Matahari ke-37 : Pelukan Membuka Hati

616 21 0
                                    

Kata orang, pelukan bisa sedikit memperbaiki keadaan dan membuat orang yang sedang bersedih akan merasa jauh lebih tenang.

¤'¤

Rasa sakit yang Vania rasakan saat ini terasa sangat membuat hatinya terpukul dengan keras. Di dalam taksi yang mengantarkannya pulang, dia terus manatap kosong dunia lewat jendela mobil dengan aliran air mata yang tak juga henti membasahi kedua pipinya. Bahkan, supir taksi tak jarang mencuri pandang ke arah Vania lewat kaca spionnya karena penasaran dengan keadaan gadis itu.

Namun, Vania tak mengubris hal itu, dia hanya bisa menangis sembari memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi padanya setelah ini. Kedekatannya dengan Sita adalah sebuah hubungan yang sangat membuatnya nyaman dan bahagia selama ini. Tapi setelah ada perbincangan seperti tadi ... apa semua masih akan terlihat sama?

Hati Vania hancur, tentu saja. Mengetahui pengakuan ketidaksukaan seorang Yana dan beberapa teman sekelasnya saja sudah cukup membuat Vania begitu terpukul dan semakin tak menyukai dirinya sendiri. Lalu saat ini ... Sita? Sahabat terdekatnya sendiri yang membuat dia semakin terlihat bodoh dan memprihatinkan.

Vania tahu, dia bukan gadis sempurna yang bisa mengendalikan keadaan agar selalu baik-baik saja berada di bawah kendalinya. Tapi dia juga tahu bahwa semua orang menjanjikan bahwa kita adalah kita dan hidup kita hanya milik kita. Vania rasa semua pemikirannya itu harus ssgera dia hapuskan.

Selama ini, Vania selalu melakukan ini dan itu sesuai dengan apa yang dia inginkan. Memang terkadang egois dengan tanpa memikirkan orang lain, tapi semua dia lakukan karena dia tahu bahwa hidupnya hanya milik dirinya sendiri. Tapi lagi-lagi dia salah, sangat salah sampai dia harus mendapatkan hukuman seberat saat ini.

"Sudah sampai, Neng." Sebuah suara membuat Vania mengalihkan pandangan matanya ke depan, ke arah seorang supir taksi yang masih duduk di belakang kemudi dengan keadaan mesin mobil dimatikan.

"Eum ...," gumam Vania sembari mengeluarkan lembaran uang dari saku seragam sekolahnya dan dia berikan kepada supir itu. "Makasih ya, Pak."

Setelah itu Vania langsung membuka pintu mobil dan keluar dari sana.

Pemandangan yang pertama kali dia lihat saat turun dari taksi adalah sebuah rumah yang memang sudah dia tempati sejak beberapa tahun yang lalu. Pekarangan dan juga bentuknya tidak pernah berubah, jika ada, perubahannya tidak begitu drastis dan juga mencolok.

Rumah ini bukan rumah tempat di mana Vania pernah kecil dan dibesarkan, rumah ini hanya sebuah bangunan baru yang menjadi sejarah di mana dia merasa tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Vania tak pernah ingin menyalahkan siapa pun dalam keterpurukannya, dia hanya merasa waktu selalu saja tidak berpihak dengan sesuatu yang diinginkannya. Lalu saat ini dia harus apa? Bukan kah semua telah semakin buruk dengan tindakannya sendiri? Itu membuat Vania semakin menyalahkan dirinya sendiri.

Kedua kakinya bergerak pelan untuk mendekati pagar rumahnya. Kedua tagannya terarah ke depan dan mendorong pagar itu sehingga terbuka sedikit lebar.

Pemandangan baru kini kembali tersuguhkan dalam penglihatannya. Vania merasa bahwa hari ini adalah hari di mana dirinya akan merasa sangat buruk, sungguh ... ini jauh lebih buruk dari apa yang dirasakannya.

Tidak ada keadaan yang membaik atau perlahan menjadi lebih baik saat ini. Vania yakin, sesuatu yang dilihatnya saat ini adalah sebuah tamparan besar bagi dirinya yang selalu tak ingin tahu apa-apa tentang sesuatu yang terjadi dalam keluarganya.

Jika dulu Vania merasa terpuruk dengan keadaan di mana seorang papa akan pergi meninggalkan tanggung jawabnya, kini berbeda, dia merasa jauh lebih terpuruk dengan sesuatu yang lebih memalukan. Papanya, kembali berkunjung ke rumah Vania dengan membawa sesuatu yang selalu membuat Vania merasa tidak pernah dicintai.

Matahari Sempurna (Completed) ✓Where stories live. Discover now