Matahari ke-31 : Rumah Sakit Cinta

611 19 0
                                    

Jika seseorang diizinkan untuk membunuh waktu, pasti dia akan tetap berada di sana tanpa mempedulikan seberapa lama dia menunggu tanpa beristirahat.


-Franky-

Jika aku diizinkan untuk bisa tetap bertahan, aku akan melakukannya saat itu juga. Atau bila perlu, aku akan mengulang waktu untuk menggantikannya terluka.

-Vania-

Jika rasa sakit ini bisa membuatku terbaring dengan perasaan yang bahagia, aku sepertinya akan lebih memilih untuk tetap seperti ini.

-Alaric-

 

Pada siang hari itu, setelah Vania menemukan Alaric terduduk dengan lemas di balik dinding, gadis itu langsung merobek bagian bawah seragam putih Alaric yang dikeluarkan untuk ia lilitkan di pergelangan tangan kanannya yang mengeluarkan begitu banyak darah. Tak peduli dengan seberapa pusingnya dia melihat begitu banyak cairan itu, dia hanya memperdulikan keadaan Alaric agar pria itu baik-baik saja.

Karena lemas, Alaric tak mengeluarkan sepatah kata pun ketika Vania terus bertanya “Apa kau baik-baik saja?” dia hanya mengeluarkan napasnya yang terlihat begitu berat.

Membantu Alaric berdiri dan memapah pria itu untuk keluar dari lorong sekolah, anak tangga yang mereka lewati juga terasa begitu bertambah banyak sampai Vania begitu khawatir dengan keadaan pria yang saat ini berada di sampingnya. Tangannya bergetar dengan kepala yang sesekali menoleh untuk memastikan bahwa Alaric tetap sadar.

Beberapa murid yang tengah berada di luar kelas saat itu menatap keberadaan mereka berdua dengan penuh kebingungan. Vania yang terus saja mengeluarkan air mata dan keadaan Alaric yang memprihatinkan tentu saja membuat mereka penasaran dengan apa yang terjadi.

“Ja-jangan bawa gue ... ke UKS, gue ... mohon Va.” Ucapan Alaric yang terputus-putus membuat Vania langsung menoleh dan memberhentikan langkah kakinya sejenak.

Vania berbelok dan membawa Alaric ke ruang tunggu yang langsung terhubung ke arah gerbang sekolah.

“Astaga! Apa yang terjadi?”

Kepanikan dari beberapa guru piket yang sedang berjaga langsung membuat Vania kebingungan untuk menyampaikan informasinya.

“Aku sama Alaric bisa izin buat pulang lebih awal, ‘kan?” Vania memohon pada guru-guru itu dengan tampang memelasnya. “Aku harus membawa Alaric ke rumah sakit.”

“Pak!” Salah satu guru di antara mereka langsung memanggil penjaga sekolah yang kebetulan sedang lewat. “Tolong siapkan mobil, kita akan segera ke rumah sakit.”

Vania mengembangkan senyumnya begitu mendengarnya. “Terima kasih.”

“Ayo, kita tunggu di depan gerbang!”

Vania menganggukkan kepalanya dan kembali memapah Alaric dibantu dengan guru yang tadi memerintahkan penjaga sekolah untuk menyiapkan mobil.

Rasa khawatir dan juga takut terus saja menyelimuti ketika mobil untuk membawa Alaric ternyata tak datang begitu cepat. Vania tak henti-hentinya menolehkan kepala untuk melihat keadaan pria itu, matanya terpejam dengan tarikan napas yang terlihat lebih berat dari sebelumnya. Tangan kiri Alaric yang melingkar di bahu Vania terasa begitu lemas sampai membuat gadis itu frustasi untuk memikirkannya.

Darahnya ....

“Ayo Vania, kita harus cepat!” teriak guru itu setelah sebuah mobil terparkir begitu tepat di depan gerbang.

Matahari Sempurna (Completed) ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora