4 - Kuat, Mulai Hari Ini!

6.4K 957 66
                                    

Terkadang, kebersamaan justru membutakan. Waktu-waktu yang ditempuh dengan leluasa saling memandang terkesan menjamin semua akan bertahan sama. Saling menggengam membuat dunia tampak seperti ladang bahagia. Bebas saling bertukar kata kemudian meredam fakta kalau setiap masa ada batasnya.

Padahal, kebersamaan sebetulnya ujian. Tempat dimana manis hanya ada di awalan. Fase yang semakin jauh semakin banyak halang. Penuh jebakan dan menempatkan perasaan aman sebagai hal yang bersifat melemahkan.

Sebab, kebanyakan... terlalu yakin jika tak ada yang perlu dikhawatirkan perlahan mengurangi kemauan saling menjaga. Semakin jauh banyak hal berubah dan membuat hubungan lemah. Abai pun mengantarkan ke titik lelah. Sampai puncaknya, kehilangan datang sebagai karma.

"Kamu masih beruntung, karena nggak sampai kehilangan kebersamaanmu sama Gani."

Kalimat Adji menyentil telinga Sena. Dan gadis yang sama sekali tidak merubah posisi duduk sejak bangun tidur setengah jam lalu itu tak menjawab. Sibuk membisu dan menyembunyikan wajah dalam tundukan kepala. Memikirkan marah sarat egoisnya yang membuat Gani sampai celaka, sekarang Sena ditenggelamkan rasa bersalah.

Bisa mengerti, Adji beralih membuka katung plastik hitam di sebelahnya. Sejurus kemudian, sebungkus nasi pecel ia letakkan ke pangkuan Sena. "Maaf kalau kemarin Mas Adji kasar. Mas kebawa panik. Jadi nggak bisa ngontrol emosi." Katanya sedikit berbisik.

"Seumpama setelah ditampar aku sadar diri dan nggak malah nyiptain situasi seolah Kak Gani yang salah tentang semuanya. Dia pasti nggak akan ngalamin ini ..." lirih Sena. Lalu mulai terisak. Membuat kertas pembungkus nasi kejatuhan air mata. Cetakan jejak-jejak minyak yang sudah ada sekarang tampak bertambah basah.

"Dalam hidup selalu ada siang dan malam." Ujar Adji menimpali. Telunjuknya bergerak mendorong posisi kacamata yang sedikit merosot. "Ada perubahan yang nggak bisa dihindari karena memang sudah ditakdirkan. Bagaimanapun kamu nyaman dalam siang, malam akan tetap datang. Bikin semuanya berubah dalam sekejap. Kadang kamu belum siap. Tapi karena waktu nggak akan pernah mau disuruh menunggu, satu-satunya pilihan, ya kamu harus membiasakan diri dengan semua perubahan yang ada."

Laki-laki itu menatap Sena sesaat sembari menghela lambat. "Dan kalau 'perubahan' itu sudah datang, seberapa suka dengan es sirup, mau nggak mau kamu harus beralih ke teh hangat. Soalnya udara siang dan udara malam berbeda 180 derajat. Kamu sendiri yang akan sakit kalau tetap memaksa." Adji menjeda bicara untuk membuka bungkus nasi pecel yang belum juga Sena sentuh, sekalian menyodorkan minuman hangat dalam plastik transparan. Ada bonus satu sedotan merah supaya lebih mudah untuk meminumnya. "Paling nggak, sekarang kamu sudah belajar soal itu. Ya 'kan?"

Tangan kanan Sena bergerak meraih teh hangat dari Adji. Diminum perlahan sambil memaknai setiap rasa, aroma dan sensasi hangatnya. Gadis itu menangis lagi. ternyata selama ini memang dirinya sendiri-lah yang salah. Hidup di Jakarta adalah siang yang sudah berlalu. Dan di kota Jogjakarta ini, malam datang sebagai fase baru. Memaksa semuanya tetap berjalan sama dalam keadaan yang tak lagi sama hanya akan membawa kacau dan masalah.

Tidak mau kepergok terbawa suasana sampai ingin ikut menangis, Adji merebut kembali teh ditangan Sena lalu ditukar dengan sendok. Sambil terkekeh Adji sengaja meraup wajah Sena sehingga telapak tangannya menyapu semua air mata gadis itu. "Nanti pecelnya keasinan kalau ditambahin air laut." Ledeknya. Bikin Sena nggak tahan untuk nggak ikut terkekeh.

Sena mulai makan. Tampak lahap karena sejak kemarin siang ia memang sama sekali belum mengisi perut. Adji mengamatinya sambil tersenyum lega. Setelah semua ini, Adji yakin hubungan Gani dan Sena akan jadi jauh lebih baik. "Gani mungkin baru siuman beberapa jam lagi. Jadi habis ini Mas antar kamu pulang dulu. Bersih-bersih sekalian ambil beberapa keperluan mungkin?"

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang