Matahari ke-19 : Keterbalikan

652 27 0
                                    

Seharusnya orang yang kita perjuangkan sedikit mengerti dengan keadaan, tapi mengapa dia tak bisa? Apa karena aku? Aku yang meminta hal itu sampai dia tak pernah menghargai sedikit pun pengorbanan yang jelas hanya untuk dirinya.

-Franky-

¤¤¤

"Jadi saya harus ngulang ujiannya lagi, Bu?" Sebuah pertanyaan yang terlontar dari seorang gadis terdengar sangat tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar secara langsung oleh telinganya.

"Tergantung," acuh seorang guru wanita yang duduk di kursi singgahsananya, "Kalau kamu mau punya nilai itu tandanya kamu harus ngulang, tapi kalau kamu mau pasrah atau curang lagi ..., Ibu akan kasih C untuk nilai di raport kamu."

Ancaman nilai adalah hal yang paling ampuh bagi setiap guru untuk menakut-nakuti para murid yang diajarnya, karena bagaimana pun juga para murid di sekolah datang untuk mencari ilmu dari nilai yang diberikan para guru dan akan sangat berakibat fatal jika nilai mereka harus di bawah rata-rata yang sudah ditetapkan.

"Baik Bu, kasih saya waktu dua minggu untuk ngumpulin hasilnya."

"Tidak." Guru itu cepat-cepat memotong ucapan Vania, "Tiga hari Ibu tunggu hasilnya, lewat dari tiga hari Ibu gak bisa terima."

"Ta-"

"Selamat bekerja Vania," ujar Ibu Sinta sembari bangkit dari atas kursi kekuasaannya. "Ibu keluar duluan ya, udah ada jam ngajar."

Setelah kepergian Ibu Sinta, Vania membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu keluar untuk meninggalkan ruangan guru yang masih ramai oleh para guru yang sedang berisap untuk berangkat mengajar ke kelasnya masing-masing. Gadis itu menguatkan pegangan kedua tangannya pada ikat tas yang masih menggantung di kedua sisi tubuhnya.

Setelah Vania datang di sekolah, dia langsung mengajak Sita untuk menemaninya ke ruang guru dan baru selesai hingga beberapa menit karena dia harus menjelaskan terlebih dahulu perihal masalah yang sempat tertempel di mading kemarin. Apa kertas itu masih ada? Semoga saja sudah ada yang berbaik hati untuk merobeknya.

"Gimana? Dimaafin 'kan sama Ibu Sinta?"

Ketika langkah kaki Vania baru saja menapak di lantai depan ruangan guru dia langsung dihampiri pertanyaan dari sahabat yang menemaninya, Sita.

"Iya sih ..., tapi gue harus ngulang prakteknya dan hasilnya harus selesai tiga hari dari sekarang."

Sita yang melihat wajah lesu dan murung sahabatnya langsung menghampiri gadis itu dan merengkuh pundaknya, memberi kekuatan dan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun dia tak tahu Vania dapat melewati ini semua atau tidak, tapi setidaknya peran Sita sebagai sahabat dekat Vania harus terus mendukung dan berada di sampingnya.

"Ya itu lah akibatnya," ujar Sita sembari menepukkan telapak tangan kanannya beberapa kali di permukaan pundak Vania. "Bukannya sebelum bertindak lo harusnya udah tau apa konsekuensinya?"

Menunduk dan terus menyesali perbuatan yang sudah dia lakukan, Vania merasa hal itu sudah tak ada guna lagi untuk dia lakukan saat ini. Seharusnya dia takut dengan konsekuensi yang telah dia pikirkan sedari dulu, tapi entah apa yang saat itu dipikirkan Vania sampai dia merasa biasa saja dan tak ada rasa keraguan sedikit pun untuk melakukan kesalahan itu.

Sebenarnya semua terjadi bukan hanya karena nilai, tapi juga ada hal lain yang penting menurut gadis itu.

"Udah jangan murung terus." Sita mengguncang-guncang kedua pundak Vania agar gadis itu mendongakkan kepalanya. "Lo tenang aja nanti gue bantuin kok buat bikin prakaryanya, gimana?"

Matahari Sempurna (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang