23 | "He"

1.7K 123 1
                                    

Setelah kejadian di kampus Bagaskara, aku mendiamkan dia. Aku bukan marah, tapi gimananya, aku merasa seperti dia merahasiakan kuliahnya dariku, membuatku berfikir kalau aku tidak begitu penting baginya. Aku senang kok dengan kelulusannya, tapi aku juga kesal karena dia tak pernah sekalipun membahas skripsinya jika denganku.

Aku segera turun dari mobil lalu menuju lift, Tak mau repot menunggunya. Kami baru pulang dari kantor.

"Sayang, hey. Udahan dong marahnya. Kamu udah dua hari diem aja." Aku tau ini suaranya. Dan aku tak menengok kearahnya. "Mendiamkan suami itu dosa lho, sayang."

Uugh! Aku menatapnya malas, "I'm not mad at you."

"Kamu nggak marah tapi diem terus." Aku memasuki lift yang sudah terbuka diikuti Bagaskara, lalu menekan tombol lantai apartemen kami.

"Aku mau tanya deh. Seberapa penting aku buat kamu?"

"Sayang, you are important for me. Kalau kamu nggak penting kita nggak akan sampai ditahap ini." Ya, benar juga sih. Tapi aku kurang puas dengan jawaban itu.

Baru aku akan menyela lagi, ada yang masuk di lantai satu membuatku urung mengatakan apa yang akan ku ucapkan.

"Kamu pikir lagi deh, jawabanmu itu." Kami sama-sama diam sampai kami masuk ke dalam apartemen kami.

Aku langsung masuk ke kamar setelah melepas menaruh sepatu ke rak di dekat pintu dan menggantinya dengan sandal rumahan. Aku mengambil baju ganti dan segera mandi. Selepas mandi aku menyuruh Bagaskara agar segera mandi juga setelah menyiapkan baju gantinya. Bukankah kami bisa berpikir lebih jernih saat badan sudah bersih?

Aku menuju ke dapur untuk memasak makan malam. Aku akan memasak tumis brokoli dan ayam goreng yang sudah ku bumbui tadi pagi. Meskipun aku kesal padanya, aku tak mungkin membuatnya kelaparan.

"Kamu au, aku suka kamu sebelum acara makan malam itu?" Gerakanku yang sedang menumis wortel dan brokoli terhenti seketika. Aku menengok ke belakang medapati Bagaskara yang sedang duduk di kursi bar sambil menopang kepalanya dengan tangan kanan.

"Nggak tau." Jawabku seadanya. Aku kembali fokus pada kegiatanku sebelumnya. Aku memang tidak tau. Bahkan aku tak merasa pernah bertemu Bagaskara sebelum acara makan malam itu. Dan kenpaa dia bisa suka denganku.

"Kita pernah nggak sengaja bertemu. Aku kira kamu ingat, ternyata enggak. Dulu kamu masih sering disuruh-suruh sama atasanmu." Sampai sekarang juga masih disuruh-suruh, apalagi sama Andreas. "Dulu kamu masih polos. Aku pikir kamu anak magang karena kamu nurut-nurut aja, ternyata kamu masih anak baru disana." Aku mendengus kecil. Kalau aku masih pegawai baru berarti kami bertemu waktu itu.

"Kita ketemu waktu itu? Tapi kayaknya aku nggak pernah ada interaksi sama anak magang deh." Ujarku mencoba mengingat-ingat lagi pula itu sudah dua tahun lebih, mana aku ingat.

"Iya. Kita emang nggak interaksi kayak ngobrol dan tatap muka langsung. Tapi secara nggak sengaja kita pernah beberapa kali ketemu kok. Waktu kamu hampir jatuh pas bawa kertas setumpuk ke gudang, waktu simulasi bencana, waktu kamu kehujanan di halte depan kantor." Dia ingat semua itu? Aku yang pelupa apa memang aku tidak sadar waktu itu?

Aku merasakan lengan kokoh melingkar di perutku saat aku menata piring lauk pauk di meja makan. Bagaskara memelukku cukup erat.

"Jadi, jangan pernah mikir aneh-aneh lagi. Aku sayang banget sama kamu. Cinta juga." Aku tertawa kegelian saat dia menggesekkan hidung mancungnya di pipiku.

"Iya-iya. Aku nggak akan nuduh aneh-aneh lagi." Aku mengelus kepalanya yang bertumpu di bahuku. "Makan dulu, yuk." Dia mengangguk lalu menempati kursinya sedangkan aku mengambilkan makanan di piringnya.

"Eh tapi aku masih penasaran. Kamu kok bisa cepet selesai skripsi?" Tanyaku saat menaruh piring berisi nasi dan lauk-pauk dihadapan Bagaskara.

"Aku sering ikut bimbingan, bahkan sampai kerumah dosen malem-malem kalo nggak ketemu dosen di kampus. Malah aku minta jadwal bimbinganku dipadatkan meskipun dosennya harus marah-marah dulu. Makanya aku sering bilang lembur ke kamu."

Aku manggut-manggut tanda kalau sudah paham. Dia selama ini lembur karena mengerjakan skripsinya juga pekerjaan kantor. Kasihan juga dia.

"Jangan lupa hadiahnya, ya. Penuhi permintaanku."

Huh! Itu lagi...

***

"Sayang, dasi warna biru tua dimana?!"

Teriakan itu mengisi seluruh bagian apartemen di Senin pagi ini. Selalu saja begini. Bagaskara akan berteriak mencari barang-barangnya, padahal sudah kutata semua di almari.

"Di laci dalam almari isinya dasi kamu semua!!" Balasku berteriak juga. Aku sedang memasak untuk sarapan dan dia selalu mengganggu kegiatan pagiku. Bukannya aku tak menyiapkan setelan kerjanya tapi dia selalu memilih dasinya dan jam tangannya sendiri. Dia bilang dasi dan jam tangannya harus cocok, padahal kan sama saja.

"Nggak ketemu, sayang!"

Aku mematikan kompor dengan kesal. Padahal jelas jelas aku taruh di laci setelah di setrika. Aku menghampirinya dengan menghentakan kakiku, mengambil alih tempat didepan almari. Dan benar saja aku menemukan dasi yang dicarinya kurang dari lima menit.

"Kok ketemu sih? Aku cari nggak ketemu." Aku memutar bola mataku malas.

"Makanya kalo cari itu yang teliti." Aku menyerahkan dasi itu padanya lalu beranjak keluar. Sarapannya belum siap.

"Sayang, nggak dipasangin sekalian?" Aku memutar bola mataku malas tapi tetap tak berbalik. Masa bodoh. Senin pagi ini benar-benar kacau. Bangun kesiangan, sarapan belum jadi, Bagaskara yang ribut benar-benar membuatku pusing.

Kalau aku masih tinggal sendiri, saat bangun kesiangan pasti hanya makan roti tawar, tapi perut gentong satu itu harus makan nasi, kalau tidak dia pasti akan merengek kelaparan terus.

Hari ini benar-benar senin paling kacau selama aku bekerja.

***

Aku baru kembali dari warung kopi depan kantor bersama Mbak Mona. Entah kenapa pagi ini hampir semua anggota divisi keuangan tidak dalam suasana baik. Sebagian besar dari mereka terlihat lemas dan mengantuk Karena itu aku dan Mbak Mona ditugaskan membeli kopi di warung depan.

"Sumpah deh, semua orang pagi ini nggak ada semangatnya." Mbak Mona membuka percakapan begitu kami memasuki lobi kantor. "Apa karena cuacanya, ya?

Aku mengangguk, "Bisa jadi." Tadi pagi memang gerimis juga sampai siang ini pun masih mendung dengan angin semilir membuat orang-orang akan merasa malas melakukan aktivitas.

"Sumpah, hari ini bener-bener hawanya males banget." Aku terkekeh kecil menanggapinya. Kami berjalan menuju lift yang kelihatannya sepi. Mataku menelusuri apakah ada yang akan naik bersama kami atau tidak. "Gue aja sebenernya mau bolos, tapi nggak...."

Tiba-tiba telingaku tak bisa mendengar suara Mbak Mona lagi, langkahku terhenti, anganku jatuh terkulai disamping tubuh, Lututku tiba-tiba lemas melihat objek yang berada di dekat pintu lift.

Kenapa dia ada disini? Harusnya dia sudah pergi dan aku tak akan bertemu dengannya lagi.

"Lin, ayo! Malah bengong disitu." Aku tersentak. Kulihat Mbak Mona sudah berdiri sekitar delapan langkah dariku. Mataku mencari objek yag tadi menggangguku sebelum aku beranjak menghampiri Mbak Mona.

Tak ada. Objek itu tak ada.

"Lin! Come on!" Aku bergegas menyusul Mbak Mona yang sudah hampir mengomel. Dia pasti kesal.

Ya. Mungkin tadi aku hanya berhalusinasi. Dia tak mungkin ada disini.

Ya. Dia tak mungkin ada disini.

***

Tbc...

Anomali (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang