19 - Sebab Pahit Adalah Penyeimbang Rasa

8.7K 1K 6
                                    

Bunga bingung menentukan reaksi untuk menanggapi senyuman yang disunggingkan kepadanya oleh seorang laki-laki berkemeja rapi. Genap dua minggu ia sengaja tidak masuk sekolah—menenangkan diri dengan cara menghindari bertemu dengan pemilik sepasang bola mata cokelat teduh itu.

Dan sekarang, orang yang sukses membuat dunia Bunga jungkir balik sudah berdiri tepat di hadapannya. Jarak mereka terpaut satu lengan saja. Hanya Bunga yang tahu bagaimana keramaian pesta di sekelilingnya seakan mendadak senyap ketika Dika mengulurkan tangan—memberikan kado—seraya mengucapkan selamat ulang tahun.

“Seumpama kedatangan saya berpotensi merusak hari bahagiamu ini, kamu bisa kok kasih saja saya izin buat pulang sekarang?” Dika bersuara lirih. Melihat Bunga terus diam seperti itu membuatnya merasa tidak enak.

Hampir saja uluran tangan Dika ia tarik kembali, tapi Bunga lebih cepat meraih kotak persegi berlapis kertas kado warna-warni dari tangan itu. “Makasih sudah mau datang. Dan maaf karena aku nggak akan izinin orang yang baru datang langsung pulang gitu aja.” Akhirnya Bunga memutuskan untuk menarik sudut-sudut bibir ke arah atas.

“Kalau nanti kamu ada senggang bisa kita bicara?”

Permintaan Dika tiba-tiba saja membuat saat dimana laki-laki itu pertama kali datang ke rumahnya terputar ulang di benak Bunga. Dengan diselingi potongan adegan koridor antara Dika dan Sena pula. Teringat lagi pada dua hal yang mati-matian sudah berusaha ia lupakan tersebut membuat rongga dada Bunga bergemuruh ngilu. Ia bisa menebak apa yang ingin Dika bicarakan: Maaf untuk ini, maaf untuk itu, dan maaf untuk semuanya. Bunga pun cukup yakin dengan tebakannya.

“Dik, kita bisa bicara sebanyak mungkin. Tapi bicara santai saja. Dan bukan membicarakan semua yang lagi ingin kamu bicarakan. Jangan sekarang... Kamu nggak ingin merusak suasana hati gadis yang lagi ulang tahun ini, kan?” balas Bunga berusaha mempertahankan senyum.

Sebab Bunga sudah bilang begitu, Dika hanya mengangguk menerima. “Saya mengerti. Kamu pasti males banget dengar saya ngomong.”

“Sebetulnya nggak begitu juga... waktunya saja yang kurang—“ seketika Bunga berhenti bicara karena merasakan salah satu tangan Dika menyentuh bahunya. Hangat.

“Nggak apa-apa. Lagian, saya sudah antisipasi, kok. Yang mau saya sampaikan ada di dalam kotak kado itu.” dagu Dika bergerak kecil menunjuk benda yang baru ia sebut. “Dibuka saja sesempat kamu...”

💧💧💧💧

Empat orang gadis masuk bersama-sama ke halaman samping rumah Bunga yang sudah disulap sedemikian rupa menjadi tampat mengagumkan untuk pesta di malam penuh bintang ini. Datang sedikit terlambat—saat pesta hampir dimulai—membuat keempatnya menjadi pusat perhatian sekarang. Orang-orang memandangi dari atas sampai bawah. Terpanah. Sebagian bertanya-tanya berapa banyak uang yang harus dihabiskan untuk tampil seberkilau empat gadis populer itu. Harusnya Bunga yang jadi ratu pesta malam ini. Tapi Eva, Sena, Sarah, dan Tika cantiknya bukan main sampai bisa menyaingi sang pemilik pesta.

“Ck! Pada lebay banget, sih!” gerutu Sena. Agaknya merasa tidak nyaman mendengar siulan-siulan menggoda juga kasak-kusuk komentar yang sebagian memuji dan sebagian lain terdengar sinis.

Eva tergelak kecil sambil memainkan ujung rambut. “Well, banyak orang norak yang hadir ke pesta ini.”

Sarah dan Tika berbaik hati mau menyampaikan kado dari Sena dan Eva pada Bunga. Dua gadis itu memang sengaja tidak menghampiri Bunga langsung untuk menyelamatinya dan memberikan kado. Eva dengan alasan malas bertemu si manja yang lebih menguasai waktu mamanya. Sementara Sena dengan alasan mau menemani Eva. Padahal sebetulnya ia hanya tidak ingin suasana hati yang sudah susah payah ia perbaiki jadi jelek lagi karena harus mendapat tatapan tidak suka dari mata Bunga. Sena yakin penggemar garis keras Prandika Jawahari yang satu itu sudah dengar tentang aksi gila Dika, atau mungkin... malah sudah melihatnya langsung waktu itu.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang