14 - Daun Yang Terlanjur Jatuh

11K 1.1K 52
                                    

Semua anak Adam dan Hawa tercipta dari tanah.
Saya dengar itu dari para dermawan yang lapang membagi cerita.

Lalu, setelah melihat senyummu yang indah.

Merasakan bagaimana hati menghangat karena lengkungnya.

Dan menyadari sejauh apa jiwa saya selalu dan selalu membutuhkannya...

Sekarang saya yakin kamu adalah istimewa.

Sepertinya, Tuhan ciptakan senyummu dari pecahan surya.

Secarik kertas gambar dengan sederet aksara kata yang berderet rapi menutup samar lukis paras seorang gadis, itulah hal pertama yang Sena temukan di paginya. Gadis yang tergambar dengan arsir pensil sederhana, yang berdiri membelakangi sudut pandang penggambarnya, Sena kenal betul itu siapa. Gaya rambut asal cepol dan jaket melilit di pinggang sudah pasti khas dirinya. Dan pengirimnya—orang yang menaruh kertas tersebut di loker meja—langsung bisa tertebak dengan mudah.

“Jangan pernah lagi buang sampah ke loker mejaku!” tepat di meja Dika, Sena menghentak tangan, timbul suara kayu dipukul yang mengagetkan saat kertas gambar tadi ia kembalikan.

“Ini surat dari penggemar. Akhirnya kamu betulan punya satu kan!” Dika melipat kembali kertas berbentuk persegi panjang itu hingga rapi. “Kalau dari orang ini... boleh dibaca dan disimpan—harus malah! Soalnya sama sekali nggak bikin saya cemburu.” Katanya sambil bersandiwara, lantas menyodorkan lagi kertas di tangan kepada Sena. 

Si gadis mengeram marah. Ingin meledak rasanya. Menyasar Dika untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi Sena sedang tidak ingin membuat keributan di dalam kelas, kesannya cari perhatian saja. Jadi ia putuskan beranjak keluar. Setelah jawaban kemarin, Sena kira Dika akan sadar. Menjauh atau membenci sebab kepalang gusar. Tapi ternyata Sena salah besar. Apa ada hal lain yang lebih sangar dari ditolak seorang gadis dan malah menjadi penggemar?

BODOH! IDIOT! GILA! NGGAK WARAS! ALIEN! Sena terus mendefinisikan Dika sesuka hatinya.

“Saya minta maaf kalau kamu terganggu. Tapi saya terlanjur jatuh cinta sama kamu, Senandung Kasturi!”

Suara berat yang lantang itu menghentikan Sena di langkah ke sepuluh. Tak hanya yang punya nama, keramaian di sepanjang koridor pun ikut membatu. Kalimat Dika seolah menghentikan putaran waktu.

“Persis seperti daun yang jatuh dari dahannya. Terlalu sulit buat saya yang terlanjur ‘jatuh’ untuk kembali ke posisi semula. Saya nggak sanggup berhenti, terlalu berat buat kembali. Dan bertahan sudah saya pilih.”

Astaga...! Astaga...! Astaga...! Gadis yang diajak bicara memegang dada. Ritme napasnya mendadak kacau—terengah. Sementara detak jantung terasa melemah. Sena memutar tubuh dan menatap Dika tak percaya, tapi lidahnya terlalu kelu untuk bicara.

Hening tak kunjung padam. Logika orang-orang sudah mulai paham. Tapi skenario yang ada terlalu gila untuk dirusak ramai, jadi semuanya tetap diam. Terus menatap Dika dengan telinga dan mata melebar, masih menanti kalimat-kalimat lain untuk keluar, menunggu adegan lanjutan dengan dada berdebar.

“Hak kamu buat menolak jadi pacar saya. Tapi untuk tetap mencintai kamu, itu hak saya.”

Kepala Sena penuh sesak. Orang ini mau mempermalukan aku! Pemikiran itu menderu-deru dalam benak.

Gadis itu maju dengan wajah tergalak, menghampiri Dika dan menamparnya agar berhenti membuat sajak. Riuh pekikan seketika meledak. Dengan jari telunjuk teracung, Sena membentak. “Buat aku, kamu itu sama sekali bukan siapa-siapa. Berhenti jadi orang bodoh yang nggak ngerti arti penolakan!”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang