Matahari ke-11 : Bimbang

886 41 0
                                    

Karena satu alasan terjalin sebuah hubungan.

¤¤¤

Seorang gadis berseragam putih abu berdiri di depan gerbang sekolah dengan raut wajah tak bersemangatnya. Sapaan dari beberapa adik kelas maupun teman seangkatannya hanya dibalas berupa senyum kecil beserta anggukan olehnya. Sesuatu yang terjadi padanya beberapa jam yang lalu terlalu menyita perhatian gadis itu, bahkan ketika semua pertengkaran yang didengarnya saat itu terlalu membuat dia merasa tak karuan.

Sebenarnya dia tak ada niat sama sekali untuk membuat pertengkaran di antara siapa pun, semua terjadi tanpa rencana dan tak diatur olehnya sama sekali. Dia bertemu Alaric dan melihat pertengkaran di antara pria itu bersama Bella. Saat itu, seorang Vania yang melihat Bella menyentak Alaric langsung membuatnya begitu merasa bersalah. Karena pada kenyataannya dia mengenal dekat sosok Bella, bahkan dia punya hubungan keluarga dengan gadis bernama Bella yang menjadi adik kelasnya di sekolah.

Itu yang menjadi salah satu alasan bagi Vania mengapa bisa sampai merasa bersalah pada Alaric. Karena yang mendukung hubungan mereka adalah dia, yang menghubungkan hubungan mereka sebelum menjadi sepasang kekasih adalah dia, dan dia merasa begitu merasa bersalah.

Gadis itu tersenyum tipis ketika mengingat sepotong kenangan di mana dia masih satu kelas dengan Alaric, pria itu yang terkenal begitu malas belajar dan juga jarang masuk sekolah selalu mengganggunya setiap kali bertemu di kelas. Bahkan ketika Vania sedang menulis di depan papan tulis pun Alaric masih mengganggunya.

"Emang dia gak dipegangin hp ya sama orang tuanya?"

Vania yang sedang menuliskan materi bahasa Indonesia di papan tulis langsung mendelik ketika mendengar pertanyaan dari seorang pria yang duduk di kursi guru. Seorang guru yang bertugas mengajar baru saja keluar karena ada kepentingan mendadak dan langsung dimanfaatkan oleh Alaric untuk duduk di tempat guru agar jaraknya dengan Vania sedikit lebih dekat.

"Jawab dong," protes Alaric ketika Vania tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Dikasih kok, cuma gue gak tau itu hp dipake apa enggak."

"Kok bisa gitu?" Alaric kembali bertanya dengan menopang dagu menggunakan tangan kanannya di atas meja.

Vania mengedikkan kedua bahunya. "Mana gue tau."

Pria itu menegakkan kembali tubuhnya ketika mendengar jawaban Vania yang begitu ketus terhadapnya. Dia sedang mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang seorang gadis yang akan dijadikan pacar olehnya. Berhubung Bella ada hubungan keluarga dengan Vania, jadi dia mencoba untuk meminta bantuan Vania agar membantunya.

Tangan pria itu sesakali menulis materi yang Vania tulis di papan tulis, dia menunggu waktu yang tepat untuk bertanya kembali pada gadis itu tentang Bella.

"Gue boleh minta nomor lo gak, Va?"

Pertanyaan itu langsung membuat Vania menghentikkan aktifitas menulisnya dan menatap heran pada pria itu. "Buat apa?" tanya Vania disertai tatapan penuh curiganya pada Alaric.

"Ya biar gue bisa lebih gampang tanya-tanya soal Bella ke lo," ujar Alaric mencoba mayakinkan, "Boleh, 'kan?"

Vania melangkahkan kakinya ke arah meja guru tempat Alaric duduk sekarang, buku paket bahasa Indonesia yang berada di tangan kirinya ia simpan dengan hati-hati di atas meja. Melihat Alaric yang terus memperhatikannya membuat gadis itu merasa risih, karena bagaimana pun juga sekarang mereka sedang berada di dalam kelas dan semua teman sekelas mereka pasti melihatnya.

"Bukannya temen lo ada yang punya nomor gue?" kata Vania ketika baru menyadari sebuah fakta bahwa salah satu teman dekat Alaric ada yang pernah meminta nomor ponselnya.

"Halahh, gue tau kok kalau lo udah ganti nomor, iya gak?" ujar Alaric sembari menaik-turunkan alisnya di depan Vania.

Gadis itu mengusap halus tengkuknya, dia memang baru saja mengganti kartu perdananya dan tak menyangka Alaric ternyata mengetahuinya. "Abisnya gue kesel waktu banyak pesan masuk ke hp gue dari nomor baru yang gak gue kenal, gue yakin banget pasti ada yang nyebar nomor gue." Vania menggerutu ketika menceritakan fakta yang terjadi padanya ketika memberikan nomor hp pada salah satu pria yang kebetulan dekat dengan Alaric.

Saat itu Vania kepalang kesal karena terus-menerus mendapatkan pesan tak bermutu dari berbagai nomor baru. Bahkan ada yang sampai menelponnya beberapa kali dan sukses membuat Vania semakin kesal dibuatnya.

"Lagian lo jadi anak baru yang mengundang para kaum adam bangun sih," celetus Alaric dengan sedikit nada menggodanya pada Vania.

Vania lagi-lagi mendengus kesal mendengar hal itu. Dia menjadi anak baru yang terlalu mengundang banyak perhatian, tapi bukan hanya dari kaum adam, dari kaum hawa pun banyak.

Ambil sebagai contoh beberapa gadis yang tak menyukai keberadaannya, ada gadis yang takut pacarnya berpaling, ada gadis yang takut gebetannya suka pada gadis itu,  ada yang takut kepopulerannya tergantikan, dan semua ketakutan para gadis itu membuat mereka dengan berani menunjukkan ketidak sukaannya terhadap Vania secara terangan-terangan.

Vania yang saat itu posisinya sebagai murid baru hanya bisa diam dan pasrah, mengikuti semua permainan yang diciptakan oleh para gadis yang terlalu membencinya. Karena sebenci-bencinya mereka, tak akan pernah ada yang berani untuk membunuhnya.

"Gimana? Gue janji gak akan nyebar nomor lo kok, swear dehh," ujar Alaric sembari mengangkat tangan kanan ke udara dengan jari tengah dan telunjuknya menyerupai huruf V.

Gadis itu berpikir sejenak, dia bukannnya tak mempercayai Alaric, hanya saja ... dia merasa salah jika harus memberikan nomornya pada pria itu, dia juga merasa tak yakin. Ada sesuatu yang membuat dia ragu dan sesuatu itu membuat Vania tak jarang selalu menjaga jarak dengan pria itu.

"Lo itu ada hubungannya sama Bella bukan sama gue, kalau mau tau semua tentang dia mending lo tanya temen deketnya aja, karena gue juga gak terlalu tau banyak tentang dia," ungkap Vania dengan tangan kanan yang sedang menggenggam spidol lalu ia arahkan kepada Alaric. "Tolong isi yah, hari ini bagian lo piket kelas."

Gadis itu kembali mengambil buku paket di atas meja dan hendak berjalan ke arah mejanya untuk mengambil spidol lain di dalam tas. Tapi ketika baru saja tiga kali dia melangkahkan kakinya, tangan kanannya tertarik dari belakang.

"Untuk kali ini aja lo percaya sama gue," ujar Alaric dengan suara sepelan mungkin, "Janji gak bakal gue sebar."

Vania menarik tangan kanannya dari genggaman Alaric, dia merasa semakin bersalah dengan keadaannya saat ini. Dia baru saja belajar di sekolah baru ini tak lebih dari tujuh bulan dan dia tak ingin menciptakan masalah baru lagi. Cukup soal para gadis yang tak menyukainya itu, jangan sampai semakin bertambah setiap harinya.

"Ooyyy gue lagi nulis," teriak seorang pria yang duduk di kursi ke-2 dari belakang disertai dengan satu buah pulpen yang ia lempar dan mengenai kepala Alaric. "Minggir sana jangan pacaran di depan papan tulis, dasar bodoh!"

Makian dari pria itu membuat Vania mengulum senyumnya, terlebih ketika Alaric mengusap permukaan kepalanya yang terkena pulpen cukup keras membuat gadis itu tak kuat untuk menahan tawanya. Anak-anak lain yang menyaksikan kejadian itu langsung memecahkan tawa mereka secara hampir bersamaan.

"Udah isi sana tintanya!" perintah Vania sembari memaksa Alaric untuk segera keluar kelas dengan cara mendorong punggungnya.

Waktu di saat Vania masih bisa menikmati tawa dan tingkah konyol itu setiap saat telah berakhir ketika acara kenaikan kelas, gadis itu harus berpisah dengan beberapa teman dekatnya dari kelas sebelas dan harus mulai beradaptasi dengan teman barunya yang saat ini satu kelas di kelas dua belas. Tapi pada kenyatannya, sampai hampir satu tahun akan berakhir juga dia tak bisa menyesuaikan diri dengan teman sekelasnya saat ini.

Ketika awal bulan pertama Vania menginjakkan kakinya di kelas dua belas, dia langsung ditemani oleh seorang pria bernama Franky, sebenarnya dia kenal pria itu dari kelas sebelas tapi baru bisa dekat ketika mereka ditakdirkan satu kelas.

Kedekatan mereka berlangsung sampai saat ini, sampai pada akhirnya Vania menerima perasaan Franky dengan cukup terpaksa. Tidak bisa dipungkiri ... karena memang itu kenyatannya, dari awal dia dekat dengan pria itu dia tak mempunyai perasaan lebih terhadapnya. Tapi karena satu alasan, akhirnya mereka menjalin suatu hubungan.


Regards,
Vii

Matahari Sempurna (Completed) ✓Where stories live. Discover now