18 - Mencicipi Luka

8.2K 995 7
                                    

Di pantai sore itu...

Lautnya begitu biru, dan yang kutatapi justru bening matamu.

Deburnya terdengar merdu.
Tapi ombak bukan pemenang andai ada tawamu bersamaku.

Pasirnya lembut dan hangat, mirip senyummu.

Boleh minta sedikit? Untuk saya masukkan ke dalam saku?

Sebagai ganti, biar saya kasih tahu...

Pantainya yang indah, tapi kepada kamu hati saya jatuh.

Laki-laki itu tak melepaskan tatap dari Sena. Dada Dika berdebar-debar melihat bola mata milik teman sebangkunya mengabsen satu per satu kata di atas kertas gambar. Tentang  potret si adam dan si hawa yang duduk terpisah jarak dua pohon kelapa—arsiran di dasar untai puisi—Dika begitu ingin tahu bagaimana kira-kira pendapat Sena?

“Kalau malas cari tempat sampah, taruh saja benda ini di lokermu sendiri!” suara Sena terdengar datar, tapi wajahnya ketus saat melempar kertas di tangan sembarangan. Menghempas usaha-usaha Dika tanpa niat memberi sedikit senyum atau pujian sebagai pernghargaan.

Untuk Dika, respon yang sebetulnya sudah ia duga itu jelas mengecewakan. Tapi laki-laki itu tidak tahu bagaimana cara marah pada cinta pertamanya. Dika mendorong kursi mundur, lalu berjongkok ke bawah meja untuk mengambil surat cinta yang baru terbuang—sengaja dibuang. Ditiupnya butir-butir debu sembari menegakkan punggung, lalu si persegi panjang dimasukkan saku lagi setelah bersih. “Terima kasih sudah mau baca!” serunya, sambil tersenyum kecil—pada diri sendiri karena Sena mana mau peduli.

Sena membuka tasnya, mengeluarkan buku sesuai jadwal jam pelajaran pertama. Tampak tak bersemangat. Bayang-bayang hari yang menyebalkan sudah menghampiri tepat saat ia datang ke kelas dan menemukan Dika sudah duduk tenang di bangkunya. Dan sekarang bayang-bayang itu mulai betulan terjadi. Yang barusan itu contohnya. Yang barusan itu mungkin awalan saja. Sena memang sulit memikirkan hal baik kalau sudah menyangkut Dika.

“Oh, ya, kemarin bagaimana? Tugas kita dapat nilai bagus, nggak?” Dika mulai bicara lagi. Lumayanlah, izin tidak masuknya kemarin sekarang bisa dimanfaatkan sebagai topik untuk bicara dengan Sena.

“Jelas lah! Presentasiku di depan kelas sudah sangat luar biasa, tanpa ada kamu sekalipun sama sekali nggak masalah!” tanpa mau melirik, Sena membanggakan diri sendiri.

“Saya tahu sih sebenernya, kan kamu siswi SMA yang lancar membaca!”

Cara Dika terkekeh menjengkelkan betul bagi Sena. Bagaimana tidak, jelas sekali laki-laki itu baru saja mengejeknya. Padahal Sena tadi bicara sombong tanpa menyinggung kalimat-kalimat yang Dika tulis di kotak sepatu, Sena pikir itu akan membuat Dika mengira dirinya tidak menyadari petunjuk-petunjuk tersebut dan maju presentasi di depan kelas bermodalkan imajinasi sendiri. Tapi ternyata Dika tahu yang sebenarnya. Entah diberitahu siapa. Entah kemampuan apa yang Dika punya sehingga ia seperti bisa begitu mudah menebak dan memprediksi sesuatu.

“Tugasnya udah dinilai. Terus sama Pak Hariono disuruh pajang di rumah. Kerang mutiara buatanmu ada di pojok kelas, tuh!” Sena langsung mengalihkan pembicaraan supaya Dika berhenti tertawa.

Dika memutar leher, melihat ke pojok kelas tempat berbagai alat kebersihan berkumpul. Benar saja. Kotak sepatu yang kemarin ia titipkan pada Pram tergeletak disana. Tertutup rapat. Dika bergerak mengambilnya. Diambil untuk kembali diberikan pada Sena. “Seharusnya sudah ada di atas meja belajarmu dari kemarin?”

“Terima kasih. Tapi aku nggak bisa simpan sampah di dalam rumah!” dengan ujung jari telunjuk Sena mendorong benda di atas mejanya ke arah meja Dika. Sengaja memasang ekspresi jijik, berusaha membuat Dika sadar kebaikannya sama sekali tidak terdengar menarik.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang