10 - Sudah Ditemukan!

13.7K 1.7K 150
                                    

Tanah sehabis hujan menyuguhkan aroma menenangkan. Dahan-dahan pohon di pinggir jalan yang masih tampak basah pasti membawa nuansa menyegarkan kalau saja belum tertutup kegelapan. Air gerimis turun begitu tipis memantulkan gemerlap lampu kendaraan. Setiap sudut kota Jogjakarta terlihat indah dan penuh kesederhanaan.

Ban becak berputar menggesek aspal. Seorang pria berumur mengayuhnya sumringah. Sebuah jaket usang menjadi tameng dari dinginnya usaha mencari nafkah. Di kursi penumpang yang berpayung plastik bening, dua remaja duduk bersebelahan. Laki-laki dan perempuan. Namun bukan pasangan yang sedang menikmati keromantisan. Dika dan Sena larut dalam diam.

Tepat saat becak masuk ke sebuah gang perumahan, Dika menengok ke samping, memperhatikan betapa kosongnya sorot mata Sena. Bibir pucat dan tubuhnya yang menggigil membuat Sena terlihat seperti mayat hidup. Sebutan yang mengerikan. Tapi tidak ada perumpamaan lain yang lebih tepat untuk menggambarkan.

"Nanti di rumah, kamu harus mandi air hangat. Ganti baju, minum teh hangat dan tidur. Tadi kita meneduh cukup lama, dan kamu pakai baju basah. Saya rasa flu dan demam sudah mengintai kamu." Laki-laki itu berpesan penuh perhatian. Kata-katanya seakan bisa mengurangi udara dingin di sekitar.

Tapi kepala Sena terlalu penuh tentang Senja. Tak ada tempat tersisa di otaknya untuk menangkap dan memahami perhatian Dika.

Tidak jauh di depan, sebuah rumah besar sudah tampak. Tinggal beberapa meter lagi menghabiskan jarak. Lampu-lampu dengan daya listrik yang besar membuat rumah itu bersinar. Sena langsung turun di depan pagar saat roda becak berhenti berputar.

Pemilik becak setia menunggui Dika yang ikut turun karena masih ingin bicara dengan Sena. "Sebaiknya kamu cepat masuk." Dika balas menatap Sena yang sedang memelototinya.

"Nggak sebelum memastikan kamu benar-benar sudah pergi dan nggak akan menyelinap ke rumahku." Sena maju selangkah. "Aku nggak tahu bagaimana kamu selalu jadi pengacau waktu aku mau—“

"Penyelamat." Dengan cepat Dika memotong. Ia tersenyum hangat. Namun tetap, di mata Sena Dika sama sekali tidak mirip malaikat.

Gadis yang terlihat berantakan itu mengeratkan giginya yang putih kecil-kecil. "Masih menunggu apa? Cepat pergi sana!" bentaknya keras-keras.

"Saya masih ingin dengar sesuatu?"

Langit malam tertawa melihat Sena menghentakkan kaki. Semakin kesini, Sena merasa bakat Dika untuk membuat dirinya kesal semakin terasah saja. "Kalau begitu dengar ini baik-baik..."

Dengan antusias Dika mengangkat sebelah alis. Ia bahkan menjewer kedua telinganya sendiri, menunjukkan pada Sena kalau indera pendengarnya sudah di buka lebar.

"Aku nggak suka kamu. Sangat nggak suka kamu. Lebih dari itu, aku benci kamu. Sangat-sangat benci kamu." Jari telunjuk Sena teracung ke arah wajah Dika. Bicaranya tegas dan penuh penekanan.

Normalnya Dika marah. Balas membentak Sena dan menghakimi gadis itu sebagai manusia tidak tahu terimakasih. Dan cara Dika tertawa senang membuat Sena yakin kalau teman sebangkunya agak tidak normal. Lalu, tiba-tiba Sena ingat bagaimana tadi ia begitu pasrah menangis di pelukan Dika saat bersama-sama meneduh di sebuah warung kecil yang sedang tutup. Sena rasa kekacauan hati membuat dirinya juga sempat tidak normal.

"Terimakasih kembali." Dika mencondongkan tubuhnya dan menepuk rambut Sena yang basah.

Langsung saja Sena menendang kubangan air yang memisahkan kakinya dengan kaki Dika. Saat air menciprat dan sedikit mengenai wajahnya, Dika menarik tangan dari kepala Sena. Dan laki-laki itu tertawa lebih lepas.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang