35 | Rahasia Juan

2.1K 145 22
                                    

Baru pulang dan keinget sama cerita ini, jadi kepingin update
Btw, udah banyak yang meninggalkan lapak ini kayaknya (?)
Dan cuma bisa nulis segini aja untuj hari ini.
Part ini pendek, cuma 1k word
Happy reading!

***

Alina membuka mulutnya tapi tak bisa mengucapkan apapun. Seolah kata-kata yang ia pelajari selama duapuluh enam tahun hidupnya hilang begitu saja. Dia tidak menangis kala mendengar ucapan Bagaskara. Dia hanya kehilangan kata-katanya.

"Aku mau sendiri, bisa?" Pelan ia bertanya setelah bisa menemukan suaranya.

"Sayang..."

"Please..." Alina memohon. Dengan berat hati Bagaskara beranjak dari sana, meninggalkan Alina diruangan itu sendiri.

Alina merebahkan tubuhnya. Meringkuk ke kanan seperti seorang bayi. Kedua tangannya memeluk perutnya sendiri. Perlahan airmatanya meluruh, menganak sungai di pipi serta dipelipisnya. Isakan kecilnya lolos dan semakin kencang kala napasnya tersenggal. Dia merasa dirinya bodoh karena tak menyadari bahwa ada nyawa yang tumbuh di rahimnya sendiri. Harusnya dia tau sejak haid yang telat dua minggu itu bukanlah haid sesungguhnya, tapi flek karena stres dan kelelahan. Harusnya ia sadar karena berat badannya naik beberapa kilo. Harusnya dia sadar saat dia menginginkan makanan yang dulu tak pernah ia sukai.

Diluar, Bagaskara masih berdiri di depan pintu. Telinganya menangkap suara isakan yang ia yakini suara istrinya. Dia menghela napas. Harusnya ia menunggu beberapa hari lagi untuk menjelaskan perkara ini. Menunggu saat Alina sudah pulang ke rumah.

Bagaskara masih setia berdiri disana mendengarkan isakan istrinya. Tak membiarkan siapapun masuk hingga suara itu mereda.

***

Rajendra duduk di kursi tunggal menunggu orang yang ingin ia temui datang. Dia duduk menyender pada sandaran kursi dengan pandangan lurus. Sama sekali ia tak menyentuh meja dihadapannya. Dahinya berkerut sesekali ketika pintu diseberangnya terbuka.

Matanya memindai melihat orang yang baru memasuki ruangan dan duduk dihadapannya. Tanpa sadar tangannya mengepal di atas paha kala orang yang ingin ia temui sudah duduk di hadapannya.

"Halo, ayah."

Ranjendra mengetatkan rahangnya saat orang itu menyapa. Dia tak menyangka orang itu bisa tetap santai saat ini. Dia ingin berkata, tapi pita suaranya seolah enggan bergetar dan mengeluarkan suara.

"Akhirnya ayah datang juga." Orang itu tersenyum lebar meski matanya sedikit redup.

"Kenapa, nak?" Tanya Rajendra sarat akan kecewa setelah mendapatkan kembali suaranya.

"Ayah cuma mau tanya itu? Ayah nggak mau tanya keadaanku?" Orang itu bertanya dengan getir.

"Nak, ayah tau kamu nggak baik-baik saja. Tapi kenapa kamu melakukan ini, nak? Apa salah ayah?" Rajendra bertanya nyaris putus asa. Dia bahkan tak peduli dengan airmata yang menggenang dipelupuk.

"Aku nggak ngelakuin apapun, yah. I do nothing."

"Tapi kamu membantu penculikan itu, Dipta! Aku otaknya!" Rajendra menyugar rambutnya kasar. Kali ini ia menemui Pradipta di kantor polisi yang beruntungnya pria itu mau menemuinya. "Ayah tau kamu punya masalah berat dengan papamu, tapi kenapa harus membawa Alina ke masalah ini, nak? Apa belum cukup kamu buat ayah diasingkan dulu?"

"Yah, dulu Dipta khilaf, yah. Dipta cuma mau ngajak bercanda Alina. Dan kali ini Dipta nggak tau apapun tentang itu, yah. Dipta nggak sentuh Alina." Sanggah Pradipta alias Juan. Ya. Dulu dia menang berniat bercanda pada Alina dan penolakan Alina menyentil egonya sebagai pria. Dan kali ini, demi apapun, dia bahkan tak tau kalau Kenzo akan nekad menyentuh Alina. Ia juga tak tahu sudah sampai mana si brengsek itu berbuat karena yang dia butuhkan cuma sekadar menggertak Bagaskara untuk memberikan program yang ia inginkan.

"Ayah kecewa, nak. Dulu ayah masih bisa memaafkan kamu, tapi sekarang ayah nggak bisa." Rajendra berkata lemas.

Dulu saat ia bertemu dengan Juan, ia senang sekali mengingat Juan adalah putra dari sahabatnya, apalagi saat tau kalau Alina malah menjadi kekasih Juan. Dia sudah menganggap Juan seperti putranya sendiri, apalagi kalau ia berkunjung ke Jogja, pasti ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Juan. Dasarnya dia ingin memiliki anak lelaki dan Juan juga ingin dekat dengannya karena menginginkan sosok ayah yang dekat, jadi ia menganggap Juan seperti anak sendiri.

Bertahun-tahun ia menjadi tempat curhat Juan sejak semasa SMU hingga kejadian naas itu terjadi. Ia mengerti bagaimana Juan tertekan akibat papanya yang gila kerja dan menuntut segala hal pada Juan. Awalnya Rajendra tak percaya jika Toni, sahabatnya, bersikap demikian. Tapi akibat Juan yang selalu bercerita membandingkan sikap papanya saat sebelum sukses dengan sikap papanya setelah memiliki perusahaan besar ia jadi percaya, apalagi melihat sikap Toni yang acuh tak acuh saat mereka mendatangi acara reuni beberapa tahun sebelumnya.

Rajendra tersentuh dan selalu mendukung apapun yang dijalani Juan selama itu hal positif. Tapi sayang Rajendra tak tahu kalau dukungannya itu membuat Juan merasa benar dan bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia mau. Rajendra tak tau kalau dukungannya selama ini membuat Juan menjadi pria egois.

"Ayah.."

"Alina kehilangan segalanya, nak, karena hal itu. Dia kehilangan kepercayaan dirinya, dia kehilangan senyumnya dan dia kehilangan calon anaknya."

"Alina hamil?" Juan terperangah. Matanya membulat tanpa sadar.

"Dulu. Dan dia sudah keguguran." Ada kilatan marah dimata Rajendra saat mengatakan itu. Jujur saja ia sedih saat tau kalau calon cucunya telah tiada. Calon cucu yang dinanti-nanti sudah kembali dipangkuan Sang Pencipta tanpa mereka tahu keberadaannya.

"Maaf, yah..." Juan menunduk. Perasaan bersalahnya makin besar. Dalam skenario nya, dia hanya akan mengambil Alina untuk mengancam Bagaskara dan ia akan melepaskan wanita itu ketika ia sudah mencapai tujuannya. Dia lepas kontrol karena mendengar Alina menjawab ucapannya dengan berani. Karena itu dia memancing amarah Kenzo yang terlihat begitu mencintai Alina.

Dia merasa tertantang dan semua terjadi begitu saja.

Juan mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangannya yang diborgol. Harusnya ia tak mengiyakan perkataan papanya. Seharusnya ia tak tergiur dengan jabatan yang ditawarkan papanya disaat dia sudah memiliki usaha kecilnya sendiri. Seharusnya ia tak membawa Kenzo ke masalah ini sehingga Alina tak akan ketakutan lagi. Semuanya salahnya.

Juan berdiri dari duduknya. Ia mengambil posisi berlutut disamping pria yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Tangannya ia tangkupkan di depan dada. Kepalanya menunduk. Ia menyesali semua perbuatannya. Ia menyesali apapun ia lakukan pasa keluarga ayahnya.

Jabatan. Uang. Popularitas. Ketiga hal yang sudah menghancurkannya dan membuatnya menghancurkan kehidupan orang lain.

"Ampuni Juan, Ayah."

Rajendra menatap lelaki dewasa itu dengan sorot mata kecewa, marah juga sedih yang begitu ketara.

"Jalani hukumanmu, nak. Ayah tak akan menuntut lebih." Rajendra menghela napasnya. "Nanti kalau kamu sudah bebas, jangan pernah menemui Alina. Jangan pernah muncul dihadapannya."

"Waktu berkunjung sudah habis." Seorang pria muda dengan celana kain dan kaos polo yang dipadukan dengan jaket kulit masuk ke ruangan. Pria itu menarik Juan untuk berdiri dan menyeretnya pergi dari sana.

Rajendra menutup wajahnya dengan telapak tangan. Bahunya berguncang. Ia menangis kecewa juga sedih melihat pria muda itu diseret. Apalagi saat pria yang sudah ia anggap anak itu berulangkali menggumamkan kata maaf sebelum menghilang dibalik pintu.

Jangan muncul, nak. Jangan muncul dihadapan kami lagi. Jika kamu bebas nanti, pergilah ketempat yang jauh dimana tak ada seorangpun yang mengenalmu. Perbaiki hidupmu disana.

***

Tbc

Kasian Juan nggak sih??

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Oct 21, 2018 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

Anomali (ON HOLD)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon