2 - Dua Cerita di Bawah Rinai Yang Sama

23.4K 2.6K 54
                                    

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan pintu mengganggu gadis yang tengah meringkuk di atas kasurnya. Sebab tahu siapa orang di luar, gadis itu sama sekali tidak terburu-buru beranjak membukakan pintu kamar. Ia justru sibuk menatapi plafon putih diatasnya. Mata sembab itu mengerjap sesekali.

“Sena? Kamu di dalam, kan? Kakak masuk ya?” suara berat milik seorang laki-laki terdengar dari luar, teriakannya menembus pintu kayu yang membatasi.

Gadis yang dipanggil Sena masih diam. Bibirnya terkatup tenang. Tampaknya ia memang tak punya niat untuk menjawab.

Krieett...

Pintu yang dibuka dari luar menghasilkan derit khas. Beberapa detik setelahnya Gani—Kakak kandung Sena—masuk dengan ekspresi lelah di wajah. Mengetahui adiknya habis menangis, lagi, membuat Gani capek sendiri. Penat sehabis kuliah pun terasa makin ditambahi.

Gani mendekat, diletakkannya sebuah plastik merah besar dekat dengan tubuh Sena, “Tadi siang, Kakak sudah urus semua administrasi kepindahan kamu di sekolah baru. Seragam dan buku-buku ada di plastik itu. Dua hari lagi kamu sudah bisa masuk.” Sengaja Gani tak membahas mata berair adiknya. Apa gunanya? Sena itu tipe pendengar nasihat yang buruk. Seburuk hubungan Gani dan Sena setelah hampir dua setengah tahun tidak tinggal serumah sebab Gani kost di Jogjakarta supaya kuliahnya lebih mudah.

Sena setia dengan diamnya. Pandangan mata gadis itu lurus dan kosong. Walaupun merasa lelah dengan sikap Sena belakangan ini, Gani tidak dapat berbohong kalau hatinya tersayat memahami kepedihan dimata Sena. Ia paham, gadis manja itu sama sekali tidak siap menerima semua yang terjadi.

“Sen, malam ini Kakak mau menginap di rumah teman, mau lembur disana ngerjain tugas kuliah bareng. Makan sana, kalau di kamar terus begini kamu bisa makin jenuh...” ucap Gani, tangannya bergerak perlahan hendak menyentuh rambut gadis yang berumur 3 tahun lebih muda darinya itu.

Tapi Sena tidak merasa senang tentang sikap sang kakak, ditepisnya tangan Gani dengan kasar, ia lantas meninggalkan tempat tidur, melangkah gontai menuju pintu, “Aku mau keluar dulu. Tutup saja rumahnya kalau Kakak berangkat. Kuncinya taruh di atas jendela.”

“Tapi kamu mau kemana, ini sudah jam sembilan malam?” Gani meninggikan suaranya.

Sena berhenti tepat di ambang pintu, salah satu tangannya berpegang pada kusen pintu, langsung bangun setelah tidur cukup lama membuat kepalanya terasa berat, “Nggak usah sok peduli...” Katanya lalu melangkah cepat keluar rumah. Gani pun tidak sempat mencegah.

💧💧💧💧

Dika mendorong si Jowi—begitu ia menamai motornya—di tepian jalan. Sebab habis digeber seharian, bolak-balik mengantar penumpang ke tempat tujuan, si Jowi jadi kecapekan, mogok tidak kuat jalan. Alhasil, sampai jam sebelas malam, Dika masih mencari bengkel di tengah hujan. Dika yakin ibunya di rumah sedang menunggu penuh kekhawatiran. Selalu begitu setiap kali ia cari penghasilan tambahan dengan mengojek di tanggal merah begini, hari minggu dan ketika liburan.

Sekitar tampak sedikit lengang. Pintu rumah-rumah penduduk sudah tertutup rapat. Warung-warung yang Dika lewati pun sudah tidak buka, lampunya saja sudah dipadamkan. Tapi masih cukup banyak kendaraan yang masih berlalu lalang, putaran rodanya mencipratkan genangan air, terkadang sampai mengenai Dika dan si Jowi. Meskipun begitu, Dika tidak kesal, toh tubuhnya memang sudah basah, lagipula, cahaya lampu kendaraan setidaknya bisa jadi penerangan tambahan.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang