6 | Unexpected

1.8K 159 6
                                    

D-3

Aku hanya melirik ponselku yang sejak tadi bergetar menampilkan nomor yang sama. Aku tidak mungkin mengangkatnya sekarang, karena aku sedang menyelesaikan pekerjaanku untuk seminggu ini serta pekerjaanku yang membutuhkan tandatangan Andreas untuk minggu depan.

Minggu ini aku harus lembur menyelesaikan laporan dan jurnal karena aku mengambil cuti minggu depan selama tiga hari, senin sampai rabu. Kenapa sebegitu lama? Itu karena pernikahan adikku digelar dirumah dan aku sebagai anak berbakti harus membantu itu membereskan segala macam tetek bengek yang nanti nggak akan terpakai lagi. Beruntung ibu memakai jasa katering, jadi tidak banyak yang perlu dibereskan nanti selepas acara.

"Lin hape lo dari tadi ndat ndut ndat ndut, berisik! Angkat napa?!" Faisal teman samping kubikelku menegurku, membuatku mau tidak mau mengangkat telepon ibun setelah sebelumnya menyingkir ke dekat toilet.

"Kak, pulang! Dirumah ada acara kok nggak pulang pulang." Omel ibun disebrang sana setelah saling memberi salam, nada suara ibun terdengar gusar ditelingaku.

"Iya, Ib. Aku pulang h-1. Ini kan lembur supaya cutiku bisa tenang, Ib." Jawabku jengah.

"Itu mepet banget, kak. Kakak harusnya udah dirumah hari ini." Aku tidak tau kenapa ibun berbicara seperti ini. Ibun kedengaran gusar, putus asa. Mungkin ibun lelah menghadapi aku yang akhir-akhir ini sulit di kontak.

"Iya, ib, aku tahu. Tapi kan aku nggak bisa lepas tanggungjawabku cuma karena masalah keluarga gini. Aku bakal dateng kok, sesuai janjiku. H-1 aku udah di rumah, paling mepet malemnya aku sampai."

"Bunda tunggu ya, kak. Sampai dirumah kakak harus langsung ketemu Bunda, jangan yang lain dulu."

Aku hanya mengiyakan keinginan ibun karena tidak mau ada keributan di hari bahagia adikku. Setelah ibun kembali menasihatiku telepon terputus.

Aku menimang ponselku sejenak, berpikir untuk menelpon Leela. Adikku itu tidak mau pamit atau bicara apa pada kakaknya? Kami memang tidak terlalu dekat, tapi kami cukup akur untuk saling berbagi kabar dan ngobrol ringan. Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon adikku. Beberapa kali terdengar nada sambung, tapi tidak diangkat oleh Leela. Setelah beberapa kali menelpon dan tidak diangkat, aku menyerah saat operator mengatakan nomor Leela tidak aktif. Mungkin dia sedang dipingit, seperti yang dikatakan ibun beberapa hari yang lalu, jadi tidak boleh memegang handphone.

***

D-1

"Lina pulang kampung ya? Lesu amat." Kata mbak Mona saat kami memasuki lift ketika akan pulang.

"Iya mbak, besok adek gue nikah, jadi harus pulang." Jawabku lelah.

"Ih, dilangkahin. Dapet pelangkahan berapa lo?"

"Nggak tau deh. Gue udah keburu pusing karena nyokap lebih sering tanya pendapat gue daripada Leela."

"Wajar sih. Lo kan lebih tau yang begituan. Lagian si Leela lebih seneng konsep barat kan daripada konsep daerah usulan nyokap lo."

"Hooh. Dari pilih kain buat keluarga sampe katering, nyokap tanya gue semua, biar bisa low budget katanya. Duh, emak gue pinter banget kalo masalah duit begini."

"Yaelah Lin. Gue juga gitu lho. Akang juga bilangnya cari yang bagus tapi low budget biar duit nggak kekuras cuma buat hura hura. Gue sih setuju aja." Kami keluar dari lift begitu pintu terbuka di lantai satu, "Lagian nyokap lo juga pinter sih."

"Pinter banget. Sampe gue yang harus ngitung modal sama keluarnya berapa. Mana kagak digaji pula. Capek deh."

"Sabar ae. Semua akan indah pada waktunya."

Anomali (ON HOLD)Where stories live. Discover now