20 | Sahabat SMA

1.8K 139 2
                                    

Semenjak Bagaskara diperkenalkan sebagai putra dari Bapak Brama, hampir semua karyawan yang tau kedekatanku dengannya mencecarku dengan pertanyaan yang sama.

"Lina, lo belom jawab pertanyaan gue. Lo itu siapanya Pak Bagas?"

"Kenapa tanya-tanya? Minta dikenalin?" Tanyaku acuh. Hampir semua wanita single disini memintaku untuk mengenalkan mereka ke Bagaskara. Kalau tak ingat aku yang meminta pernikahan kami dirahasiakan, sudah ku jawab kalau aku istrinya.

"Yahh... Lina mah gitu." Dia kelihatan kecewa.

"Mbak Kareen kalo mau kenalan yaudah tinggal kenalan sendiri. Anaknya nurut kok, baik juga." Aku masih membereskan kertas kertas yang ada di mejaku.

"Masa gue ketemu wakil direktur terus bilang, 'Pak saya mau kenalan.' Gitu sihh." Mbak Kareen malah merengek ke arahku.

"Ya kali, kan lo juga udah kenal tuh, namanya udah tau juga, kan?" Mbak Kareen masih merengek kepadaku. Ya ampun. Ini sudah waktunya pulang dan aku masih diributkan masalah kenal-kenalan begini.

"Sayang!"

Aku, mbak Kareen dan beberapa orang disana menengok ke sumber suara. Aku mengumpat dalam hati begitu mendapati Bagaskara disana dengan penampilannya yang sudah acak-acakan; dasi longgar kancing kemeja atas terbuka, lengan kemeja digulung, rambutnya sudah tak serapi tadi pagi, wajahnya kuyu karena kelelahan. Jadi tak tega mengomelinya.

Aku menghampirinya setelah berpamitan dengan rekanku yang lain yang sudah memasang ekspresi kaget.

Aku dan Bagaskara turun ke lobby karena akhir-akhir ini dia jarang memarkirkan mobil di basement, dan itu menyulitkanku karena banyak karyawan yang memerhatikan kami bahkan aku pernah mendengar mereka berbisik membicarakan kami. Dan kurasa makin hari makin banyak yang membicarakan tentang kami-- dilihat dari orang-orang yang melirik kami yang makin banyak.

'Itu pacarnya bukan, sih?'

'Nggak tau. Bukannya itu yang nolak Kenzo HRD, ya?'

'Ah, masa, sih? Pantes aja Nolak Pak Ken, kan, Pak Bagas anak owner.'

'Iya juga sih, brondong nggak masalah kalo nyari yang kaya.'

Lagi.

Sudah beberapa hari aku mendengar bisikan-bisikan yang seperti itu. Meskipun aku sudah berusaha menulikan telingan dan berpikir itu tidak penting, tapi rasanya tetap ada yang sakit.

Aku menunduk. Sedikit banyak apa yang mereka katakan ada benarnya menurutku. Untuk apa aku menerima pria yang lebih muda dariku saat ada pria mapan dan dewasa yang memilihku?

Makin hari ku rasa nyaliku makin menciut karena bisikan-bisikan orang-orang disekitar. Aku pernah mengalami ini dulu dan seakan semua orang merendahkanku, aku semakin takut. Kedua tanganku memilin satu sama lain karena ketakutan yang makin besar.

Aku mendongak begitu ada yang melingkupi tanganku, melepas pilinannya.

"Nggak usah didengar." Dia menggandeng tanganku, menyelipkan jari-jarinya di antara jari-jariku.

Aku mendengus kecil. Dia selalu masa bodoh dengan omongan orang. Apa semua lelaki juga begitu?

"Gampang banget kamu ngomong begitu."

"Nggak apa-apa, sayang. Biar mereka beropini sesuka mereka. Karena kita yang tau faktanya."

Aku merebut kunci mobil ditangan Bagaskara begitu kami tiba di parkiran. Dia hendak protes tapi aku lebih dulu menyela.

"Biar aku yang nyetir. Kamu duduk tenang, ya?" Aku mendorongnya untuk masuk di kursi penumpang. Beruntung dia menurut.

Bagaskara selalu mengendarai Jazzy sejak aku mengeluh saat dia memakai range rover-nya. Dan sekarang aku kembali mengendarai jazzy-ku.

Anomali (ON HOLD)Where stories live. Discover now