28 | 100% Gila

1.7K 120 1
                                    

Maap yak telat apdet. Harusnya hari minggu udah apdet, eh malah dirumah ada acara dari hari sabtu.

Selamat membaca...

***

Bagaskara lebih sibuk setelah pulang dari Bali. Saat kami di Bali kemarin, dia mendapat panggilan entah dari siapa yang membuatnya memutuskan untuk pulang lebih cepat. Yang seharusnya pulang sore malah pulang pagi. Bagaskara sering lembur dan berangkat lebih pagi, bahkan beberapa kali ia tak pulang. Menurut gosip yang beredar, program yang dibeli salah satu perusahaan mengalami masalah dan hampir merusak sistemnya membuat tim pemrograman dan divisi lain yang berhubungan turut andil. Aku tak tau mengenai itu semua, tapi aku turut mendapat dampaknya. Beberapa perusahaan memutuskan kerja sama membuat GFN mengalami kerugian. Pembukuan yang sebelumnya hanya tiap akhir bulan mengalami kerepotan sekarang hampir tiap hari kami harus mengecek ulang barang keluar maupun masuk, retur yang tiap tiga hari sekali pasti ada membuat kami makin pusing. Aku jadi memikirkan Bagaskara.

Bagaimana keadaannya? Aku jarang melihatnya makan siang, bahkan sarapan pun tak pernah selama ada masalah ini. Perasaanku tak enak. Apa ini perbuatannya?

"Sebenarnya ada apa sih? Kenapa sampe ribut begini?" Aku.menggeleng menjawab pertanyaan Mbak Mona.

"Bang Adit tau nggak, ya?" Tanyaku lebih pada diri sendiri.

"Nggak tau. Coba deh tanya nanti, tuh anak sibuk banget keknya."

"Gue nanti nggak ikut maksi, ya." Pamitku. Jaga-jaga Mbak Mona malah menungguku nanti padahal aku mau mengantarkan makan siang untuk Bagaskara sekalian makan bersama. Akhir-akhir ini aku selalu membawa makan siang ke kantor karena Bagaskara yang jarang sarapan. Aku khawatir dia bisa jatuh sakit kalau telat makan. Selama kami tak berangkat dan pulang bersama, Bagaskara memboyong seorang supir dari rumah papa yang ditugaskan untuk mengantar-jemput-ku ke kantor. Aku agak aneh sebenarnya karena aku bisa pesan taksi atau ojek tapi dia kukuh pada pendiriannya kalau aku harus pulang pergi dengan supir. Aku menurut saja.

Selain makin sibuk, aku jadi merasa sedikit aneh dengan sikap Bagaskara. Semakin kesini dia makin protektif padaku. Dari dulu memang sudah protektif tapi semakin kesini dia tak pernah lagi memerbolehkanku keluar apartemen sendiri kecuali ke kantor. Dia bahkan memintaku pindah ke apartemennya atau tinggal dirumah mama sementara yang langsung ku tolak mentah-mentah.

Aku naik ke lantai tujuh setelah memanaskan makan siang di dapur kantor. Tak sengaja aku bertemu salah satu OB saat menunggu lift. Dia membawa kotak berukuran sedang yang dibungkus sampul payung warna coklat terang.

"Mang Udin, itu bingkisan siapa?" Tanyaku penasaran.

"Eh, Mbak Lina. Ini paket buat Pak Bagaskara, mbak."

"Biar saya yang bawa, mang." Putusku. Daripada dia repot lebih baik sekalian saja aku yang bawa. "Saya juga mau ke ruangan Pak Bagaskara."

"Beneran, mbak?" Aku mengiyakan. "Wah makasih loh mbak, saya jadi bisa makan siang."

"Iya, mang." Mang Udin segera berlalu dari hadapanku sedangkan aku langsung masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka dan menekan nomor lantai kantor Bagaskara.

Kotak ini tak terlalu berat padahal ukurannya lumayan membuatku penasaran apa isinya. Aku sampai di lantai tujuh dengan selamat. Disana cukup sepi karena meja sekretaris kosong. Meja sekretaris disini dibuat seperti kubikel kerja dengan ukuran lebih besar dan juga keamanan lebih ketat karena sekretaris dari beberapa petinggi yang ada disini dijadikan satu di dekat lift. Mereka akan bekerja seperti resepsionis saat ada tamu yang datang dan menanyakan akan menemui siapa, baru mereka akan mengantarkan tamu itu ke ruangan yang dituju.

Aku memasuki ruangan Bagaskara yang sudah ku hapal tempatnya. Sebelum aku kesini Bagaskara bilang dia masih dijalan dari Prah Company, katanya sih sebentar lagi sampai dan aku diminta menunggu diruangannya. Ruangan Bagaskara cukup luas, ada meja kerja di dekat kaca yang kalau dia duduk dikursi akan membelakangi jendela kaca itu, di samping meja ada tanaman hias dalam pot kurang lebih 70 senti tingginya, Tak jauh dari meja itu ada sofa ukuran sedang yang fungsinya untuk tempat menjamu tamu, mungkin. Lalu ada rak buku di sebelah kanan ruangan.

Aku duduk di sofa sembari meletakan kotak makan dan paket itu di meja. Aku melarikan pandanganku ke sekeliling ruangan. Ruangan ini cukup nyaman karena warna catnya yang terlihat hangat, perpaduan warna coklat kayu dan krem. Mataku tak sengaja menatap meja kerja Bagaskara yang berantakan. Meja kerjanya yang sudah sumpek karena di isi oleh dua komputer dan papan nama serta barang barang lainnya menjadi makin sumpek karena kertas-kertas yang berserakan.

"Nggak di rumah, nggak di kantor sama aja." Aku bergumam sambil berjalan mendekati mejanya, menata mejanya agar lebih rapi. Tanganku turulur mengambil bingkai foto yang bertengger disana setelah menata kertas itu mejadi satu tumpuk.

Kenapa aku tak sadar kalau saat itu ada yang memotret kami?

Dalam bingkai itu terdapat fotoku dan Bagaskara setelah ijab qabul dimana dia mencium keningku dan aku memejamkan mata. Aku ingat kalau saat itu aku menangis, bukan karena haru tapi karena kaget, marah, kesal, bingung, semuanya campur jadi satu. Namanya juga nikah dadakan, waktu aku salat subuh masih single eh pas salat dzuhur udah nggak available. Aku meletakan bingkai itu kembali ke tempatnya lalu berjalan memutar untuk duduk di sofa. Mataku tak lepas menatap paket itu. Aku penasaran, Kira-kira isinya apa ya?

"Jangan-jangan belanja online." Gumamku. Lebih baik ku buka saja daripada penasaran. Aku tau ini tidak sopan, tapi aku penasaran. Maaf ya Bagaskara.

Aku membuka plester yang ada di sisi-sisi kotak tersebut, setelah berhasil aku menyingkirkan ketas pembungkusnya, membuangnya ke tempat sampah disamping meja Bagaskara. Kotak yang di pakai semacam kotak sepatu tapi berwarna coklat kayu, tak jauh berbeda dari warna sampulnya yang sudah ku buang. Masih dengan posisi berdiri di samping sofa aku membuka penutup kotak itu dengan cepat.

"AAAKKHH!!!"

Napasku terengah karena kaget. Bahkan aku mundur satu langkah tanpa sadar. Kotak itu sudah kulempar ke meja tapi posisinya tak terbalik, sehingga orang dapat melihat isinya dengan mudah.

Orang yang mengirimkan kotak ini gila. Seratus persen gila.

Brak!

Aku menengok cepat ke arah pintu yang dibuka dengan kasar. Bagaskara berdiri disana dengan napas terengah. Dengan langkah besar dia menghampiriku dan mencengkeram bahuku.

"Ada apa? Kenapa teriak?" Bahunya masih naik turun menandakan napasnya yang pendek-pendek. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya yang keras dan cepat. Dia menangkup wajahku dengan dua tangan, meneliti tubuhku dari kepala sampai kaki. Mataku melirik kotak tanpa tutup yang ada di meja diikuti oleh Bagaskara. Dia melepaskan tangannya dariku dan menghampiri kotak itu, mngambilnya. Aku mengikuti dibelakangnya untuk melihat isinya. Bagakara mengambil surat yang ada disana, terdapat bercak darah di permukaan kertas itu.

Peringatan terakhir. Atau Alina-mu yang akan dapat akibatnya.

Bagaskara meremas kertas itu dan melemparnya ke dalam kotak. Dia segera menutup kotak itu dengan tutup yang tadi kulempar jatuh ke lantai, lalu dia menatapku.

"Dari mana kamu dapat ini?" Aku tak menjawab. Bahkan aku tak bisa berpikir setelah membuka kotak itu. Orang gila mana yang mengancam orang lain dengan mengirin miniatur boneka manusia yang tercabik-cabik bagian tubuhnya dan terlumuri oleh darah dengan surat ancaman yang juga terlumuri darah?

Sejenak aku hanya menatap Bagaskara. Aku merasakan ada yang menggantung di kelopak mataku yang bawah dan siap untuk jatuh.

"Sejak kapan kamu dapat kiriman kayak gitu?" Tanyaku tanpa peduli pertanyaannya.

"Sayang.." Dia ingin menyentuh wajahku tapi aku segera menghindar.

"Sejak kapan?"

"Kamu nggak usah pikirin ini.." Aku menggeleng.

"Namaku ada di sana! Kamu suruh aku nggak usah pikirin?!" Tanyaku menggebu.

"Kamu tenang. Biar aku yang cari jalan keluarnya." Dia mendekat kearahku dan menangkup kedua pipiku.

"I promise, i'll save you."

***

Tbc

Anomali (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang