15 - Kompetisi Patah Hati

7.1K 819 31
                                    

Petugas perpustakaan bernama Bu Endang mengangkat setumpuk buku paket matematika dari bawah meja. Setelah memastikan jumlahnya pas sepuluh buah, wanita itu beralih pada Alda untuk memberitahu kemana buku-buku tersebut harus diantar. “Ke kelas dua IPA4. Tolong, ya...”

Gerak cekatan dua tangan Alda refleks terhenti padahal ujung-ujung jemarinya baru menyentuh sampul buku. Alda mengesah pelan. Antusiasmenya untuk mengambil alih tugas Bu Endang tiba-tiba saja susut drastis. Bukan. Bukan karena ia mendadak malas sehabis melihat jumlah buku paket yang merupakan pesanan Pak Subeki sejak pagi tadi tersebut, toh, memang Alda sendiri yang menawarkan bantuan agar Bu Endang yang belum sempat mengisi perut bisa pergi ke kantin.

Tapi, dua IPA4 adalah ruang kelas Dika. Juga seorang gadis yang semakin tidak ia sukai setelah kejadian ribut-ribut di toko kue beberapa waktu lalu. Disana, ada kemungkinan mata Alda akan menangkap dua kakak kelasnya itu sedang duduk bersebelahan, berdua—sebagaimana mestinya teman sebangku. Dan seberapapun ingin dielak, Alda tahu sebersit perih pasti menyerang dirinya hanya karena hal sekecil itu.

“Da? Kok ngelamun?” Bu Endang menegur. Merasa aneh melihat Alda masih diam ditempat. “Istirahatnya tinggal sepuluh menit lagi loh...”

Diingatkan begitu, mau tidak mau Alda lekas bergerak. “Iya, ini saya antar. Permisi Bu Endang...” pamitnya sebelum keluar dari perpustakaan. Akhirnya Alda tetap pergi juga sebab tidak enak untuk membatalkan bantuan.

Dika atau Sena. Mengenai kata ‘atau’ dalam kemungkinan kedua, Alda harap ia hanya bertemu salah satu dari mereka. Mas Dika... Dia saja...

💧💧💧💧

“Rat, besok bawa pastel keringnya banyakin ya? Lagi laku banget. Tadi aja banyak yang kehabisan.” Kata Sena di sela-sela langkah ringannya bersama Ratih. Isi nampan dagangan yang hari ini habis laris manis bikin gadis itu bisa sedikit riang dan sejenak membuatnya lupa kalau ini adalah minus dua hari sebelum tagihan biaya rumah sakit benar-benar harus ia hadapi.

“Ah siap! Kamu jualannya makin rame ya? Seneng banget deh aku dibantu terus sama kamu. Makasih ya, Sena!” Ratih membalas sambil memamerkan senyum pepsodent. Gingsul manisnya yang biasa tersembunyi kelihatan sangat jelas, seakan memang bermaksud dipamerkan. Tapi tetap saja, senyum Ratih masih kalah lebar bila dibanding dengan cengiran Sena.

Mading sudah terlewati, ruang kelas dua IPA4 tinggal sepuluh meter lagi di depan sana. Sena menyerahkan nampan di tangannya pada Ratih, sekalian juga memberikan uang hasil jualan yang sedari tadi ia amankan dalam saku kemeja seragam. Dan masih sama seperti seminggu belakang, Ratih hanya mau terima separuh, sedang separuh lagi ia suruh Sena simpan.

Tidak tahu sudah berapa kali Sena coba menolak kebaikan Ratih itu. Tapi yang jelas, ujung-ujungnya,  kalimat “Buat tambah-tambah uang saku kamu, Na.” yang selalu Ratih katakan, akan berhasil memaksa Sena menerima. Mungkin, cuma Sena yang tahu seberapa sungkan untuk jadi seorang sahabat yang selalu saja merepotkan. Sena pun tak suka begini sebetulnya. Tapi di kondisi sekarang, akan lebih munafik untuk bilang dirinya tidak butuh.

Semoga kamu sekeluarga sehat selalu, Rat. Semoga rejekimu ditambah dan diperlancar. Semoga aku, sahabatmu yang nggak tahu diri ini, bisa punya kesempatan balas budi... begitu doa Sena. Diam-diam, namun tidak pernah lupa.

Ratih sudah melenggang masuk ke dalam kelas, duduk di bangku dan menyiapkan buku juga alat tulis karena sebentar lagi, setelah bel tanda berakhirnya istirahat bunyi, pelajaran matematika-nya Pak Subeki akan dimulai. Dan Sena mungkin sedang melakukan hal yang sama jika saja Dika tidak mendadak muncul dan dengan isengnya langsung menghadang tepat ditengah-tengah pintu.
“Sebutkan kata sandinya?” Sengaja laki-laki itu ulurkan dua lengan kesamping kanan dan kiri untuk menutup celah.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang