11 - Bukan Salah Hujan

7K 959 78
                                    

Part Soundtrack: Tak Pernah Ternilai by Last Child

💧💧💧💧

“Sini, biar aku yang kasih buahnya ke Mas Gani ...”

Sejenak, Epeng membalas tatapan Ratih. Gadis itu baru selesai bicara panjang. Mereka ulang pertikaian Alda dengan Sena pakai bibirnya yang sekarang membentuk senyum tipis. Tangan kanan Epeng bergerak, menyodorkan barang yang Ratih minta. “Terima kasih, Rat.” Ujarnya singkat. bingung harus bilang apalagi selain terima kasih.

Setelah mengatakan sama-sama untuk Epeng, juga permisi pada Dika dan Pram, Ratih berdiri dari kursi lalu mengambil langkah-langkah pelan meninggalkan area taman. Tentu bukan buat pulang. Tapi ia tahu ada seseorang yang harus ia cari karena mungkin butuh teman. Sekalian juga mau mengantarkan buah-buahan dalam plastik ke kamar Gani.

Sementara itu, Epeng mengisi tempat yang baru Ratih tinggal. Sekarang, si bangku bercat putih penuh diduduki tiga laki-laki. Sebetulnya, tadi, Ratih juga sempat berpesan agar mereka langsung pulang saja karena Sena sudah pasti akan lebih marah kalau disusul apalagi diajak bicara—terutama sama Dika. Tapi, baik Dika, Pram atau Epeng, sama sekali tidak ada yang berniat untuk segera pergi ke parkiran depan buat menjemput motor masing-masing.

“Yang habis Sena sobek-sobek itu apa, Dik?” tanya Epeng. Berusaha mengakhiri diam yang bikin suasana jadi tidak enak.

Mengikuti arah yang Epeng tunjuk dengan jari, Dika lantas memerosotkan diri dan turun mengambil posisi berjongkok di atas tanah. Satu per satu diambilnya potongan kertas SIM sembari dibersihkan dari debu sebelum dimasukkan ke saku. Habis memastikan tidak ada bagian yang tertinggal, Dika duduk lagi seperti semula.
“Ini izin resmi yang sudah ditanda tangani sama Nana. Kartu ini bikin jatuh cinta saya ke dia jadi legal.” Dika menjelaskan. Sembari menepuk saku kemeja ringan.

“Terus, kalau kartunya sudah nggak berbentuk lagi begitu?” Lagi-lagi Epeng lontarkan kalimat berakhiran tanda tanya.

Menghela napas, Dika menyandarkan punggungnya yang terasa lelah. “Ya sekarang, jatuh cinta saya ilegal lagi.” ia jawab sekenanya saja. Tawa singkat yang ikut keluar tidak bisa menutupi getir dari mata Dika. Epeng melihat sorot sendu itu. Menyadari perih disana. Rasanya, Epeng menyesal sudah tanya.

Pram berhenti bergeming. Sedikit memiringkan tubuh, ia menatap Dika serius. “Uang ngamen sudah kumpul lumayan banyak kan?” belum bisa mengerti kemana arah pembicaraan Pram, Dika hanya mengangguk bingung.

“Besok bawa ke sekolah. Kasih langsung ke Sena. Terus bilang kalau itu semua hasil capekmu ngamen setiap malam.” Sambung Pram. Nadanya kedengaran geram.

“Apa sih, Pram ...” tidak habis pikir, Dika mengalihkan tatapan sambil memejam sejenak.

Ekspresi tidak setuju itu memancing muncul garis-garis keras di wajah Pram. “Dik! Sena harus tahu. Biar dia bisa lebih menghargai kamu dan nggak terus nyalahin kamu buat semua hal!”

Melihat sahabatnya sudah siap menjawab, Pram cepat-cepat menahan dengan memindahkan satu telapaknya ke bahu Dika. “Aku paham. Buatmu, Sena itu anugerah. Karena itu kamu selalu cintai dia tanpa celah. Sampai sebegininya. Tapi semua ini udah keterlaluan. Pengorbanan dan usaha-usahamu bahkan nggak pernah ternilai. Jadi cukup. Jangan terus-terusan tempatin diri sebagai pihak yang kelewat bodoh dengan berjuang sendiri. Soal cinta, egois sesekali itu perlu supaya nggak selalu kamu yang harus terima luka. Ingat Dik, kamu sendiri juga berhak bahagia.”

Duh ... Epeng mengesah dalam batin. Kalau mode bicara kelewat tegas ala Pram sudah keluar, bisa dipastikan bakal ada perang argumen habis ini. Walaupun Dika selalu bicara tanpa menonjolkan urat di dahi atau mengeraskan rahang seperti Pram, tetap saja Epeng benci harus terjebak di situasi yang membuatnya mati kutu sendiri. Ikut berkomentar takut salah, menengahi juga tidak tahu bagaimana. Sial. Tahu begini Epeng langsung ajak Dika dan Pram pulang saja seperti pesan Ratih.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang