22 - Peran Perantara

7.5K 976 30
                                    

“Mas Kaka! Subuh Mas Kaka!”

Suara cempreng milik Dila menyentak laki-laki yang sedang tidur dalam posisi duduk di atas kursi itu. Dengan kesadaran yang belum terkumpul penuh, Dika mengangkat kepalanya dari atas meja belajar.

Seraya merenggangkan leher, ia mencoba melebarkan mata, berusaha mengabaikan dingin yang merayu untuk memejam lebih lama. Hal pertama yang Dika temukan ketika berhasil menjernihkan pandangan adalah sederet coretan tinta di kertas terakhir buku catatan matematika.

Malam
Saya lelap bersama mimpi
Mencarimu
Tidak ketemu

Gemericik
Terjaga, saya buka jendela
Langitnya kelabu
Padahal tadi cerah?

Hujan
Pantas di mimpi tidak ketemu
Disana kamu masih terjaga, kan?
Bukan meramal, hujan yang memberitahu

Lama
Belum reda
Kasturi, kenapa belum tidur juga?
Lihat, tetes bening langit Jogja tak berhenti mengkhawatirkanmu

Helaan napas Dika hembuskan pelan setelah selesai membaca ulang tulisannya sendiri. Setahunya, ia hanya suka menggambar. Dika tidak ingin terlalu merasa tinggi karena orang-orang yang suka memuji. Yang jelas, rasa senang ketika melihat arsiran tangannya memenuhi sebuah kertas sehingga menghilangkah kekosongan dari sana membuat Dika bergairah untuk terus mengulas.

Tapi merangkai kata? Entah berpuisi atau apapun namanya, Dika sama sekali tidak kenal dengan seni yang satu itu sebelumnya. Jangankan membuat, ia bahkan bukan penikmat. Tapi jatuh cinta pada gadis itu secara ajaib merubah kata ‘susah’ menjadi ‘bisa’. Lalu, semakin hari, ‘bisa’ berkembang menjadi ‘suka’. Nama Senandung Kasturi selalu mengomando rangkaian kata berbaris otomatis. Tidak pernah habis untuk ditulis. Walau mungkin sangat jauh dari definisi indah, tapi selalu jujur, dan terkadang, manis. 

Saat menutup buku dan mengembalikan benda itu untuk di tumpuk bersama catatan-catatan mata pelajaran lain, Dika ingat serangkai kalimat tadi ia tulis karena hujan membangunkannya di tengah malam dengan perasaan penuh khawatir pada Sena. Tidak ada cara berkomunikasi yang bisa Dika coba untuk memastikan keadaan gadis itu. Tapi ia tahu Sena masih belum tidur karena terganggu sesuatu—entah apa. Karena itu hujan deras turun tiba-tiba, dia mengkhawatirkan Sena. Seperti halnya Dika.

Dika baru mau menuruti kantuknya sekitar pukul dua dini hari, tepat setelah hujan berhenti. Hujan pasti pergi karena dia lega melihat Sena akhirnya mau mengistirahatkan badan dan pikiran. Sebab sudah tidak perlu terjaga untuk menemani Sena—dari jarak jauh—Dika meletakkan kepala di atas meja dan tertidur begitu saja. Puisi yang ia selesaikan satu jam lalu mengalasi pipi dari kayu meja yang dingin. Tentang Sena dan hujan kemarin malam, jangan menganggap Dika sedang meramal. Karena yang Dika lakukan, hanyalah mempercayai hujan.

Gedoran penuh semangat dari luar memaksa Dika mengakhiri lamunan dan segera beranjak dari kursi. Seraya tersenyum lembut, ia membuka pintu yang terkunci. “Mas Kaka sudah bangun, kok, Dek...” kata Dika pada adik perempuannya.

Dila sudah pakai mukenah. Gadis kecil itu nyengir kuda. “Ayo ke mushola, Mas!”

“Tunggu ya, Mas wudhu dulu...” Dika langsung bergegas menuju kamar mandi setelah Dila berlari kecil ke depan, mau menunggu di ruang tamu katanya.

“Tumben bangunnya kalah cepat sama Dila, Ka?” wanita berjilbab sederhana itu berceletuk pada anak sulungnya yang sedang menggulung celana. Rohmah—Ibu Dika—sedang duduk sambil memetik daun kangkung untuk dipisahkan dari batang.

Dika hanya terkekeh ringan. Tidak punya jawaban yang bisa ia berikan.

Rohmah mengernyit menyadari bagian bawah mata Dika yang tampak sedikit menghitam. Jiwa keibuan Rohmah mengkhawatirkan penyebabnya. “Kamu habis begadang ya, Ka? Jangan dibiasain toh, Le, ndak sehat...”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang