13 - Malam Ini, Musik Dilengkapi Lirik

6.7K 868 48
                                    

Sena tahu, wajahnya tidak seharusnya mendung begini setelah dokter yang tadi melakukan pemeriksaan rutin, bilang kalau empat hari lagi Gani sudah diperbolehkan pulang. Ini kabar gembira, mestinya gadis itu sumringah sekarang. Toh, bukan cuma Gani yang sudah sangat rindu rumah dan ingin segera balik kuliah, Sena juga sudah jemu dengan aroma obat-obatan khas rumah sakit yang siang-malam mengisi penciumannya.

Namun bagaimana? Uang dari teman kerja Gani sudah sangat menipis perkara terpakai kebutuhan sehari-hari, sementara tagihan biaya rumah sakit makin dekat menanti, bagaimana bisa Sena berseri-seri disituasi yang sebegini susah?

Walaupun Gani mungkin berhasil tertipu dengan selengkung senyum pura-pura tadi. Jauh di dalam hati, Sena akui, sisa waktu empat hari melemparnya pada titik frustrasi. Bukan hanya tidak tahu harus berbuat apa, Sena bahkan tidak sanggup mencegah matanya yang perlahan redup kehilangan binar mentari. Atau menghentikan ujung-ujung bibir mungilnya yang tertarik gravitasi sedih.

Masalah benar-benar seperti labirin yang tak menyediakan jalan melarikan diri.

Di samping hospital bed, Sena menghela panjang seraya menatap Gani lamat-lamat. Kakaknya tampak sangat damai dalam pejaman mata. Menikmati tidur cepat yang sudah ia mulai selepas isya tadi—Gani memang mau banyak-banyak istirahat supaya tidak sampai drop sehingga izin pulangnya harus ditunda lebih lama.

Sena mengusap dahi Gani, pelan-pelan menyingkirkan helaian rambut kakaknya yang jatuh sampai melewati alis. Tuhan, sejujurnya Sena sangat butuh seseorang untuk berbagi keluh kesah. Dan laki-laki penyayang itu mungkin adalah seseorang yang paling tepat. Tapi Sena mana tega, atau lebih tepatnya ia merasa tidak pantas untuk merengek lelah sementara semua yang terjadi tidak lain adalah kesalahannya sendiri.

Sena bangkit dari kursi lantas pergi keluar. Satu telapak tangannya sibuk mengelap sudut mata yang basah. Pipi bagian dalam ia gigit untuk menahan suara isak agar tidak sampai pecah. Sungguh, Sena benci harus secengeng ini. Memalukan untuk berkaca pada tekad menjadi gadis kuat yang ia buat sendiri beberapa waktu lalu. Tapi, layaknya kata mereka, ‘Seseorang yang tak pernah bisa dibohongi adalah diri sendiri.’ Sena juga tidak bisa mengelak tentang dirinya yang hampir putus asa sekarang. Rasanya semua sudah kelewat melelahkan bagi gadis seusianya.

Hidung Sena berair, gadis itu merogoh saku kemeja seragam yang belum sempat ia ganti—berharap menemukan tisseu disana. Tapi karena memang tidak pernah menyimpan tisseu, yang muncul malah secarik kertas dengan lipatan rapi. Bukan benda mengejutkan. Toh hampir setiap hari Sena dapat surat semacam itu dari Dika. Biasanya, akan langsung ia kembalikan sambil marah-marah, nggak jarang pula ungkapan hati Dika harus berakhir di tempat sampah karena sifat super teganya. Tapi tidak untuk yang satu itu. Sore tadi, bahkan Sena sendiri yang memintanya dari Dika. Walaupun jelas bukan karena mulai suka. Bukan juga merasa kehilangan sebab pagi tadi Sena tidak menemukan surat penggemar tersebut di lokernya. Sekedar demi keselamatan hati Alda. Tidak lebih tidak kurang.

Berusaha mengalihkan pikiran sejenak—agar sisi cengengnya juga bisa reda—Sena putuskan membuka surat dari Dika. Kemudian, mulai dibaca.

Seperti hujan yang mencurah tanpa pernah minta dibalas hadiah.

Yang saya tahu hanya mencinta.

Setelah itu sudah.

Saya tak lagi minta apa-apa.

Jadi tetaplah disana, dan tersenyumlah.

Biar saya bisa nikmati bahagia, meski searah.

Ada lukisan tangan mengisi ruang kosong di pojok kanan bawah. Dalam surat-surat sebelumnya, Sena tak pernah pedulikan. Tapi, arsiran potret gadis berambut sebahu yang tengah tersenyum cerah bersama seorang laki-laki bergitar disampingnya itu, berhasil mengunci pandangan Sena sesaat. Sebelum kemudian pikirannya tiba-tiba terbang lima ratus meter ke utara rumah sakit. Teringat kalau ada pasar malam yang masih digelar disana.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang