19 - Sepuluh Mei

6.5K 1K 132
                                    

Malam-malam begini biasanya Sena paling malas pergi ke warung. Bukan masalah harus jalan cukup jauh atau merinding karena kata orang-orang pohon nangka dekat rumah Pak RT ada penunggunya. Alasan utama kenapa Sena malas justru soal sekumpulan berandal yang hobi nongkrong sekedar buat minum kopi sambil jajan kacang. Sena sangat tidak suka dengan cara mereka berceletuk usil juga bersiul-siul genit. Untung saja Pak Mun—pemilik warung, selalu pengertian, kadang ia bahkan sampai mengacung-acungkan sapu ke muka siapapun yang keterlaluan menggodai Sena.

Di jam yang hampir menginjak 20:08 malam ini, mau tak mau Sena harus kesampingkan malasnya perkara mulut tiba-tiba ingin mengunyah permen karet Yosan. Stok di warung Pak Mun tinggal satu renteng, rasa jeruk kesukaan, jadi sekalian saja Sena beli semua. Jaga-jaga siapa tahu besok atau lusa dirinya masih ingin senam mulut ditemani permen lentur yang tidak boleh ditelan tersebut.

Lima meter sebelum menginjak halaman rumah, Sena mengernyit heran mendapati kontrakannya gelap gulita sedangkan rumah tetangga lain lampunya semua menyala. Teringat baru seminggu lalu ia bayar uang listrik dan tadi pagi Gani bilang ia akan menginap di kost-an Adji sehingga tidak mungkin kakaknya lah yang mematikan penerangan—lagipula untuk apa juga?— kekhawatiran Sena terpancing otomatis. Gadis itu semakin panik menyadari pintu depan dalam keadaan menjeblak lebar dan tak lagi terkunci rapat seperti sebelum ia tinggal.

“Siapa di dalam?” dengan meraba-raba tembok Sena masuk takut-takut. Bagaimana kalau ada maling atau perampok? Apakah dirinya harus teriak atau cepat-cepat kabur umpama betulan ada orang-orang jahat? Tapi, memangnya berharap bisa menggondol apa para penjahat itu dari sebuah kontrakan kecil yang perabotannya bahkan hampir habis dijual? Terlalu banyak hal memenuhi pikiran Sena sampai tiba-tiba seorang anak kecil muncul membawa kue yang ditancapi banyak lilin dari arah dapur. Selangkah Sena mundur, terkejut saat sekitar mendadak terang oleh cahaya lampu plus ramai karena seruan selamat ulang tahun dari Gani, Adji, Ratih dan Pram yang entah sejak kapan ada di dalam rumah.

Sekarang 10 Mei? Lilin-lilin sudah menanti ditiup dan Sena masih sibuk bertanya-tanya. Tapi serius, ia betulan lupa tanggal. Betulan lupa kalau hari ini usianya resmi bertambah setahun. Suara Gani yang mengingatkan agar berdoa sebelum meniup lilin menyudahi keterbengongan Sena. Semua kompak bersorak setelah nyala api di sumbu-sumbu lilin berhasil Sena padamkan.

“Langsung potong kue, Sen!” kata Adji bersemangat. Tidak sabar untuk dengar pendapat Sena tentang kue yang seharian ini dibuatnya bersama Gani sampai-sampai harus mengorbankan kelas padat masing-masing. “Bikin adonannya dibantu Ibu kost-nya Adji kok. Jadi rasa dijamin aman.” Tambah Gani sedikit meringis. Pikir Gani, Sena pasti ragu apakah kue dihadapannya bisa dimakan atau tidak gara-gara lihat bentuknya yang agak berantakan.

Padahal sebenarnya, perhatian Sena hanya sedang terpusat pada bocah laki-laki yang masih memegangi kue ulang tahun didepannya. Wajah dengan sebentuk senyum canggung itu terlihat tak begitu asing. Rasanya seperti sudah pernah bertemu sebelum ini. Tapi dimana? Sena terus berusaha mengingat-ingat.

“Mawar merah. Cantik dan berani. Seperti Kakak.” Kerut-kerut bingung kontan lenyap dari kening Sena setelah si bocah laki-laki buka bibir mengucapkan perumpamaan tersebut. Toko bunga! Ah iya, benar! Sena ingat sekarang. Dia itu yang pernah beli setangkai bunga Mawar merah dan minta dibuatkan secarik note kecil berisi kata maaf saat Sena masih kerja di toko bunga Bu Ani. Pembeli kecil paling aneh sebab sehabis membayar ia malah sengaja meninggalkan bunganya di meja kasir bersama sebungkus paracetamol.

Sena mengangkat telunjuknya sebatas hidung. “Kamu...?”

“Namanya Riski, adikku. ” Ratih menyahut membuat sahabatnya yang baru akan menebak otomatis menoleh menunjukkan ekspresi setengah tak percaya. “Ngomong-ngomong, maaf ya Sen, aku, Riski sama Pram nggak bawakan kamu kado. Tadi kesini cuma mau pinjam buku soalnya. Eh, nggak tahunya ada Mas Gani sama Mas Adji lagi sibuk siapin kejutan. Ya sudah deh kami ikut bantu sekalian.” Sambung Ratih kemudian. Siapa tahu Sena panasaran soal bagaimana dirinya, Pram dan Riski bisa hadir meski tak ada undangan yang disebar.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang