Akhir untuk sebuah awal

10.2K 1.1K 52
                                    

"Pulang jalan kaki, Na?" Yamaha Alfa Dika bergerak pelan di pinggiran trotoar menemani pemiliknya yang tengah menyapa gadis dengan jaket merah terikat di pinggangnya itu.

Sena tak menghentikan langkah santainya. "Mau cari becak." Kali ini nadanya tidak ketus meskipun ia tidak menoleh.

Bibir Dika membentuk huruf O panjang. "Saya boleh ikut?" tanya laki-laki itu kemudian.

"Ikut kemana?" dan akhirnya Sena menoleh juga sekarang.

"Naik becak." singkat Dika.

"Kamu kan bawa motor?" alis gadis itu terangkat sebelah.

"Gampang..." setelah bilang begitu, Dika langsung berhenti. Ia menoleh memastikan jalanan sepi sebelum menyebrang ke sisi lain dimana ada tempat tambal ban.

Sambil memegangi tali tas, Sena melongo dipijakannya. Mata Sena terus mengawasi Dika yang baru saja selesai bercakap dengan pemilik tempat tambal ban. Dan sekarang, dia sedang menyebrang kembali untuk menghampiri Sena.

"Motornya kamu titipin?"

Dika mengangguk santai. "Saya ambil lagi kalau nggak kamu bolehin ikut naik becak?"

Sena diam dan berpikir. Ini tidak seperti biasa. Gadis itu pun tak bisa menjelaskan kenapa sikap menolaknya terhadap kehadiran Dika semakin melemah belakangan ini. Apalagi setelah apa yang sudah Dika lakukan untuknya pada acara hari ibu tiga hari lalu. Berada di dekat Dika, rasanya menjadi berbeda. Entah disebut apa. Yang jelas, Sena tidak lagi kesal tanpa sebab seperti sebelumnya.

"Ya sudah." Putus Sena kemudian.

"Ya sudah apa?" Dika memastikan, walaupun senyum kecilnya tidak dapat menutupi fakta kalau sebetulnya ia sudah paham.

"Boleh ikut." Kata Sena sebelum kembali berjalan lurus. Dan dua kata itu sudah cukup untuk bikin wajah Dika cerah. Saking senangnya ia bahkan sempat meninju udara bagai habis menang lotre.

Sekitar lima puluh meter berjalan, Sena dan Dika sampai di sebuah pangkalan becak. Sena memilih becak dengan cat merah putih dan Dika setuju-setuju saja. Sekarang keduanya sudah duduk bersebelahan dengan terpal biru melengkung di atas kepala. Menghalangi sengatan sinar matahari yang masih cukup garang.

Sena mengamati jalanan dengan tenang. Sedangkan Dika mengamati wajah Sena dari samping tanpa bosan. Ia senang sekali karena bapak pemilik becak mengayuh dengan pelan. Soalnya sayang kan kalau kesempatan langka harus berakhir terlalu cepat.

Diperhatikan terus-terusan agaknya membuat Sena risih juga. Gadis itu menoleh cepat ke samping untuk mengomel pada orang yang masih saja tidak mengalihkan pandangannya. "Ngapain kamu senyum-senyum sendiri gitu?!"

Dika meringis, "Saya suka mata kamu. Keduanya cantik." Pujinya tanpa basa-basi, belum mau meluruskan leher.

"Apaan sih!" bibir Sena cemberut setelah membuang muka. Ekspresinya begitu tak suka, tapi semburat merona tipis tetap muncul di pipi Sena meski sebetulnya diizinkan muncul oleh logika gadis itu.

"Serius, Na..." kekehan ringan Dika terdengar sebentar. "Tapi saya lebih suka mata saya sendiri sih. Tahu nggak kenapa?" sambungnya lengkap dengan satu pertanyaan.

"Karena lebih cantik?" balas Sena asal-asalan.

"Bukan!"

"Terus kenapa?"

"Yah, karena tanpa dua mata cokelat ini, saya nggak akan bisa lihat hal seindah kamu."

Tidak ada tanggapan lagi. Dika yang kali ini tidak mendapat bentakan ketus sampai hampir lupa berkedip melihat bagaimana Sena menggeleng kecil sambil berusaha menyembunyikan senyum atau tawa. Alhasil, sampai becak berhenti di depan rumah Sena, Dika betulan tidak meluruskan leher sama sekali. Capeknya baru terasa saat ia turun.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang