7 - Yang Tak Tersadari

16.4K 1.8K 64
                                    

“Hupt! Aku pasti datang sepuluh menit lebih lambat dari penjaga sekolah...” Sena menggerutu sembari menyapukan pandangan. Kakinya tidak berhenti menendang apapun yang ia lewati, entah kerikil, rumput, atau udara kosong.

Berangkat sangat pagi adalah keinginan Sena sendiri. Tapi ketika sampai di sekolah, dan tersadar kalau ia kelewat pagi sampai belum ada seorang murid pun yang lalu lalang, sekarang Sena malah kesal. Setiap kali suasana hatinya buruk, Sena memang sering melakukan hal-hal bodoh.

Gadis itu menguatkan ikatan jaket di pinggang. Uap hangat tampak samar ketika Sena menghembuskan napas perlahan. Dengan telapak tangan Sena menyentuh area mata. Ia sedikit khawatir tentang kantung matanya yang agak membentuk lingkar hitam. Ia tidak perlu cermin untuk menyadari kalau pagi ini dirinya kelihatan seperti panda yang ingin belajar fisika.

Di kelas Sena berteman bunyi perutnya. Sena bersyukur saat ini tidak ada orang di dekatnya—terutama, teman sebangkunya--kalau tidak, ia pasti akan ditertawakan. Sena tidak sarapan, juga, tidak makan semalam. Ia lupa kalau punya cacing-cancing di sistem pencernaannya yang butuh asupan. Sialnya, Sena tahu para pedagang di kantin baru mulai menata dagangan saat jam pertama pelajaran di mulai. Sekolah ini memang punya banyak aturan menjengkelkan—bagi Sena khususnya.

Andai saja makan angin bisa bikin kenyang... Sena meletakkan kepala ke atas meja. Memejamkan mata berharap bisa tertidur sampai bel jam pertama berbunyi. Dengan begitu, ia akan lupa tentang rasa laparnya.

Beberapa teman sekelas Sena—petugas piket—mulai berdatangan. Kegaduhan bersama mereka. Sena mengerang. Bunyi derit meja dan kursi yang digeser sudah cukup mengganggu, cara mereka mengobrol dengan suara keras membuat Sena menyerah. Mana bisa ia tidur kalau sekitarnya ramai!

Sena meletakkan tangan di loker meja, lantas menggebrak kayu tipis tersebut sehingga empat orang lain di kelas menatapnya dengan wajah terkejut. “Ini bukan hutan. Ini ruang kelas. Kalau bicara, pakai volume biasa saja. Bisa?” ia tidak peduli kalau harus disebut murid baru belagu. Masa bodoh! Ada saatnya ia akan disegani. Yang penting, sekarang, keributan mereda.

Kedua tangan Sena masih di loker. Tanpa sengaja, ia menyentuh benda bertekstur keras, bentuknya persegi panjang. Kening Sena berkerut saat mengetahui benda tersebut adalah sebatang cokelat. Itu cokelat mahal. Sena tahu, binar matanya tidak dapat di sembunyikan.

“Jadi aku sudah punya penggemar?” gumamnya sambil meneliti cokelat tersebut.

Insting—perutnya yang lapar—membuat Sena tidak berpikir dua kali untuk membuka bungkus cokelat tersebut dan memakannya. Pipi Sena sedikit berseri sekarang.
Dika melambai pada Pram dan Epeng tepat sebelum masuk kelas. Pagi ini, kebetulan Dika bertemu kedua sahabatnya di area parkir. Yakin betul Pram dan Epeng belum mengerjakan tugas sampai rela berangkat pagi-pagi.

Semangat Dika menebal waktu melihat Sena. Dika penasaran kenapa teman sebangkunya datang pagi-pagi. Tiga hari yang sudah-sudah gadis itu tidak pernah begini. Dan sebenarnya ia lebih tertarik dengan aktivitas Sena sekarang.

“Sedang sarapan?”

Sena tersedak cokelat yang ia telan. Gadis itu terbatuk-batuk sambil melotot pada Dika yang sudah duduk di bangku dan tengah melepas tas selempangnya. Dika seperti biasa langsung tertawa. Sena mengartikan tawa itu sebagai hal menyebalkan. Sangat.

“Berencana membunuhku?!”

“Nggak. Saya rasa saya nggak perlu repot-repot merencanakan pembunuhan...” Dika terkikik saat Sena membuang muka. Lucu melihat Sena tersindir. “Lagian, kamu masih harus di dunia ini. Masih harus izin ke pemilik cokelat itu. Setahuku, dosa kalau makan punya orang tanpa izin?” mata Dika melirik cokelat yang Sena pegang.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang