14 | Terimakasih

1.7K 155 4
                                    

Disaat hati mengkhianati logika.
Ternyata aku nggak bisa jauh-jauh dari dedek Bagaskara. Jadi aku hari ini up, padahal besok senin udah ujian.

Sorry for the typo.

***

Hari ini sudah satu minggu sejak perkataan Bagaskara mengenai anak. Dan satu minggu ini juga pikiranku selalu dipenuhi oleh kata-kata Bagaskara yang berseliweran dengan kurang ajarnya di otakku. Aku jadi berpikir, mau sampai kapan aku begini? Pernikahan ini sudah berjalan hampir dua bulan tapi aku belum memberikan hak Bagaskara karena ingatan sialan yang selalu muncul dan membuatku ketakutan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk datang ke tempat ini setelah izin setengah hari dari kantor.

Aku menatap kartu nama di tangan kananku, mencocokkan dengan gedung dihadapanku.

dr. Bianca Firdaus M.Psi Sp.KJ
Psychologist

Menarik napas dan mengembuskannya perlahan, aku mepangkahkan kakiku memasuki gedung firma tersebut. Suasana yang nyaman menyambutku begitu aku masuk dengan mendorong pintu. Ruang tunggu disini sangat nyaman membuat pengunjung merasakan kembali ke rumah. Cat yang berbeda warna disetiap sisi ruangan didominasi oleh warna pastel, di ada sofa berwarna marun yang digunakan untuk menunggu, di sisi kanan gedung ada kaca lebar yang menyatu dengan kaca yang menghadap ke arah jalan. Dari kaca sebelah kiri kita bisa melihat taman mini yang tersapat berbagai macam tanaman hias yang ditata dengan sedemikian rupa agar menambah kesan yang segar.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Aku segera menghampiri meja resepsionis yang dibaliknya berdiri seorang wanita muda dengan senyum ramahnya.

"Saya ada janji dengan dokter Bianca, mbak." Kataku. Mbak Sandya--menurut name tag nya-- memintaku menunggu sebentar untuk memastikan jadwal dokter Bianca.

Aku mendapatkan kontak dokter Bianca dari teman SMAku, namanya Ratih. Waktu itu kami tak sengaja bertemu di salah satu kafe dan sedikit berbagi cerita. Dia bilang sedang melanjutkan S2 psokloginya karena dia ingin jadi konselor. Dan dari situ aku bertanya apa dia kenal psikolog atau konselor. Lalu dia memberiku kartu nama dokter Bianca.

"Mbak Alina, ya?" Aku mengangguk, "Mari mbak saya antar ke ruangan dokter Bianca." Aku mengangguk dan mengikuti mbak Sandya itu yang berjalan makin ke belakang gedung ini. Hingga kami sampai di ruang paling belakang, kurasa. Sebelumnya mbak Sandya mengetuk pintu dan mengantarku masuk.

Netraku menangkap seorang wanita paruh baya menyambut dengan senyum hangat kedatangan kami. Wajahnya sangat cantik --meskipun ada beberapa bagian wajahnya yang sudah menandakan usianya-- yang ku taksir hampir memasuki umur 50-an.

"Alina, right?" Tanyanya sambil tersenyum padaku setelah mbak Sandya meninggalkan kami.

"Iya, dokter Bianca." Balasku.

"Ah, jangan memanggilku begitu. Panggil saja aku ibu, usiamu tak jauh dari anakku yang paling kecil." Aku tersenyum menanggapi keramahannya. Beliau menggiringku kearah sofa yang mirip seperti sofa dalam drama korea yang pernah ku tonton.

Beliau mengajakku berbincang santai lebih dulu, mungkin agar aku tidak tegang. Sebenarnya aku masih takut untuk sekedar menceritkan masalahku. Ini aib bagiku dan aku tak ingin ada orang lain yang tau. Perlahan dokter Bianca menggiring pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada masalahku. Beliau terlihat tenang ketika mendengar ceritaku. Saat aku selesai bercerita Beliau tersenyum lembut sambil mengangsurkan sekotak tisu karena aku menangis.

"Nak, coba ibu tanya. Kalau kamu sedang ribut dengan temanmu, apa yang kamu lakukan?" Tanya beliau dengan lembut.

"Saya akan mengajak dia biacara, supaya masalah selesai."

"Begitu juga dengan masalahmu, nak. Kamu nggak bisa terus hidup dalam masa lalu. Jangan melupakan masa lalu, tapi belajarlah dari sana. Pelan-pelan kamu bisa ajak dia bicara atau kamu bisa mengajak suamimu untuk menemanimu kemari."

"Saya nggak bisa, bu, terlalu memalukan. Bahkan dari dulu saya selalu menjaga jarak dari laki-laki sampai saya menikah."

Dokter Bianca menepuk bahuku.

"Nak, percayalah. Kalau dia mencintai kamu, dia nggak akan berpikir negatif tentang itu." Aku menatap dokter Bianca yang tersenyum ke arahku, "Dan ingat nak, kehidupan pernikahan itu bukan hanya tentang hidupmu tapi juga pasanganmu. Dan komunikasi menjadi hal yang terpenting."

***

Sepulang dari tempat dokter Bianca aku langsung menghubungi Bagaskara, memberitahu kalau aku pulang lebih dulu.

Sebenarnya aku sempat terpikir untuk membawa Bagaskara bersamaku agar dia tau tentang apa yang aku derita. Tapi kurasa akan cukup berisiko kalau langsung mengajaknya ke psikolog tanpa dielaskan lebih dulu.

Sebelum pulang ke apartemen aku menyempatkan untuk membeli jus alpukat dengan ekstra susu di warung es yang cukup terkenal karena rasanya yang enak. Selain itu aku juga membeli beberapa camilan yang disediakan disana. Aku tidak meminum jusku ditempat karena dikejar waktu, juga aku belum menyiapkan makan malam untuk Bagaskara.

Tepat ketika aku memasuki apartemen Bagaskara berdiri menjulang menghalangi jalanku. Mataku melirik jam yang tergantung di dinding di belakang tubuhnya. Jam setengh lima.

"Kamu darimana? Kenapa izin? Nggak ngabarin lagi. Terus nggak pulang. Nggak ke rumah mama, rumah ayah juga nggak ada." Cecarnya padaku.

Aku hanya menatapnya cukup lama. Melihat ekspresinya yang kesal bercampur... cemas. Lalu aku mengangkat plastik yang berisi makanan serta jus alpukat.

"Aku kepengin jus alpukat." Bagaskara menyugar rambutnya mendengan ucapanku lalu menghela napas.

"Bisa minta anter aku, kan? Nggak usah izin, sayang." Mataku melebar.

Sayang?

Dia memanggilku sayang?

"Apaan sih, sayang sayang. Geli!" Ujarku lalu menerobos melewati tubuhnya menuju dapur untuk menaruh camilan setelah menaruh sepatuku di rak.

"Nggak ada yang gelitikin kamu!" Rupanya dia mengikutiku. "Ayah tadi khawatir banget waktu tau kamu nggak sama aku. Lain kali kabari aku dulu kalau pergi, ya?" Aku bergumam mengiyakan. Aku jadi kangen ayah. Biasanya ayah akan mengajakku melihat hujan di teras rumah.

"Kerumah ayah, yuk?" Kataku tiba-tiba.

Bagaskara mengusap kepalaku lembut lalu membelai pipiku dan berkata, "Kangen ayah, ya? Weekend ini nginep mau?"

Aku mengangguk antusias. Sudah lama sekali rasanya aku tak berkunjung ke rumah ayah dan ibun sejak aku menikah. Nanti aku akan bawakan makanan kesukaan mereka. Ya ampun, jadi kepingin cepat-cepat libur.

"Sayang, sini deh!" Aku menengok Bagaskara yang sudah berdiri di dekat balkon. Dengan kaki telanjang aku menghampirinya, meninggalkan jus alpukat yang baru separuh kuminum. Senyumku melebar ketika aku sampai di balkon.

"Kamu yang buat?" Tanyaku. Dia mengangguk.

"Karena kamu suka liat pemandangan dan kurasa perlu sedikit hiasan di balkon kita supaya kamu nggak bosan." Aku masih memandang balkon yang sekarang terlihat seperti taman dalam ukuran mini.

Bagaskara menambah tanaman hias dalam pot bunga-pot bunga kecil yang di taruh di teralis besi yang sudah di bentuk dengan sedemikian rupa, ia juga meletakkan kursi taman dalam ukuran kecil di sisi yang lain. Beruntung karena balkon apartemen cukup luas, sehingga tetap tidak akan mengganggu kalau menjemur cucian.

"Kamu suka?" Aku mengangguk antusias.

"Terimakasih." Ujarku saat aku tanpa sadar sudah memeluknya.

Ya Tuhan... aku benar-benar bersyukur atas kehadiran Bagaskara dalam hidupku.

***

Tbc

Anomali (ON HOLD)Where stories live. Discover now