16 - Berdua Namun Tak Menjadi Kita

8.8K 1K 45
                                    

Sena tidak pernah setenang ini ketika berada di dalam kelas. Sebelum-sebelumnya, si teman sebangku yang selalu datang lebih dulu pasti akan menyapa dengan gaya yang sok dekat, sok perhatian, dan sok manis sehingga suasana hati Sena akan langsung berantakan.

Tapi pagi ini laki-laki bernama Dika itu sama sekali belum terlihat batang hidungnya, bahkan sampai bel masuk akan berbunyi lima menit lagi. Sena sangat berharap hal ini akan lebih sering terjadi karena dengan begitu ia akan dapat lebih banyak waktu untuk duduk di kursinya tanpa merasa kesal.

”Ngapain Pram sama Epeng manggil kamu?”

“Habis ngasih surat ini...”
“Surat siapa?”

“Surat izin titipan dari Dika. Hari ini dia sakit, jadi nggak masuk.”

Percakapan sekertaris kelas dan teman sebangkunya yang bertempat duduk di depan Sena itu tanpa sengaja tertangkap telinga milik gadis itu. Kesibukan Sena berkutat dengan ponsel terjeda karena otaknya baru saja menerjemahkan sebuah informasi bagus dari percakapan barusan. Pemilik bangku sebelah absen karena sakit artinya seharian ini Sena tidak akan mendengar rentetan ocehan menjengkelkan yang biasa! Ini jelas kabar baik bagi Sena! Kabar yang benar-benar patut disyukuri!

Semoga si Alien itu sakitnya lama! Senyum senang muncul mengiringi batin Sena yang berbicara--entah sedang berdoa atau sedang merapalkan kutukan.

💧💧💧💧

Pak Hariono berdiri tegak di depan papan tulis setelah baru saja membuat pintu kelas menjeblak lebar. Suara gaduh di dalam ruangan berbentuk persegi panjang yang tidak terlalu luas itu lenyap seketika. Mana ada murid yang berani membuat ulah kalau seorang guru seni budaya paling galak yang suka memberikan hukuman push up 50 kali itu sudah hadir.

“Saya dan beberapa guru lain ada rapat di kantor dinas yang tidak bisa ditinggal, jadi hari ini saya nggak bisa menunaikan kewajiban mengisi materi di kelas ini.”

Informasi tersebut di sambut riuh sorak-sorai gembira oleh semuanya. Guna menghentikan kehebohan yang sangat ia benci, Pak Hariono biasanya langsung melotot seram sebagai gertakan. Tapi, kali ini pria itu justru melipat tangan di depan dada seraya menarik salah satu sudut bibirnya. “Sebagai gantinya, saya beri kalian tugas.”

Semua penghuni kelas mendadak lemas. NGGAK ADIL!! Sayangnya mereka hanya berani berteriak protes dalam hati.

“Buat pajangan dari bahan yang unik. Bukan sekedar pajangan, tapi harus punya makna di baliknya yang bisa diceritakan. Kerjakan bersama teman satu bangku. Di kumpulkan besok saat jam saya—jam pertama. Besok saya akan pilih beberapa kelompok untuk bercerita di depan kelas.”

Setelah berhasil membuat 30 muridnya ternganga karena tugas sesusah dan semendadak itu, Pak Hariono keluar tanpa memberikan kesempatan pada siapapun untuk melakukan aksi protes. Tidak terkecuali, pada Sena yang hampir saja membenturkan kepala sendiri ke tembok karena kepalang frustrasi. Belum juga genap satu jam Sena gembira tanpa ada Dika di dekatnya, dan tugas barusan sukses membuat kegembiraannya itu lenyap seketika!

Untuk siswa-siswi lain, mungkin ketentuan tugas yang harus dikumpulkan esok hari adalah hal paling mengerikan untuk di dengar. Tapi, kalau menurut Sena, ketentuan untuk mengerjakan tugas tersebut bersama teman sebangku jelas berkali-kali lebih mengerikan!

Ini bukan tugas, tapi siksa!

Ini bukan tugas, tapi bencana!

Ini bukan tugas, tapi musibah!

💧💧💧💧

“Rindu bukan soal untung atau rugi. Rindu itu hal spontan yang nggak bisa ditawar. Dan hanya dengan bertemu, rindu lunas terbayar.”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang