah magang disini, berarti Bagaskara pernah magang disini, kan? Kenapa aku tak tau?

Aku menghela napas. Memikirkan Bagaskara mengingatkanku pada kejadian akhir-akhir ini. Dia terlihat lebih sibuk dari biasanya, bahkan ia juga sering pulang malam. Aku merasa ada yang sedikit berbeda karena kami tak lagi sering berkomunikasi.

"Kenapa?" Aku melihat mbak Mona yang menatapku penuh tanya.

"Hm?"

"Lo kenapa?" Dia bertanya lagi. Aku menimbang untuk bilang saja padanya atau tidak.

"Hhm, mbak. Gue mau tanya." Dia berguman lalu memusatkan perhatiannya padaku, mengintruksikanku untuk melanjutkan. "Misalnya ya mbak, kan Kang Fahri janji mau jemput lo waktu lembur, tapi entah kenapa dia nggak jemput lo. Waktu lo telfon dia nggak angkat. Tapi waktu lo pulang, lo liat dia pulang sama cewek. Reaksi lo gimana?" Aku melihatnya menaikan sebelah alis, lalu dia berdehem.

"Ini pengalaman lo?"

"Bukan!" Jawabku cepat. "Ini curhatan temen gue, iya temen gue!"

"Oh, gitu." Dia manggut-manggut, sedangkan aku berdoa semoga dia tak curiga. "Kalo gue sih yang pasti kesel. Orang udah ditungguin juga malah dia asik-asik sama cewek lain. Tapi gue juga harus cari tau, jangan-jangan gue salah paham atau gimana."

"Cari taunya gimana?" Tanyaku.

"Ya tanya ke dialah. Bisa jadi itu temennya, adiknya, sodaranya."

"Tapi dia anak tunggal mbak."

Mbak Mona malah tersenyum melihatku, dia meletakkan sebelah tangannya dibahuku. "Kalo lo mau tau, tanya ke cowok itu, Lin. Lo nggak bakal tau yang sebenernya kalo lo diem aja."

"Bukan gue mbak, itu temen gue kok, dia curhat gitu." Elakku

"Lin, gue udah dua tahun kenal lo. Coba cerita sama gue, siapa sih cowok ini sampe bikin lo uring-uringan beberapa hari ini."

Aku menghela napas berat, "Tapi mbak, gue nggak suka kok sama dia."

"Siapa yang bilang lo suka sih? Coba deh cerita dulu, biar gue juga tau permasalahannya dari awal." Bujuknya.

Setelah menimbang cukup lama, akhirnya aku memilih untuk bercerita. Setidaknya bebanku bisa sedikit terangkat.

"Dia itu..."

***

Tbc...

Gaje banget yak?

Anomali (ON HOLD)Where stories live. Discover now