27 - Caranya Menghujankan Cinta

9.1K 1K 48
                                    

Tahu tidak Senja...?

Duniaku hanya ladang kering penuh kerinduan, setelah kamu hilang tenggelam.

“Sedang mikirin apa?”

Keingintahuan Dika mengganggu keasyikan Sena melamun sembari menatapi kalimat yang ia coret asal di halaman terakhir catatan. Dengan sorot jengah khasnya, Sena melirik Dika. “Kenapa aku harus kasih tahu?” ia membalas sinis.

Jam kosong membuat suasana kelas menjadi ramai. Tawa Dika yang pelan pun hanya terdengar samar. “Ya soalnya saya ingin tahu.” Paksaan itu, Sena jelas malas menggubris. Sikapnya yang abai seolah mewakili dua kata, “Masa bodoh!”

“Harus ya, kamu siksa diri sendiri dengan terus rindu sama Senja yang sudah tenggelam?” cara Sena menutup buku buru-buru terlihat sangat lucu bagi Dika, apalagi saat mata bulat gadis itu melotot kesal memarahi Dika karena lancang mengintip puisi singkatnya. Tapi daripada tertawa gemas, Dika lebih memilih meneruskan bicara. “Padahal kalau diberi izin, saya akan bawakan hujan kenangan tak berkesudahan supaya duniamu nggak jadi ladang kering lagi.”

Mata teduh Dika tampak sendu penuh harap. Melihatnya, kekesalan Sena tersapu lenyap. Omelan-omelan di ujung lidah tidak jadi terucap. Gadis itu putuskan kembali meluruskan arah hadap. Entah kenapa malah gugup tanpa sebab.

Dika menghela napas lambat. Jatuh cinta pada orang yang setia memang sulit. Seberat apapun kemarau yang datang, hatinya kuat bertahan, susah dialihkan. Sena contoh nyatanya. Sekalipun seluruh dunianya kering, si penikmat senja tak begitu saja berubah jadi pluviophile. Memang berat, tapi Dika tersenyum ikhlas. Sena gadis hebat. Dan itu artinya ia juga harus berjuang lebih kuat. Bukan berusaha memaksa keadaan, tapi berusaha menjadi laki-laki yang lebih hebat supaya pantas.

💧💧💧💧

Dok... Dok... Dok...

Ulah ketua kelas memukul papan kayu dengan penggaris yang ia bawa menghentikan kasak-kusuk ribut yang ada. Siswa-siswi menjeda kesibukan mereka membereskan alat tulis karena bel pulang memang baru saja berbunyi.

“Jangan pulang dulu teman-teman! Minta perhatiannya sebentar!” kata Raden si ketua kelas. Walaupun banyak yang mengeluh, akhirnya semua duduk kembali di kursi masing-masing.

“Aku mau umumin hasil rapat ketua kelas tadi. Jadi, buat menyambut hari ibu besok, anak OSIS dibantu pihak sekolah mau adain acara. Semacam cuci kaki ibu berjamaah gitu lah. Jadi besok, kalian ajak ibu masing-masing—“

Krieett... bunyi gesekan kaki-kaki kursi dengan ubin mengalihkan perhatian semua orang. Pengumuman dari Raden pun harus terpotong karena Sena tiba-tiba berdiri dan berjalan cepat keluar kelas.

“Kenapa tuh si Sena?”

“Ish! Nggak sopan banget main pergi-pergi aja!”

“Kok Sena tiba-tiba kesel gitu sih?”

Pertasnyaan-pertanyaan heran itu silih berganti mampir ke pendengaran Ratih. Walaupun bisa menjawab kebingungan teman-teman sekelasnya, bibir Ratih tetap rapat dan tenang tampak tak berniat bicara apa-apa. Gadis itu hanya menoleh pada Dika. Ternyata sama, Dika juga sekedar diam. Sikap yang begitu memang terkesan bukan Dika sekali. Entahlah kenapa, tapi Ratih yakin Dika tahu betul Sena sedih karena pembahasan tentang ibu. Dan Ratih yakin Dika tidak akan membiarkan kesedihan itu melingkupi Sena terlalu lama.

💧💧💧💧

    Lapangan sekolah ramai sekali pagi ini. Ratusan kursi plastik yang disewa pihak sekolah berjejer rapi memenuhi seluruh penjuru. Pastinya itu hasil kerja keras para anggota OSIS yang tidak pulang sejak kemarin demi mempersiapkan acara penyambutan hari ibu ini. Sementara itu, halaman depan tampak begitu ramai dan dialihfungsikan sebagai lahan parkir untuk menampung kendaraan para ibu. Sebentar lagi acara cuci kaki berjamaah memang sudah akan segera dimulai.

Berbeda dengan diluar, suasana kelas-kelas begitu sepi. Dan Sena yang hari ini terpaksa sekolah karena tidak ingin ditanya aneh-aneh oleh Gani kalau sampai bolos tanpa alasan, memilih mengasingkan diri disana. Kepalanya diletakkan di meja. Terasa berat karena penuh dengan pertanyaan bagaimana orang yang sudah tidak punya ibu sepertinya bisa merayakan tanggal 22 Desember ini seperti yang lain?

“Sena?”

Panggilan Raden memaksa Sena menegakkan punggung. Entah sejak kapan laki-laki itu masuk ke dalam kelas. Sena sendiri agak kaget melihatnya tiba-tiba sudah berdiri di samping meja.

“Kenapa masih disini? Disebelah kursi ibuku, ada yang nunggu buat dicuci kakinya sama kamu.” Kata Raden. Dan Sena langsung membeo bingung.

Tapi Raden sama sekali tidak mau menjelaskan, ia malah memaksa Sena cepat-cepat berdiri mengikuti langkahnya karena suara penuh semangat milik MC acara yang baru saja memberi aba-aba mulai sampai ke dalam kelas karena bantuan michrophone.

Sebelum meloncat dari ubin koridor dan masuk ke area lapangan, Raden berhenti untuk menyerahkan secarik lipatan kertas kecil yang baru ia ambil dari saku kemeja. Tanpa banyak tanya, Sena langsung buka saja kertas tersebut. Isinya ternyata hanya satu rangkai kalimat: Anggap saja ibu sendiri. Dugaan paling kuat, semua ini adalah rencana Dika. Tapi, Sena jadi tidak yakin sendiri karena gaya tulisan tangan di surat kecil itu sama sekali bukan gaya tulisan si Alien pengundang hujan.

“Sudah baca, kan? Ayo cepat, Sen!” Raden melangkah terburu. Dan seperti tadi, Sena langsung mengikuti dengan langkah-langkahnya yang penuh bingung.

Sena masih belum dapat memahami apapun saat ia sudah berjongkok dihadapan wanita berjilbab cokelat muda yang tengah tersenyum padanya. Gadis itu tampak membalas canggung, ia mau memaksa Raden  menjelaskan sebetulnya, tapi tidak jadi karena sungkan untuk merusak momen si ketua kelas dengan ibunya.

“Sudah baca surat dari ibu?”
Pertanyaan itu membuat Sena mendongak seketika. “Ibu yang tulis ini?”

“Maaf ya tulisannya jelek. Tapi semoga kamu masih bisa baca...”

Kening Sena semakin mengernyit sekarang. “Tapi, ibu ini...”

“Tadi habis subuh, Kaka sudah cuci kaki kiri ibu. Tapi yang kanan dia biarkan.” Rohmah menoleh ke arah kanan, dan Sena mengikuti arah pandangan wanita itu. Ada jarak tiga kursi yang memisahkan tempat duduk Rohmah dengan tempat duduk ibu kantin penjual gado-gado yang Sena tahu memang merupakan wanita yang tidak dikaruniai seorang anak pun sampai sekarang. Ibu kantin tampak begitu bahagia karena kakinya sedang dicuci Dika.

"Katanya yang kanan bakalan dicuci malaikat." sambung Rohmah. Sedangkan mata Sena belum teralihkan dari Dika. Hanya ia yang tahu bagaimana sekitarnya seakan bergerak lambat saat ia mengamati laki-laki itu.

Entah berapa lama Sena hanyut dalam lamunan. Gadis itu baru terbangun ketika rambutnya mendapat elusan lembut dari Ibu Dika. Menatap lekat wajah Rohmah membuat Sena sadar ada beberapa hal yang sangat mirip di wajah wanita itu dengan Dika. Mata cokelat, juga cara senyum mereka benar-benar sama. Teduh dan menghangatkan. Membuat hati Sena berdesir sejuk sampai matanya tampak berkaca-kaca.

Rohmah melepas alas kaki kanan kemudian memasukkan kakinya itu ke dalam ember berisi air hangat yang memang sudah disediakan. Tangannya turun dari rambut menuju pipi Sena. dan usapannya terasa kian melembut. “Anggap saja ibu sendiri ya, Nak...” ujarnya. Dan tanpa aba-aba, sebulir air mata jatuh dari pelupuk gadis berambut sebahu yang baru saja mengangguk kecil itu.

💧Lovakarta💧

Ayii: "Anggap saja ibu sendiri..." entah kenapa terkesan ambigu😂

Btw, chapter setelah ini sudah ending💙

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang