#19

1.9K 195 12
                                    

Hami POV

"Apa kau sudah siap?"

"Ne." Aku mengangguk pada eomma yang sedang menggenggam erat tanganku.

"Maaf, Ny. Choi. Kau harus menunggu diluar selama operasi berlangsung."

"Arraseo, dokter. Hami, eomma tinggal dulu ya.". Eomma melepaskan tangannya dan meninggalkanku di ruang operasi ini pastinya dengan dokter dan suster rumah sakit ini.

"Sebaiknya kau jangan terlalu gugup selama operasi, Hami-ssi. Karna akan memperlambat jalannya operasi ini. Bukannya kau ingin cepat dapat melihat lagi?". Tanya dokter itu padaku.

Gugup? Iya, aku gugup setengah mati. Aku takut jika operasi ini tak berjalan lancar. Ini adalah operasi keduaku setelah kecelakaan dulu. Aku benar-benar takut jika seandainya dunia tak indah seperti dulu.

"Akan aku usahakan, dok." Jawabku yang tak begitu yakin pada diriku sendiri.

"Baiklah kita mulai."

Dokter itu menyuntikkan sesuatu pada lengan kananku yang aku tahu itu adalah obat bius. Perlahan aku mulai kehilangan kesadaranku dan akhirnya aku benar-benar tidak merasakan apa pun.

###

Bberapa jam berlalu, operasi berjalan lancar. Operasi selesai dengan diakhiri sorakkan berhasil dari dokter dan suster yang membantunya tadi.

"Apa kau bisa mendengarku?". Ucap dokter itu yang tepat disebelahku.

"Iya. Aku bisa mendengarmu." Mataku ini masih diperban. Dan moment inilah waktuku untuk melihat dunia lagi setelah berbulan-bulan berada di kegelapan yang tak ada cahaya yang masuk dimataku.

"Kau siap untuk kembali lagi jadi pelukis?". Tanya dokter itu sembari melepaskan perekat di perbanku ini.

Aku terkekeh mendengarnya. Dia ini sedang menggodaku. "Ne. Sebagai balasannya aku akan menggambar wajahmu yang cantik itu.". Aku juga membalas bergurau dengan dokter yang dari suaranya saja merdu dan aku yakin dia juga memiliki wajah cantik pula. Dokter itu cukup menghilangkan rasa grogiku yang sedari tadi tak hilang-hilang.

Aku bisa merasakan perban itu perlahan membuka. Dokter masih memutar tangannya searah dengan perban yang dililitkan dikepalaku. Dan akhirnya aku tidak lagi merasakan ada benda di pelipisku. Perban terlepas seluruhnya. Kini mataku telanjang.

"Kau boleh membuka matamu sekarang." Memang aku masih belum berani membuka mataku. Aku hanya masih belum percaya semua ini.

Perlahan mataku ini kubuka. Ini mengingatkanku pada saat aku membuka mataku dan berunjung gelap. Aku takut hal itu terjadi lagi.

Cahaya mulai masuk dalam penglihatanku. Pertama masih buram dan belum jelas apa pemandangan didepanku ini. Namun semua menjadi jelas perlahan.

Aku mengedipkan mataku berkali-kali tak percaya. Aku rindu dengan ini. Aku rindu semuanya yang aku lihat sekarang ini.

"Eomma? Appa?". Aku mengenal wajah orang yang berdiri di depanku dengan wajah yang sumringah. Mereka terlihat sangat senang. Aku membalas senyuman mereka. Namun ada seseorang yang lebih membuatku bahagia. Karna ini pertama kalinya aku melihat wajahnya.

"Jimin?". Orang itu berjalan dan tersenyum manis kearahku. Dia mengangguk setelah berdiri dekatku dan membelai rambutku halus.

"Jimin-ah!!". Aku memeluknya dengan erat. Aku benar-benar bahagia. Ternyata Jimin orangnya lebih dari apa yang aku bayangkan. Dia tampan.

Dia mengusapkan tangannya dipunggungku. Aku menompang daguku dipundaknya dan melihat ke arah belakang tepatnya ke arah orang tuaku.

Kenapa eomma menangis? Apa dia menangis karna bahagia? Atau sedih?

DON'T BE BLIND; PJM ✔Where stories live. Discover now