13 - Definisi Bertahan

11.1K 1.2K 65
                                    

Meja televisi kosong di ruang tamu. Sudah sejak sebulan lalu begitu sebab bendanya sudah ditukar uang supaya Gani tidak kehilangan bangku. Tanpa mau melewati pintu, Sena melepar tas sekolahnya hingga jatuh di atas meja kayu. Kakaknya masih belum pulang, dikuncinya pintu dari luar sebelum beranjak dari rumah penuh jenuh itu.

Lapar dan lelah sepulang sekolah tak mau dijadikan masalah. Sena berjalan dan terus berjalan tanpa arah. Sudah lumayan lama di Jogja, jiwa petualang si gadis berseragam SMA akhirnya tergugah. Rumah-rumah penduduk di sekitar tampak sederhana, berdiri dengan jarak cukup renggang dengan beberapa pohon buah di dekat terasnya. Sena terus menyusuri jalan tak berlapis aspal di bawah kakinya tanpa berniat singgah.

Siapa yang dikenalnya? Tidak ada. Tapi tak apa, untuk pulang nanti, ia akan bertanya kalau semisal lupa arah. Orang jogja kan ramah-ramah.

Sena tidak tahu pasti berapa waktu yang sudah berlalu. Tahu-tahu, ia sampai di sebuah tempat mirip bukit kecil dengan sebuah pohon asam jawa sebagai peneduh. Sepi sekali. Sena langsung suka tempat ini. Ia duduk di tepi sambil menselonjorkan kaki. Hembusan angin seakan memetik ranting pohon dan menghasilkan gemerisik daun yang terdengar seperti sebuah melodi.

Di bawah bukit itu tidak terlalu menarik. Hanya semak dan ilalang yang tumbuh bahagia tak terusik. Tapi saat mendongakkan kepala, hamparan luas langit jadi pemandangan tercantik. Dan mengamati bagaimana awan-awan di atas sana bergerak begitu anggun, membuat Sena seperti tak merasakan waktu di sekitarnya berdetik.

Gila ya? kenapa orang-orang di sekitar sini mengabaikan pecahan surga ini?! Batinnya. Sedetik kemudian Sena buru-buru berdoa orang-orang tidak akan menemukan tempat penuh ketenangan itu karena kalau ramai semuanya akan berbeda.

Bintang kehidupan bergerak ke ufuk barat. Di setiap geraknya, biru tersaput, dan jingga menyebar perlahan. Wajah laki-laki itu tiba-tiba muncul di benak Sena. Senja milik orang-orang baru saja menyapa, dan gadis itu merindukan Senjanya sendiri.

Merindukan laki-laki yang sekarang menghilang, yah, Sena masih melakukannya. Persetan dengan isi surat elektronik yang beberapa waktu lalu ia terima. Setelah memang butuh usaha yang tak mudah untuk menenangkan diri, bertahan dan memegang janji Senja adalah yang Sena pilih. Sekalian menjadikan penantian ini sebagai alasan untuk tak lagi berpikir bunuh diri. Entah apa yang sebenarnya terjadi, yang Sena tahu sekarang dirinya hanya harus terus mempercayai bahwa Senja pergi untuk kembali.

“Kenapa sih, namamu harus Senja? Kenapa bukan Langit saja?”

“Kenapa kamu harus jadi Senja yang ditakdirkan menghilang dengan sebuah janji kembali? Kenapa kamu nggak bisa jadi yang selalu ada, siang dan malam tetap di tempat yang sama?”

Suara Sena yang lantang terbawa angin. Itu memang yang ia ingin. Siapa tahu bisa sampai ke yang sedang di kangenin.

“Karena jadi yang selalu ada itu nggak enak. Biasanya, yang selalu ada justru nggak dianggap. Setiap saat langit selalu ada, tapi orang-orang lebih banyak menatap ke atas kalau sedang ada fenomena-fenomena semacam senja, fajar, mendung, pelangi, atau gerhana saja, kan? Itu membuktikan kalau terkadang, menghilang sesaat itu perlu supaya bisa tetap jadi hal yang dinantikan dan dirindukan.”

Seseorang yang tiba-tiba menyahut membuat Sena terkesiap. Suaranya benar-benar tidak asing, bahkan, terlalu Sena kenali. Gadis itu memutar leher cepat ke arah kanan—arah yang ia yakini sebagai sumber suara. Laki-laki itu sedang menyenderkan punggung ke batang kokoh pohon asam jawa. Entah konspirasi siapa yang memperbolehkannya sampai di tempat yang ingin Sena miliki sendiri sebagai rahasia ini.

“Jangan bilang kamu ngikutin aku!” Sena berteriak. Kepalanya mulai penuh dengan berbagai hal. Semoga saja yang ia tuduhkan tidak benar-benar terjadi.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang