7 | Menerima

2K 167 0
                                    

Now, after married

Aku memasuki apartemenku dengan kesal. Bukan tanpa sebab, tapi karena suamiku yang brondong itu. Dia bilang setuju saja jika kami tinggal di apartemenku, tapi aku harus di antar jemput olehnya saat bekerja. Bahkan dia mengambil kunci jazzy tanpa sepengetahuanku.

"Saya nggak mau kalau harus diantar jemput!" Kataku telak begitu kami masuk ke apartemen.

"Aku, bukan saya." Katanya, "Aku kepala keluarga disini, jadi aku berhak mengatur istriku."

Aku cemberut, kenapa dia terima aku sih? Padahal dia pedekatenya sama Leela.

"Aku nggak masalah menikah sama kamu. Toh mama juga udah dekat dengan kamu, kan?"
Aku tidak menjawab, hanya menatapnya saja.
"Nggak usah marah. Aku juga baru tau kalau Leela kabur saat h-seminggu."

Ini orang bisa baca pikiran ya?

"Aku nggak bisa baca pikiran orang, tapi mukamu keliatan banget kalo nggak tau tentang ini dan pasti kamu marah." Mendengar itu aku menghembuskan napas berat.

"Tapi nikah belum jadi tujuan saya bahkan saat kamu ngucap ijab qabul." Jawabku jujur. "Saya nggak siap nikah."

"Belum. Tinggal terbiasa aja. Aku juga belum siap nikah."

Aku terdiam. Kalau belum siap menikah untuk apa diterima? Orang ini terlalu nekad.

Aku beranjak ke dapur untuk membasahi kerongkonganku dengan segelas air. Berbicara dengan Bagas membuatku kehabisan kata. Dia itu kuliah manajemen atau ilmu politik? Pintar sekali menjawab omonganku.

"Lebih baik kita tidak tidur satu kamar." Kataku begitu aku kembali ke sofa ruang tamu. Apartemenku memang memiliki dua kamar, cukup menguntungkan bagi kami.

"Kamu pikir ini permainan?" Wajahnya yang ramah berubah datar, "Aku mengucapkan ijab qabul di hadapan ayah dan dihadapan Allah. Kamu pikir itu permainan?"

"Tidak!" Jawabkh keras, "Saya nggak berpikir begitu. Hanya-"

"Hanya apa?!" Dia memotong perkataanku. "Aku nggak setuju dengan usulmu. Kita menikah, tidur satu kamar seperti suami istri pada umumnya--"

"Kita bukan suami istri seumumnya!"

"--dan kamu harus terbiasa menerima pernikahan ini!"

Aku mendengus kesal. Mimpi burukku baru dimulai.

***

"Muka lo kusut amat kayak baju nggak disetrika."

Aku mengalihkan pandanganku dari nasi ayam di piringku, menatap bang Adit dan mbak Mona yang melihatku dengan seksama. Aku hanya menatap mereka lalu menggeleng.

"Muka lo tolong dikondisikan." Kata mbak Mona menyindirku karena aku dari tadi hanya bertampang datar tanpa senyum.

"Capek mbak." Rengekku.

"Lo baru masuk dan ngeluh capek?" Bang Adit mendecak, "Cuti lo baru selesai padahal."

"Hooh. Abis liburan kok malah ngeluh." Mbak Mona menimpali.

Aku hanya menatap mereka sendu, berpikir kenapa nasibku jadi begini. I'm married now. Dan rasanya sudah banyak yang berubah padahal baru tiga hari menikah. Aku belum mengatakan pada mereka kalau aku menikah. Bisa di bully aku kalau mereka tau aku sudah menikah padahal rencanaku menikah itu masih tiga-empat tahun lagi.

"Bang. Pengen ambil cuti lagi boleh?" Tanyaku lesu pada bang Adit membuat dia menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa sih? Nggak biasanya lo diem begini,"

Anomali (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang