5 - Yang Bukan Pemeran Utama, Yang Hanya Bisa Mengalah

5.9K 924 21
                                    

Pram mengendurkan tarikan gas saat melihat seorang gadis berkepang satu sedang berjalan seorang diri 50 meter di depannya. Walaupun cuma bisa lihat bagian punggung saja, Pram langsung bisa kenal kalau itu Ratih.

“Aduh, gimana nih ...?” ia menggumam serba bingung.

Masalahnya, Pram tahu betul kalau Ratih pasti mau ke rumah sakit untuk menemui Sena. Sama dengan Pram sendiri. Dan jelas nggak enak kalau Pram harus melewati Ratih begitu saja tanpa menawarkan tumpangan sementara jok belakangnya sedang kosong. Tapi kalau boncengan dengan Ratih, otomatis Pram akan sampai di rumah sakit bersamaan dengan gadis itu. Dan kalau Epeng lihat, Pram khawatir sahabatnya akan berpikir tidak-tidak.

“Huh, harusnya tadi aku sendiri aja yang angkut Epeng, nggak usah nyuruh Dika. Sekarang jadi nggak punya alesan gini!”

Asyik berbingung-bingung sendiri, Pram yang berkendara mindik-mindik tanpa sadar malah sudah berada tepat di samping Ratih. Sialnya lagi, Ratih mendahului menyapa. “Mau ke rumah sakit ya, Pram?” tanyanya. Sekarang Pram benar-benar tertahan.

“Hehe ... iya nih.” Pram meringis. Lalu merapal dalam hati. Tegain Pram! Bilang duluan! Jangan tawarin tebengan!

“Kamu mau ke sana juga, kan? Mau bareng nggak?” sumpah demi apapun Pram nggak tahu kenapa otak dan mulutnya mendadak tidak singkron sehingga ia keceplosan begitu. Ah, tapi ya sudahlah. Sudah terlanjur. Lagipula malam-malam begini memang nggak etis ‘kan kalau meninggalkan Ratih begitu saja.

“Boleh?” Ratih tampak senang. Pram mengangguk sambil balas tersenyum.

Setelah si gadis berbaju batik naik, Pram menarik gas kembali dan Astrea andalan pun mulai melaju. Jalanan ramai seperti biasa. Sama halnya dengan hati Pram yang terasa benar-benar hidup hanya karena hal sesepele bisa duduk diatas motor bersama Ratih—berdua.

Seumpama Epeng nggak punya rasa yang sama ke Ratih, mungkin aku bisa dapat lebih banyak kesempatan buat ngerasain bahagia-bahagia sederhana begini...

Nama Epeng yang tiba-tiba muncul di pikiran membuat sekelebat rasa bersalah seketika menyentil Pram. Kembang senyum di bibirnya perlahan menguncup lalu mati sempurna saat mendadak ia menghentikan motor di sebuah pangkalan ojek. “Aduh, Rat ... aku lupa kalau harus jemput Ibu dulu dari rumah Budhe.” Katanya setelah menoleh kebelakang. Pram meringis sambil menggaruk leher sebagai kamuflase agar kebohongannya tidak tersadari.

“Eh, gitu ... ya-ya udah ndak apa-apa ...” pasrah Ratih. Ada sedikit nada kecewa yang ikut lepas bersama suaranya.

“Maaf sekali lagi.” sesal Pram, lalu membayar seorang tukang ojek yang kebetulan memang ia kenali untuk mengantarkan Ratih. Biarlah hatinya sepi lagi. Tak apa asal persahabatan selalu utuh dan tak rusak perkara urusan hati.

💧💧💧💧

Gani asyik ngobrol dengan Epeng dan Ratih yang baru ia kenal lima belas menit lalu sebagai sahabat adiknya. Walaupun begitu, mata Gani lebih banyak mengawasi dua orang remaja di sisi kiri ranjang. Siapa lagi kalau bukan Sena dan Dika.

Daritadi, mereka berdua tidak banyak suara dan tampak sibuk geser-geser posisi. Setiap kali Dika mendekat, Sena bergerak menjauh. Begitu terus sampai akhirnya Sena membentur meja. Kalau sudah begitu, Sena akan langsung melotot dan mendorong Dika menjauh lalu membenahi posisi seperti awal. Tapi Dika tidak mau menyerah untuk mendekat lagi dan lagi.

“Dika, kamu itu yang pernah datang ke rumah pagi-pagi buat jemput Sena, kan?”

Ulah Gani melontarkan pertanyaan tiba-tiba bikin Dika dan Sena sama-sama terkejut. Ekspresi Sena tampak lucu saat membuang muka menghindari tatapan Gani yang penuh arti. Sementara Dika tetap tenang seperti biasa. “Iya, Mas. Saya.” Akunya langsung.

Gani mengulas senyum. “Kamu suka sama Sena ya, Dik?”

“Kak! Apa sih!” pekikan Sena seketika meledak sedetik setelah mendengar kakaknya bertanya tanpa basa-basi begitu.

“Nggak apa-apa, Na... saya sama sekali nggak keberatan buat jawab kok.” Dika menyahut. Dan gaya bicaranya itu sukses membuat tangan Sena gatal ingin mencakar. Kalau saja nggak ingat sedang di rumah sakit, pasti sudah Sena lakukan. Sedangkan buat Dika sendiri, wajah geregetan Sena adalah hal paling menggemaskan yang bikin ia tidak tahan untuk tidak mengeluarkan kekehan.

“Nggak, Mas. Saya nggak suka sama Adiknya Mas Gani kok.” Jawab Dika kemudian. Sudah kembali membalas tatapan Gani. “Tapi kalau kata ‘suka’ dipertanyaan tadi diganti jadi ‘jatuh hati’, jawabannya juga ikut ganti. Ganti jadi iya ...” ia menyambung. Gani sendiri sedikit terkejut mendengar Dika bisa bicara begitu ringan dan tanpa malu-malu.

Ndak usah kaget, Mas. Dika memang begitu. Versi orang umum, Dika itu unik. Tapi kalau kata Sena, Dika mirip alien. Aneh.” Bisik Epeng. Berbaik hati menjawab keheranan Gani. Yang dibisiki hanya terkikik geli. Sudah mulai bisa mengerti situasi antara Dika dan adiknya.

“Tapi kamu sama Sena pasti nggak pacaran kan, Dik?” Gani bicara lagi, sambil sesekali melirik Sena yang masih cemberut. “Soalnya setahu Mas, Sena masih punya—“

“Assalamualaikum!” seruan dua laki-laki yang tidak sengaja datang bersamaan itu memotong kalimat Gani. Beberapa saat Adji dan Pram saling menatap, tampak sama-sama bingung, tapi kemudian Sena menengahi dengan memperkenalkan mereka satu sama lain.

“Dji, kok balik lagi? Malam ini aku sama Sena saja nggak apa-apa kok. Nggak enak aku ngerepotin kamu terus ...” ujar Gani waktu sahabatnya baru berdiri di sebelah Dika. Sedangkan di sisi kanan ranjang, Pram sudah bergabung dengan Epeng dan Ratih.

Adji mengibaskan tangan di depan wajah. “Halah! Ndak usah sok sungkan. Kayak sama siapa aja!” santainya. “Ngomong-ngomong, aku mau tanya sama kamu, Gan. Jadi tadi pagi Sena suruh aku jual lagi ponsel yang kamu beliin itu. Tapi masih aku taruh di kost-kostan sih. Kalau kamu setuju nanti aku coba jual lagi.”

Buru-buru Sena mencondongkan tubuh dan menoleh ke kiri untuk melotot pada Adji. “Mas! Kok malah ngomong ke Kak Gani sih!” ia mengomel. Padahal tadi pagi ia sudah pesan supaya Adji langsung jualkan ponselnya tanpa kasih tahu Gani. Eh sekarang Adji malah minta izin. Kacau lah sudah!

Adji nyengir saja. “Maaf, Sen. Mas nggak bisa bertindak tanpa izin bos besar.” Laki-laki itu membentuk tanda damai dengan jari tengah dan jari telunjuknya.

“Jangan dijual, Dji. Besok balikin ke Sena.” putus Gani. Bibir Sena sudah membuka bersiap menjelaskan, tapi Gani mendahului bicara lagi. “Kakak beliin itu buat kamu, Sen. Dipakai. Jangan malah dijual!” tegasnya.

Sena memejam sesaat, ia memang sudah duga Gani akan bersikap begini. Itulah kenapa ia tidak bertanya dulu ke kakaknya soal keputusan menjual ponsel. “Kak, Sena seneng banget sebetulnya dibeliin ponsel. Tapi untuk sekarang Sena nggak terlalu perlu kok. Nggak apa-apa dijual aja lagi biar jadi uang ...” tak lupa Sena tunjukkan selengkung senyum agar Gani tahu kalau ia betul-betul tidak setengah hati untuk menjual ponsel barunya.

Tapi Gani tetap menggeleng. “Kamu butuh, Sen.”  Keukeuhnya. “Buat komunikasi sama Senja.”

Sebuah nama yang Gani ucap seketika membuat Sena membisu. Pupil matanya yang semula lurus membalas tatapan Gani perlahan bergerak turun dan tampak kosong. Hanya karena satu nama, dan seluruh pikiran Sena seolah terbang jauh meninggalkan tempat raganya berada.

Yang tak tersadari, hanya perkara melihat wajah Sena kehilangan cerahnya, ada senyum di sebuah bibir yang berubah getir. Ada sepasang mata yang kehilangan binar. Pun satu hati yang perlahan patah.

Kalau sudah dengar nama Senja, debatmu langsung jadi payah ya, Na? Batin Dika. Dan kalau bisa didengar, kalimatnya pasti jadi kalimat dengan nada paling hambar sedunia.

💧Lovakarta💧

Ayii: Oke sesuai janji:)

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang