Matahari ke-18 : Pelangi dan Matahari

711 29 3
                                    

Jangan lupakan keberadaan matahari ketika pelangi datang karena tak akan ada pelangi ketika tak ada cahaya matahari mendampinginya.

¤¤¤


Jika seorang gadis merasakan resah ketika bertemu seorang pria yang sempat dekat dengannya, bukankah itu adalah sebauh pertanda bahwa mereka sudah tidak saling merasa nyaman satu sama lain(?) Itu yang Vania rasakan saat ini, merasa serba salah dan terus-menerus resah setiap kali harus berpapasan atau sekedar melihat perawakan Franky meski dari kejauhan.

Jauh sebelum Vania memutuskan untuk berpisah dengan pria itu, dia masih ingat apa saja yang pernah mereka lalui bersama saat masih berhubungan atau ketika masih baru berteman. Bagi gadis itu semua yang pernah terjadi di antara mereka tentu tak akan pernah bisa untuk dilupakan. Akan tetapi, sesuatu yang bersipat masa lalu biasanya akan jauh lebih terasa menyenangkan untuk dibicarakan.

"Gue mau cerita semuanya ke lo, Sit." Ucapan Vania menjadi pembuka ketika mereka berdua baru saja memasuki kamar Sita sehabis pulang sekolah.

Setelah bel tanda jam pelajaran berakhir Vania langsung menjemput Sita di kelasnya dan ikut pulang sampai ke rumahnya untuk menunggu jemputan. Sebenarnya gadis itu bisa mencegat mobil umum atau ojek untuk pulang, tapi dia terlalu malas untuk melakukannya dan lebih memilih pulang ke rumah Sita untuk menunggu jemputannya.

"Gue siap dengerin."

Vania membalikkan badannya sehingga berhadapan dengan Sita yang baru saja menutup pintu kamarnya dengan rapat dari dalam, menatap manik mata sahabatnya yang terlihat begitu menunggu semua cerita yang akan dilontarkan oleh Vania dan itu membuatnya terlihat sedikit gugup.

Dia merasa bahwa seharusnya ini dia lakukan jauh sebelum masalah dan gosip yang baru saja beredar muncul di sekolah, tapi semua telah terlambat dan gadis itu hanya harus manata ulang semuanya dengan penuh kesabaran.

"Satu minggu sebelum pengumpulan hasil prakarya minggu kemarin gue ketemuan sama seseorang di sebuah kafe yang letaknya gak begitu jauh dari sekolah." Vania membalikkan tubuhnya lagi untuk memunggungi Sita dan berjalan ke arah kasur lalu duduk di tepiannya. "Gue ketemuan di sana untuk memberikan suatu foto yang nantinya akan dirancang sedemikian rupa buat bahan jadi hasil prakarya gue di sekolah."

Yang saat ini dapat tertangkap oleh manik mata Vania dari tatapan Sita adalah sebuah keterkejutan dan ketidak percayaan. Tentu saja Sita akan merasakan semua itu karena dia mengenal Vania bukan sebagai gadis yang mampu berbuat licik dan curang, bahkan dia akan membela harga diri sahabatnya itu dan mengatakan bahwa gosip yang disebarkan adalah sebuah kesalahan.

Namun, jika Vania sudah berbicara langsung padanya, itu tandanya sebuah kenyataan bahwa Vania memang bersalah.

"Dan satu hal yang gue dapet ketika ngelakuin itu semua ... ternyata melihat orang yang gak suka sama kita terlihat tambah gak suka karena keberhasilan yang kita raih itu terasa sangat menyenangkan."

"Apa yang ada di pikiran lo, Va? Jelas apa yang lo lakuin itu salah tapi lo masih bilang kalau itu terasa menyenangkan?"

"Iya," ujar Vania disertai senyuman tipis di kedua belah bibirnya. "Bagi gue itu menyenangkan sekarang."

Jika dulu Vania akan diam dan akan terus-menerus diam ketika ada orang yang meremehkan atau sekedar membicarakannya, kali ini tidak, gadis itu akan berubah menjadi lebih tegar dan selalu berusaha membalikkan keadaan sehingga dia yang akan berada di posisi orang yang merendahkannya.

"Iya, emang terasa menyenangkan bagi lo saat itu ... tapi sekarang? Semua keadaan yang ingin lo putar balikkan seakan kembali lagi sama lo. Bukannya dia yang akan merasa lebih iri tapi lo yang merasa dirugikan, benar?" Sita melepaskan tas punggungnya dan ia lempar ke arah meja belajarnya dengan asal. "Seharusnya lo gak perlu melakukan semua itu, Va. Setiap orang udah punya kelebihannya masing-masing, jadi-"

Matahari Sempurna (Completed) ✓Where stories live. Discover now