14(b) - Perlahan, Waktu Membantu

6K 822 33
                                    

Part soundtrack: Risalah Hati by Dewa 19

💧💧💧💧

18:30, di Yogyakarta.

Atmosfer semarak memenuhi tempat yang baru Dika dan Sena datangi. Lampu kerlap-kerlip menghadirkan kesan menyala, seakan menghidupkan malam. Riuh rendah obrolan orang-orang yang berbaur tawa begitu hangat. Hingga menggerus hawa dingin di lapangan luas dengan sepasang beringin kembar pada tengah-tengahnya itu. Aroma khas jagung bakar pun tidak ketinggalan mengisi udara, membuat penciuman tak sekosong biasa.

“Belum pernah kesini?” tanya Dika pada gadis di sampingnya yang tengah sibuk memendarkan pandang. Binar-binar di kedua mata Sena menggambarkan betapa ia terhipnotis oleh suasana ramai nan syahdu khas alun-alun kidul.

Menatap Dika sekilas, Sena menggeleng sebagai jawaban. Sebelumnya, ia memang belum pernah mengunjungi halaman belakang Keraton Yogyakarta yang menurut cerita, dahulu berfungsi sebagai sasana latihan ketangkasan untuk para prajurit pengabdi raja. Waktu masih tinggal di Jakarta, Sena cukup sering sih liburan ke Yogyakarta, tapi ya begitu, karena lebih suka menikmati beragam fasilitas di hotel, paling-paling ia hanya ikut waktu belanja ke Malioboro saja.

Okelah. Sena harus akui kalau ia agak menyesal sekarang. Ternyata objek wisata murah meriah ini bahkan jauh lebih mengesankan dari cerita Mama-Papanya.

“Jadi ini yang pertama kali?” Dika membeo lagi, setengah tidak percaya. Masa sih? Padahal Alkid kan sudah jadi salah satu ikon utamanya kota gudeg? Tapi yah, terlepas dari itu, Dika senang bukan main karena dengan begini, Sena jadi gadis pertama yang ia ajak ke Alkid dan dirinya pun jadi laki-laki pertama yang menemani Sena mengunjungi salah satu tempat romantis di Yogyakarta ini.

“Hehe, kita jadi kayak kencan pertama nggak sih, Na?” 

Beruntung sepeda tandem dan becak wisata berhias lampu warna-warni yang sedang melintas silih berganti sedang mengalihkan perhatian Sena sekarang. Seumpama tidak, sudah pasti Dika akan diberi hadiah—entah pelototan, omelan atau injakan—karena ulahnya bicara asal. Ya sudahlah. Biarkan dulu Dika tenggelam dalam bahagia kecilnya.

Saat kendaraan-kendaraan bertenaga kayuhan kaki yang ia amati bergerak menjauh, mata Sena teralih pada dua beringin besar lima puluh meter dari posisinya. Seseorang dengan mata tertutup kain tampak kesusahan menentukan langkah disana. Sepertinya ingin lewat diantara celah beringin kembar, tapi yang orang itu lakukan cuma berputar-putar.

Ah iya, Sena tahu permainan itu, Masangin sebutannya, alias masuk diantara dua beringin. Sang Papa yang kasih tahu. Katanya, walaupun kelihatan gampang, buat bisa melewati ringin kurung sebetulnya susah. Apalagi waktu pertama kali coba. Hanya orang-orang berhati bersih saja yang bisa lolos. Begitu seingat Sena.

“Kamu udah pernah coba lewatin beringin kembar itu?” tangan kanan Sena terulur lurus, empat jari lain terlipat sementara jari telunjuk diarahkan ke objek yang ia maksud.

Merasa diajak bicara, Dika berhenti senyum-senyum sendiri. Lantas mengangguk singkat. “Pernah. Satu kali. Sama Pram dan Epeng juga.” katanya.

Sena menoleh antusias. “Terus?”

“Ya kita jalan.”

“Ada yang lolos?”

“Ada. Epeng, Pram, saya juga. Lolos semua.”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang